Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Tak Sampai untuk Kemuning

20 Desember 2011   18:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:58 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_150253" align="aligncenter" width="523" caption="  "][/caption] 29 Juli 2008, Painan, Sumatera Barat. Saat angin berhembus bertautan dengan lajunya sang ombak yang mengalun lembut di pesisir pantai, terlihat pemandangan indah yang menyeruak dalam sosok dirimu. Terpaan angin memikat, begitu lembut menyisir rambut indahmu. Kilau matahari menjelang senja, sangatlah membuat manis dirimu, cahaya berkeredup, hingga membuat semu rona wajahmu. Kala itu... Ya, kala itu, tatkala kita masih bersama.

*   *   *

17 Agustus 2008, Padang, Sumatera Barat. Dengan menyusuri pantai nan permai di kota yang sebenarnya indah dan juga menawan. Dirimu yang elok kembali memegang erat tanganku. Kemuning... Ya, itulah namamu yang indah. Sangat indah, melebihi seluruh nama yang ada di dunia ini. Melebihi sosok mutiara bernama Margaretha.

*   *   *

2 September 2008, Buah Batu, Bandung. Dalam sebuah lobby hotel berbintang empat, yang merupakan salah satu termewah serta termegah di kota kembang. Namun segala kemewahannya tidak bisa menandingi kemewahan alami dari dalam dirimu. Juga ribuan Kembang yang bermekaran disana, tak satupun yang dapat menandingi keindahan dirimu. Bahkan, ketika dirimu sedang kuncup sekalipun.

*   *   *

*   *   *

16 Desember 2011, Kemang, Jakarta Selatan. Samar-samar dalam sebuah kafe nan redup dimalam hari, aku melihat sosok bayangan nyata yang sudah tiga tahun belakangan ini telah hilang dari lubuk hati yang paling dalam. Saat ku ingin menyapa, Ketika ku ingin memanggil namamu, Dan, sewaktu aku ingin mengulurkan tangan, Ternyata, sosok bocah kecil nan lucu dan imut telah mendahuluku. Lambaian tangannya yang polos, Dan, pandangan matanya yang berbinar, bersih bak berkilauan bidadari. Hingga hatiku tergugu, untuk terhenti jejaknya.

*   *   *

Saat pandangan mata kita saling beradu, Hanya bertemankan seorang bocah kecil yang lugu, Satu jam, kita saling berdiam diri, Hingga sang Bocah, yang menggemaskan menjadi saksi, Tentang apa yang kita telah lakukan dahulu...

*   *   *

"Maaf rul, tiga tahun sudah kita tiada kabar. Engkau tinggal dalam hiruk pikuk Ibukota, sementara aku, sementara aku..." Isak Kemuning, menghentikan bicaranya. Aku pun terdiam, sementara kedua telapak tangan memegang erat tangan Kemuning. Tangan yang sangat lembut lagi hangat seperti dahulu. Sambil menyodorkan sapu tangan bersulam angsa, pemberiannya dahulu. Ia pun terdiam dari tangis, diam. Ya, Kemuning terdiam dari tangisannya. Bukan karena belaian lembut tanganku. Juga bukan karena rasa iba dari ku dengan mengulurkan sapu tangan untuk membasuh wajahnya yang basah. Tapi, karena sehelai sapu tangan yang membuat Kemuning terngiang ucapan yang terjadi ketika ia memberikannya padaku dahulu...

*   *   *

14 Februari 2008, Air Manis, Padang. "rul, hanya ini yang bisa gw berikan khusus untuk lo. Sapu tangan bersulam angsa, dengan motif putih biru, melambangkan kesejukan dan kesucian cinta kita." Saat memberikan sapu tangan itu, matanya yang berbinar-binar, sungguh lembut dan menggugah serta ingin rasanya cepat-cepat untuk mengajaknya ke suatu tempat, dan... Kembali ia berakata dengan diselimuti euforia malam yang katanya, penuh dengan cinta, "gw berharap sapu tangan tenunan dari keluarga gw dapat lo simpan selamanya. Sampai selama itulah, hubungan cinta kita berdua akan langgeng. Tapi, apabila sapu tangan ini lo kasih ke gw lagi, baik itu sengaja atau tidak sengaja. Maka, maka..." Wajahnya yang tadi bersemu karena ceria, berbalik menjadi penuh kedukaan. Aku pun segera mengalihkan perhatiannya, dari sesuatu yang bisa membuat rusak malam nan syahdu ini. Beruntung saat itu, aku dan Kemuning dapat melewati waktu bersama, bak deburan ombak yang menerpa karang yang kokoh. Hingga karena terbuai suasana malam itu, akhirnya ucapan tentang sehelai sapu tangan bersulam angsa menjadi terlewatkan.

*   *   *

"Kenapa lo memberikan sapu tangan ini sama gw lagi? Padahal lo udah janji, bakalan memegang sapu tangan ini hingga kapanpun, dan dalam situasi apapun, ga bakalan lo lepas kecuali hilang lenyap oleh takdir..." Ucapnya dengan mata sembab. Aku pun yang bingung karena kelupaan saking spontannya, ikut terdiam. "Padahal gw udah jauh-jauh menyebrangi lautan, hanya untuk menemui lo, bersama Sella..." Lanjutnya lagi. "Sella, siapa dia Ning?" Tanyaku masih dalam kebingungan. "Mungkin lo ga tahu siapa Sella, tapi lo pasti ingat dengan malam di pertengahan Februari 2008 lalu. Saat kita bersama, hingga sang Mentari bersinar tegak di kepala. Dan, Sella, Sella, adalah..." Sambil melirik bocah disebelahnya dengan tatapan penuh kasih sayang.

*   *   *

Semua terjadi begitu saja didepan kedua mataku, ketika kedua orang yang kukenal dan kucinta perlahan menjauh dari kursi yang kami duduki. Hingga aku pun mencoba beranjak untuk segera mengejarnya. Namun...

*   *   *

Djembatan Lima, 21 Desember 2011 (01:55 wib) - Choirul Huda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun