Rona venus tertutup oleh tebalnya awan yang menyelimuti bumi, bagaikan menunggu kedatangan Sang Batara Dewasrani untuk menjemput Bidadari Dresanala, Ibunda dari Wisanggeni.
Kembali saling kritik-mengkritik diantara dua kubu menghiasi halaman ini. Tak ketinggalan aku di cap sebagai seorang provokator, suka mengipasi dan mengompori orang yang sedang panas. Ah, sungguh aneh. Kalau seseorang sedang emosi dengan amarah yang sudah di puncak ubun-ubun, jangankan diberi angin, ditiup saja ia akan goyah hingga membakar seluruh tubuh beserta sekelilingnya.
* Â Â * Â Â * * Â Â * Â Â * * Â Â * Â Â *
Akhirnya, aku hanya bisa lesu menyaksikan seluruh cercaan, hujatan, umpatan, hinaan, hingga sindiran kepadaku. Diriku bagaikan sebatang kayu yang rapuh lagi layu. Semua mencap diriku sebagai pembual, perusuh, provokator bahkan seorang pendosa!
Tak ingatkah kalian bahwa di negeri ini, masih berlaku hukum praduga tak bersalah?
Lalu mengapa sesuatu yang belum tentu terjadi kesalahannya langsung menuduh diriku hingga seperti seorang terdakwa?
Meski ternyata benar diriku selama ini memang bersalah, patutkah, berhakkah, dan yakinkah bahwa diriku ini memang salah sehingga kalian orang-orang yang pernah bersalah, orang-orang jujur dan orang yang mengaku baik kepada sesama, lalu langsung memvonis diriku sedemikian rupa.
Apakah kalian tidak bercermin, apakah kalian tidak pernah melihat film Perempuan Berkalung Sorban?, bahwa orang yang tidak pernah berdosa lah yang pantas menghukum sang pendosa...
Langit begitu tinggi tak berujung pangkal
Bumi sedemikian rupa tak bertepi
Kepada siapakah aku hendak
Mengadukan rasa penasaran ini...
* Â Â * Â Â *
Memang ku akui, aku ini salah. Namun salah benar itu kan tipis, setipis sehelai rambut kita.