"Maaf rul, tiga tahun sudah kita tiada kabar. Engkau tinggal dalam hiruk pikuk Ibukota, sementara aku, sementara aku..." Isak Kemuning, menghentikan bicaranya. Aku pun terdiam, sementara kedua telapak tangan memegang erat tangan Kemuning. Tangan yang sangat lembut lagi hangat seperti dahulu. Sambil menyodorkan sapu tangan bersulam angsa, pemberiannya dahulu. Ia pun terdiam dari tangis, diam. Ya, Kemuning terdiam dari tangisannya. Bukan karena belaian lembut tanganku. Juga bukan karena rasa iba dari ku dengan mengulurkan sapu tangan untuk membasuh wajahnya yang basah. Tapi, karena sehelai sapu tangan yang membuat Kemuning terngiang ucapan yang terjadi ketika ia memberikannya padaku dahulu...
*Â Â *Â Â *
14 Februari 2008, Air Manis, Padang. "rul, hanya ini yang bisa gw berikan khusus untuk lo. Sapu tangan bersulam angsa, dengan motif putih biru, melambangkan kesejukan dan kesucian cinta kita." Saat memberikan sapu tangan itu, matanya yang berbinar-binar, sungguh lembut dan menggugah serta ingin rasanya cepat-cepat untuk mengajaknya ke suatu tempat, dan... Kembali ia berakata dengan diselimuti euforia malam yang katanya, penuh dengan cinta, "gw berharap sapu tangan tenunan dari keluarga gw dapat lo simpan selamanya. Sampai selama itulah, hubungan cinta kita berdua akan langgeng. Tapi, apabila sapu tangan ini lo kasih ke gw lagi, baik itu sengaja atau tidak sengaja. Maka, maka..." Wajahnya yang tadi bersemu karena ceria, berbalik menjadi penuh kedukaan. Aku pun segera mengalihkan perhatiannya, dari sesuatu yang bisa membuat rusak malam nan syahdu ini. Beruntung saat itu, aku dan Kemuning dapat melewati waktu bersama, bak deburan ombak yang menerpa karang yang kokoh. Hingga karena terbuai suasana malam itu, akhirnya ucapan tentang sehelai sapu tangan bersulam angsa menjadi terlewatkan.
*Â Â *Â Â *
"Kenapa lo memberikan sapu tangan ini sama gw lagi? Padahal lo udah janji, bakalan memegang sapu tangan ini hingga kapanpun, dan dalam situasi apapun, ga bakalan lo lepas kecuali hilang lenyap oleh takdir..." Ucapnya dengan mata sembab. Aku pun yang bingung karena kelupaan saking spontannya, ikut terdiam. "Padahal gw udah jauh-jauh menyebrangi lautan, hanya untuk menemui lo, bersama Sella..." Lanjutnya lagi. "Sella, siapa dia Ning?" Tanyaku masih dalam kebingungan. "Mungkin lo ga tahu siapa Sella, tapi lo pasti ingat dengan malam di pertengahan Februari 2008 lalu. Saat kita bersama, hingga sang Mentari bersinar tegak di kepala. Dan, Sella, Sella, adalah..." Sambil melirik bocah disebelahnya dengan tatapan penuh kasih sayang.
*Â Â *Â Â *
Semua terjadi begitu saja didepan kedua mataku, ketika kedua orang yang kukenal dan kucinta perlahan menjauh dari kursi yang kami duduki. Hingga aku pun mencoba beranjak untuk segera mengejarnya. Namun...
*Â Â *Â Â *
Djembatan Lima, 21 Desember 2011 (01:55 wib) - Choirul Huda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H