Suatu saat seorang Kepala satuan pendidikan mengeluh: mengapa guru penjas di sekolahnya tidak seperti guru olahraganya dulu? Â
Dia membandingkan, betapa dulu guru olahraganya saat masih berseragam putih-merah atau putih biru sangat tegas dan bisa dibilang keras. Dia mengungkapkannya dalam bahasa, "Ga nurut dikaplok-kaplok temen"Â (jika tidak menurut dipukul kepalanya beneran). Benarkah?
Tidak salah sebenarnya jika seorang pemimpin sekolah menyampaikan hal tersebut. Keinginan sebenarnya sang kepala sekolah tidak lain ingin agar guru olahraganya berubah.Â
Dia, sang kepala sekolah, masih menggunakan paradigma lama yang berkembang: guru penjas adalah mantan atlet. Maka, tidak mengherankan jika lulusan sekolah tinggi olahraga (STO, dulu-red) saat itu adalah mereka yang aktif berkecimpung dalam bidang olahraga prestasi, seorang olahragawan, atlet. Perangai keras saat latihan terbawa juga pada saat mengajar.
Namun, dalam konteks pendidikan olahraga kekinian, hal tersebut kurang tepat. Dalam Undang-undang No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional  (SKN) Bab 1 Pasal 1 ayat 11 disebutkan, bahwa olahraga pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani.
Dalam kurikulum 2013 (K-13), aspek penilaian pendidik juga masuk pada tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Apalagi jika dilihat dari pendekatan pembelajarannya adalah saintifik (ilmiah). Jangan lupa, dalam perencanaan pembelajarannya (RPP), juga harus bermuatan karakter, literasi, dan High Order Thinking Skill (HOTS). Sama-sama memegang amanah yang tidak ringan, bukan? Â
Maka, kurang tepat jika melihat profesi guru olahraga saat ini dengan menggunakan kacamata paradigma lama. Banyaknya  guru penjas yang menerapkan teknik coaching (kepelatihan) saat pembelajaran juga merupakan fakta di lapangan yang tidak dapat dimungkiri.Â
Apalagi jika melihat background guru pengajar yang tidak hanya berlatar pendidikan olahraga, namun juga dari kepelatihan atau ilmu keolahragaan. Juga tidak dapat menutup mata, jika masih banyak satuan pendidikan yang kekurangan pendidik dari sarjana pendidikan olahraga. Sekolah pun merekrut guru kesenian, bahasa, dan bahkan agama untuk diminta menjadi guru penjas. Â
Jika merunut ke atas, beragam fakta lapangan tersebut tidak lain merupakan gambaran di lingkungan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan LPTK). Para dosen Pendidikan Olahraga dari beragam latar cabang olahraga juga memiliki multi pandangan terkait teknik pengajaran penjas. Jalan atau madzab para dosen tersebut juga di disertai dengan hujjah, bukti atau alasannya sendiri. Â
Seperti contoh, seorang dosen dalam salah satu tatap muka kuliah menyarankan, agar para guru penjas tidak perlu banyak membuang waktu dengan beretorika saat mengajar penjas. Cukup siswa diminta banyak gerak dengan beragam permainan.Â
Menurutnya, dalam Penjas, gerak lebih utama, bicara nomor dua. Bahkan, dalam mengabsensi siswa dengan memanggil nama satu-satu merupakan aktivitas yang banyak membuang waktu. Katanya, cukup dengan menghitung siswa yang masuk. Yang tidak masuk baru dicatat di buku absensi.
Di sisi lain, ada juga dosen yang menyampaikan perlu mengenal lebih dekat siswa yang kita ajar. Bahkan kalo bisa, kenalnya kita pada peserta didik sama dengan kenalnya kita dengan anak kita sendiri di rumah. Tujuannya tidak lain, agar para pendidik dapat menyisipkan muatan karakter pada para siswa dengan lebih baik. Bahkan kalo bisa detail menyertakannya di RPP yang dibuat.Â
Ada juga madzhab lain yang menyarankan agar tetap lentur saat mengajar Penjas. Kapan saat mendidik, kapan saat coaching. Dikarenakan, tuntutan prestasi olahraga dari pihak sekolah terhadap guru Penjas tidak dapat dipisahkan. Madzhab lainnya menyebutkan, jika dalam Penjas yang terpenting adalah Move and Fun, bergerak dan senang. Apapun akti vitas gerak yang diajarkan, landasi dengan perasaan gembira dan senang.
Salah seorang dosen pernah bertuah. Kata-katanya begitu menyentuh. "Para guru harus meniatkan segala aktivitas mendidik untuk beribadah," kata dosen tersebut. Menurutnya, tidak usahlah kita bertanya berapa nanti gaji yang diterima. "Jalani dengan ikhlas, suatu saat kita akan memanen hasilnya," kata dosen pengajar renang tersebut.
Petuah tersebut seakan menjadi pengingat. Khususnya pada sekolah-sekolah yang berbasis Islam. Sekolah Islam, selain dituntut untuk dapat mendidik dengan baik, mereka, para pengajar penjas di satuan pendidikan berbasis keislaman, juga diharapkan dapat mentransfer nilai-nilai Islam ke dalam pembelajarannya. Â Â
Maka, sangatlah tepat jika pendidik Penjas harus mampu memahamkan pada dirinya: jangan pernah berhenti belajar. Sebab, bagaimanapun juga , di tengah minimnya jumlah jam mengajar, guru penjas tetap dihadapkan pada tantangan lain: menanamkan learning for life pada para peserta didiknya.
Maka, tidak perlu galau jika mendengar keluh kesah atau kegalauan dari kepala satuan pendidikan tentang guru penjas. Anggap saja paradigma lama yang disampaikannya seperti ijtihad terdahulu Imam Syafi'I yang dikenal dengan qaulan qadhim. Â Tugas kita sebenarnya untuk memberitahukan, jika ada qaulan jadid di ijtihad Imam Syafii. Â
Darul Setiawan, SPd
Peserta Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) 2018
Guru Penjas di SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H