Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kenapa Harus Menabung di Bank Syariah?

3 Mei 2016   16:01 Diperbarui: 3 Mei 2016   16:06 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENGAPA harus ke bank syariah?

Bukannya, untungnya lebih jelas di bank konvensional.

Apalagi, saat ini, jumlah bank syariah yang meliputi kantor cabang, pembantu, dan anjungan tunai mandiri (atm), lokasinya terbatas.

Bank syariah itu ribet. Untuk buka rekening harus ini dan itu.

Demikian pemikiran yang menggelayuti saya mengenai perbankan syariah yang kini mulai marak di Tanah Air. Namun, sejatinya, keberadaannya sudah ada sejak saya masih berusia lima tahun. Tepatnya, ketika Bank Muamalat menjadi pelopor pada 1992 yang diwadahi Majelis Ulama Indonesia (MUI) demi mengakomodir masyarakat muslim di Indonesia.

Berarti, sudah 24 tahun silam bank syariah terbentuk dan tersebar di penjuru nusantara. Hanya, dalam rentang waktu nyaris seperempat abad itu, harus diakui, perkembangannya di masyarakat masih kalah dibanding bank konvensional. Setidaknya, menurut saya pribadi sebagai bagian dari mayoritas rakyat Indonesia yang lebih dulu mengenal bank konvensional yang sudah berdiri jauh lebih lama.

Kebetulan, saya sendiri mempunyai beberapa rekening dari bank konvensional, mulai dari yang dimiliki pemerintah, swasta, hingga Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk provinsi tertentu. Kepemilikan akun dari berbagai bank konvensional itu bukan tanpa alasan. Sebab, memang sudah berlangsung sejak 1997 ketika saya masih berseragam putih-merah yang berlanjut saat bekerja. Terlebih, setiap melakukan transaksi atau pembayaran lainnya, mayoritas saya menggunakan bank konvensional.

Selain mudah pada sistemnya yang meliputi layanana online dan sms, salah satu yang membuat saya tidak lepas dari bank konvensional terkait bunga. Ya, siapa sih yang tidak mau mendapat persenan jika kita menyetor jumlah tertentu di bank dengan setiap bulannya (bukan deposito) mendapat bunga. Meski kecil, alias hanya nol sekian persen, namun jika dikumpulkan lumayan banyak.

Di sisi lain, jika menabung di bank syariah, saya tidak mendapat bunga. Melainkan sistem bagi hasil yang ada kemungkinan saya sebagai nasabah akan mendapat untung dan tak jarang harus merugi. Ini fakta yang saya alami ketika beberapa tahun silam melakukan transaksi di bank konvensional dan ditawari untuk membuka rekening di bank syariah yang menginduk pada bank tersebut.

Peristiwa itu membekas pada saya yang kemudian jadi pesimistis untuk membuka rekening lagi di bank syariah. "Mungkin belum saatnya," demikian pikiran saya saat itu.

*       *       *

AIR bisa membuat perahu berlayar, tapi juga dapat menenggelamkannya. Demikian, adagium lawas yang masih saya ingat dan relevan hingga kini. Sikap skeptis saya mengenai bank syariah sirna ketika saya menghadiri Kompasiana Nangkring iB Perbankan Syariah di Muamalat Tower, Sabtu (5/3).

Ibaratnya panas setahun diguyur hujan sehari, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan acara yang saya ikut dengan tema "Aku Cinta Keuangan Syariah". Maklum, ini kali pertama saya mengikuti acara bertema perbankan di Kompasiana, khususnya syariah. Sebelumnya, saya juga sempat menghadiri event bertema syariah pada sektor asuransi.

Kebetulan, dalam acara yang bertujuan untuk mendukung kampanye "Aku Cinta Keuangan Syariah" (AKCI) ini turut menampilkan pembicara yang kompeten di bidangnya. Yaitu, Setiawan Budi Utomo selaku Deputi Direktur Pengembangan dan Edukasi Perbankan Syariah OJK. Juga turut hadir Purnomo B. Soetadi (Pejabat Eksekutif Consumer Retail Banking Bank Muamalat) dan Iskandar Zulkarnaen (Asisten Manager Kompasiana).

Dalam diskusi yang berlangsung setengah hari itu, sukses membuka pandangan saya mengenai bank syariah. Bahwa, mengenai keuntungan nonbunga tidak sesempit yang saya kira pada awalnya. Apalagi, setelah Setiawan menjelaskan mengenai Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang bunga bank (konvensional) dalam pandangan islam.

Ternyata, hukumnya haram karena terkait riba. Jujur, saya agak merinding juga mendengarnya. Meski bukan pribadi yang taat, namun saya paham mengenai halal, sunnah, mubah, makruh, dan tentunya haram. Dalam artian, jika makanan yang saya konsumsi setiap hari saja harus halal, masa', giliran menabung malah haram.

Lalu, bagaimana dengan sistem bagi hasil dalam bank syariah? Setelah menyimak lebih lanjut dalam acara tersebut disertai tambahan dari buku saku berjudul Produk dan Jasa Perbankan Syariah, Infografis Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah, bertanya pada rekan yang sudah lebih dulu punya rekening bank syariah, dan mencari informasi di internet, akhirnya saya paham.

Dalam sistem bagi hasil itu, ada kemungkinan saya sebagai nasabah untuk mendapat untung atau rugi. Kenapa? Sebab, berdasrkan pada rasio bagi hasil dari pendapatan atau kuntungan yang diperoleh nasbah pembiayaan. Namun, porsi pembagian bagi hasil yang disepekati bersama berlaku tetap sama hingga berakhirnya masa perjanjian.

Jadi, jumlah pembagian bagi hasil berubah-ubah tergantung kinerja usaha. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan, sudah pasti kerugian akan ditanggung bersama kedua pihak. Dalam hal ini, saya sebagai nasabah dan bank syariah itu.

Mungkin, kesannya ribet mengenai sistem bagi hasil. Saya saja butuh waktu beberapa hari untuk mengerti setelah mempelajarinya lebih lanjut. Tapi, itu wajar mengingat di dunia ini tidak ada yang instan.

Apalagi, hingga kini saya masih rancu mengenai kata syariah yang ternyata tidak atau belum baku dalam penulisannya. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online yang saya kutip dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi, yang ada adalah syariat bukan syariah. Bunyinya, "Isl hukum agama yg menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dng Allah Swt., hubungan manusia dng manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis: Alquran adalah sumber pertama dr -- Islam".

Saran saya mengenai penulisan syariah, ada baiknya Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan bekerja sama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Agar, merevisi penulisannya supaya masyarakat awam tidak bingung.

*       *       *

TAK kenal maka tak sayang. Pepatah itu ternyata berlaku bagi saya saat berkenalan dengan bank syariah. Pasalnya, perkembangan bank syariah kian intens dari tahun ke tahun. Bahkan, untuk menemukan lokasi dari kantor cabang dan atm itu sangat mudah karena tersebar luas di seluruh Tanah Air. Yang penting, kita harus mengenali logo iB (Islamic Banking).

Menurut statistik perbankan syariah dari OJK per Januari 2016, saat ini terdapat 12 bank syariah di 34 provinsi di Indonesia yang tersebar dalam 1.970 kantor (termasuk kantor cabang dan kantor cabang pembantu) dan 3.574 atm. Selain kantor cabang atau atm khusus, layanan perbankan syariah juga didukung lebih dari 60.822 jaringan ATM Bersama dan 74.050 jaringan ATM Prima.

Sudah pasti, deretan angka itu menjawab kekhawatiran saya. Sekaligus, membuktikan, layanan dari perbankan syariah tidak kalah dari bank konvensional. Ya, sesuai dengan moto Sama Bagusnya, Sama Lengkapnya, dan Sama Modernnya.

Jadi, jangan khawatir jika kita ingin bertransaksi di bank syariah. Sebab, saat ini memiliki produk danlayanan keuangan yang setara dengan bank konvensional. Kita, sebagai bagian dari masyarakat akan memperoleh beragam produk dan jasa perbankan yang lebih beragam dengan skema keuangan bervariasi, fleksibel, dan saling menguntungkan.*

Artikel sebelumnya:

- (Esai Foto) Kompasiana Nangkring dengan OJK dan Bank Muamalat

- Harkonas 2016 untuk Kampanye Konsumen Lebih Cerdas

- Jakarta, 3 Mei 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun