Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Ketika Sepak Bola Tidak Bisa Diprediksi

2 Juli 2014   03:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:54 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14042213981179601764

[caption id="attachment_313587" align="aligncenter" width="512" caption="Siap-siap musim depan menyaksikan Liga Kosta Rika (foto: dok. FIFA.com)"][/caption]

BAGI saya, Piala Dunia 2014 telah berakhir sejak 24 Juni lalu. “Loh kok bisa?” Demikian reaksi seorang kawan yang bertanya. Bisa dipahami sebab, menurutnya, Piala Dunia 2014 berlangsung sesuai jadwal pada 12 Juni hingga 13 Juli mendatang. Namun, dengan keukeuh, saya menjawab sejak 24 Juni 2014.

Apa pasal? Sebab, pada hari itu, Selasa, saya harus menyaksikan kekalahan Italia dari  Uruguay. Gol tunggal Diego Godin ibarat ketuk palu vonis hukuman mati dari hakim kepada Andrea Pirlo yang memutuskan pensiun. Sekaligus, menyingkirkan Italia akibat kalah bersaing dengan Uruguay untuk mendampingi Kosta Rika yang lolos ke-16 besar dari Grup D.

Ya, Italia, sebagai salah satu negara terkuat di sepak bola dan juga pemilik kompetisi terelite di muka bumi, Seri A, nyatanya harus tersingkir lebih awal. “Gli Azzurri” mengikuti jejak dua tim tradisional lainnya yang lebih dulu mengepak koper, Inggris dan Spanyol.

Jika ditotal, ketiga negara itu penghasil enam trofi dari 19 gelaran Piala Dunia sebelumnya. Alias, persentase jumlah koleksi juara mereka mencapai 31 persen! Italia memimpin dengan empat kali juara diikuti Inggris dan Spanyol yang masing-masing sekali kampiun.

Ironisnya, dua nama terdepan, Italia dan Inggris senasib. Mereka dikalahkan Uruguay sekaligus “dikadali” Kosta Rika. Okelah, jika Italia dan Inggris disandingkan dengan Uruguay yang merupakan “tim tradisional” dengan kesuksesan dua kali menjuarai Piala Dunia.

Namun, bagaimana dengan Kosta Rika? Mengapa harus Kosta Rika? Seperti yang saya tulis pada artikel sebelumnya berjudul Anomali di (Fase Grup) Piala Dunia 2014. Bahwa, bermimpi pun rasanya saya tidak berani menyaksikan Kosta Rika lolos ke-16 besar. Atau, jangan-jangan musim depan kita siap-siap menyaksikan tayangan langsung Liga Kosta Rika yang akan disiarkan salah satu televisi swasta!

Hanya, itulah sepak bola. Salah satu cabang olahraga yang unik. Yaitu, kesuksesan sebuah tim tidak bisa ditentukan oleh faktor individu belaka. Kesuksesan adalah buah dari kolektivitas 11 pemain di lapangan. Mungkin, berbeda jika itu terjadi pada Piala Dunia 1970 ketika Pele memang berperan besar dalam keberhasilan Brasil meraih juara ketiga kalinya. Atau, saat Diego Maradona di puncak kejayaan yang nyaris “sendirian” mengantarkan Argentina merebut mahkota 1986.

Tapi, ini abad 21. Ketika sepak bola bukan sekadar permainan. Melainkan sudah meliputi bisnis dan dan segala turunannya. Contohnya, ketika pandangan mata dunia tertuju pada satu negara tandus di kawasan gersang gurun Sahara, Aljazair. Ya, tim asal Afrika itu melenggang ke fase knockout untuk mendampingi Belgia. Seolah, pemain Aljazair, mengejek wakil Eropa, Rusia, dan Korea Selatan yang sebelumnya diprediksi lolos.

Atau, bagaimana bisa Amerika Serikat (AS) yang terbiasa bermain bola melalui tangan, alias American Football, dapat lolos ke-16 besar? AS yang tergabung di Grup G sukses menemani Jerman sekaligus mendepak “kuda hitam” Ghana dan Portugal yang diperkuat Pemain Terbaik Dunia 2013, Cristiano Ronaldo.

Oh ya, belum cukup dengan kegagalan Italia, Inggris, dan Spanyol. Satu “kejutan” kecil terjadi pada laga terakhir Grup H ketika Portugal mengalahkan Ghana, skor 2-1. Alih-alih ikut menemani Jerman ke-16 besar, Portugal justru gagal karena kalah selisih gol (4-7) dari AS (4-4).

Tapi, sudahlah. Yang berlalu biarlah berlalu. Itu bukan hanya dialami oleh kita, yang merupakan penggemar sepak bola. Melainkan juga para petaruh. Ya, di media sosial seperti Facebook dan Twitter, berseliweran lelucon mengenai nasib naas petaruh di Piala Dunia 2014.

Maklum, kebanyakan dari mereka tentu mengunggulkan tim favorit untuk memenangkan pertandingan dan lolos ke-16 besar. Itu merujuk pada probabilitas keempat tim elite seperti Italia, Inggris, Spanyol, dan Portugal. Namun, apa mau dikata. Jangankan untung, malah banyak dari mereka yang buntung akibat memilih keempat tim tersebut. Bahkan, konon banyak yang sampai jual rumah segala akibat kalah taruhan. Ya, siapa suruh harus bertaruh?

Nostalgia Italia

Kembali berbicara soal Italia. Bisa dibilang, 2014 merupakan tahun yang kurang menggembirakan bagi insan sepak bola di “negeri piza”. Baik itu tentang tim nasional (timnas), klub, hingga pelatih. Skuat asuhan Cesare Prandelli tersingkir di fase grup. Begitu juga dengan prestasi di level klub. Juventus dan Napoli tersingkir di fase grup Liga Champions 2013/14. Langkah AC Milan sedikit lumayan dengan menembus perdelapan final, meski harus menelan malu dikecundangi Atletico Madrid, agregat 1-5.

Sementara, untuk pelatih, tidak ada satu pun yang berprestasi di Piala Dunia. Prandelli tidak usah disebut lagi. Lalu, Fabio Capello harus puas hanya menempati peringkat tiga Grup H di bawah Belgia dan Aljazair. Hal serupa dialami Alberto Zaccheroni yang hanya berada di posisi buncit Grup C bersama Jepang. Beruntung, Carlo Ancelotti sempat menyelamatkan wajah Italia ketika membawa Real Madrid juara Liga Champions.

Padahal, dua tahun lalu, pelatih asal Italia begitu disegani. Saat itu, dengan skuat seadanya dan di tengah kontroversi pengaturan skor, toh Prandelli mampu membawa Italia menjadi runner-up Piala Eropa 2012. Hal serupa terjadi ketika Giovanni Trapattoni meloloskan Republik Irlandia pertama kalinya ke Piala Eropa sejak 1988. Di level klub, pelatih asal Italia juga sangat harum. Itu bisa dilihat dari keberhasilan Roberto Mancini menjuarai Liga Primer bersama Manchester City sejak 44 tahun silam (1967/68). Puncaknya, ketika Roberto Di Matteo mempersembahkan trofi perdana Liga Champions untuk Chelsea.

Ah, masa lalu yang indah memang selalu menarik untuk dikenang. Bahkan, nostalgia ala roman picisan itu seperti mampu memengaruhi realita yang ada. Misalnya, saya meyakini bahwa Italia memiliki siklus 12 tahunan untuk sukses di pentas dunia. Memang, ini hanya utak-atik belaka. Namun, ini fakta.

Sejak gagal lolos kualifikasi Piala Dunia 1958, Italia selalu lolos ke final. Dimulai pada 1970 ketika menjadi runner-up, 1982 (juara), 1994 (runner-up), dan 2006 (juara). Lalu, apakah Italia kembali melangkah ke final pada Piala Dunia 2018 di Rusia?

Masih terlalu jauh untuk membayangkannya. Setidaknya, hingga saya bisa menyaksikan sejauh mana perjalanan Kosta Rika yang akan menghadapi “tim Cinderella”, Yunani pada babak 16 besar. “Lho, katanya Piala Dunia 2014 sudah berakhir sejak 24 Juni lalu?” ujar kawan tersebut sambil mengernyitkan dahi.

- Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 29 Juni 2014.

*      *      *

Postingan Piala Dunia sebelumnya:

- Anomali di (Fase Grup) Piala Dunia 2014
Drama Penuh Kejutan di Pekan Pertama Piala Dunia 2014
Lanjutan atau Akhir dari Hegemoni Spanyol
Kilas Balik Piala Dunia 2006: Italia Juara di Kandang Jerman
Kilas Balik Piala Dunia 1982: Italia Samai Rekor Brasil
Kilas Balik Piala Dunia 1970: Momentum Kehebatan Brasil
Trofi Piala Dunia, Antusiasme Masyarakat, dan Impian 2018
Adu Penalti, Beban Psikologis untuk Sang Penendang
Jadi Penonton di Rumah Sendiri
Antara Turin dan Resolusi Luar Biasa
Kasus Del Piero, Ketika Loyalitas Tak Dianggap
Del Piero, Sosok Pemain Sepak Bola Paling Konsisten yang Menjadi Panutan

Artikel bertema sepak bola lainnya:
Helena
Nonbar Suporter Mancanegara
Hikayat Sepak Bola
Kisah The Raid dalam Laga Barcelona vs Chelesa
Final Klasik Prancis Terbuka 2014: Nadal Vs Djokovic

*      *      *

- Jakarta, 1 Juli 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun