Ada pula PAN, Demokrat, PPP sebagai partai menengah menolak opsi kenaikan PT dan ingin mempertahankan prosentase sebesar 4%. Zulkifli Hasan selaku Ketum PAN menengarai bahwa usaha menaikkan prosentase PT merupakan bagian dari spirit menanggalkan partai-partai menengah yang ada di parlemen.
Pembahasan presidential threshold pun tidak secara cuma-cuma mencapai kata sepakat begitu saja. Nasdem bersikukuh untuk menggunakan ambang batas presiden sebesar 20%. Melalui sekretarisnya, Saan Mustopa, Nasdem mengemukakan bahwa nominal ini akan berimplikasi pada pengajuan tiga atau empat calon.Â
Mereka menginginkan calon yang diusung benar-benar mendapatkan kepercayaan dan dukungan penuh dari pihak yang memadai. Berbanding terbalik dengan Nasdem, Guspardi Gaus yang merupakan fraksi PAN di Komisi II DPR menuturkan adanya presidential threshold justru tidak sejalan dengan nafas reformasi.Â
Demokrasi bisa saja mati jika rakyat terus dikotakkan menjadi dua kubu yang berseberangan ketika Pilpres. Ambang batas ini menurutnya juga akan membatasi hak figur-figur lain yang tidak didukung 'pemegang kendali' suara mayoritas. Maka dari itu, PAN lebih cenderung mengharapkan presidential threshold dihapus.
Sementara itu, RUU Pemilu juga mencamtumkan larangan terhadap mantan anggota HTI untuk berpartisipasi sebagai kontestan politik. Kini, kedudukannya menjadi setara dengan eks PKI (Partai Komunis Indonesia). Syarat pendidikan bagi Calon Presiden dan Calon Legislatif juga dinaikkan gradenya dari minimal jenjang SMA menjadi setidaknya lulusan Pendidikan Tinggi atau yang setara.Â
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 182 ayat (2) bagian j. RUU Pemilu pun turut memuat ketentuan baru bagi bakal Capres yang akan bertarung dalam panggung pemilihan harus merupakan anggota partai partisipan Pemilu.Â
Sehubungan dengan konteks meminimalisir adanya moral hazard, sanksi terhadap pihak yang memaharkan Capres diperjelas ketentuannya yakni dikenai denda sepuluh kali lipat dari nominal yang dimaharkan. Selain itu, terbukanya ruang bagi pelaksanaan Pemilu secara digital ikut diajukan meskipun opsi moda konvensional menggunakan kertas suara masih menjadi prioritas.
Moodswing Aktor Politik yang Menggelitik
Pemutakhiran draf RUU Pemilu yang dilakukan pada tanggal 26 November 2020 awalnya didukung oleh sejumlah partai. Sebut saja PKS, Demokrat, Golkar, dan Nasdem menjadi nama-nama yang pro atas wacana ini. Akan tetapi, pada tanggal 5 Februari 2021 Golkar dan Nasdem memutar haluan menjadi oposisi Pilkada 2022 dan 2023 sekaligus menentang RUU pemilu.Â
Pembalikan sikap atas dua partai besar ini digadang-gadang terhanyut preferensi Pemerintah. Presiden Joko Widodo disebut telah menyampaikan pandangannya yang tidak sepakat pada kelanjutan pembahasan RUU Pemilu. Pernyataan sikap ini dilakukan di hadapan pimpinan partai pemerintah pada tanggal 28 Januari 2021.Â
Selanjutnya, giliran DPR RI sendiri yang nampak 'puyeng'. 11 Februari 2021, Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR menyatakan sepakat untuk menghentikan kelanjutan proses pembahasan RUU ini. Namun, Supratman Andi Atgas selaku Ketua Badan Legislasi DPR menyebutkan pada 22 Februari 2021 bahwa revisi UU Pemilu dimungkinkan tetap berjalan dengan syarat UU Pilkada dikick dari topik.