Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Ketika Sepak Bola Tidak Bisa Diprediksi

2 Juli 2014   03:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:54 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14042213981179601764

Tapi, sudahlah. Yang berlalu biarlah berlalu. Itu bukan hanya dialami oleh kita, yang merupakan penggemar sepak bola. Melainkan juga para petaruh. Ya, di media sosial seperti Facebook dan Twitter, berseliweran lelucon mengenai nasib naas petaruh di Piala Dunia 2014.

Maklum, kebanyakan dari mereka tentu mengunggulkan tim favorit untuk memenangkan pertandingan dan lolos ke-16 besar. Itu merujuk pada probabilitas keempat tim elite seperti Italia, Inggris, Spanyol, dan Portugal. Namun, apa mau dikata. Jangankan untung, malah banyak dari mereka yang buntung akibat memilih keempat tim tersebut. Bahkan, konon banyak yang sampai jual rumah segala akibat kalah taruhan. Ya, siapa suruh harus bertaruh?

Nostalgia Italia

Kembali berbicara soal Italia. Bisa dibilang, 2014 merupakan tahun yang kurang menggembirakan bagi insan sepak bola di “negeri piza”. Baik itu tentang tim nasional (timnas), klub, hingga pelatih. Skuat asuhan Cesare Prandelli tersingkir di fase grup. Begitu juga dengan prestasi di level klub. Juventus dan Napoli tersingkir di fase grup Liga Champions 2013/14. Langkah AC Milan sedikit lumayan dengan menembus perdelapan final, meski harus menelan malu dikecundangi Atletico Madrid, agregat 1-5.

Sementara, untuk pelatih, tidak ada satu pun yang berprestasi di Piala Dunia. Prandelli tidak usah disebut lagi. Lalu, Fabio Capello harus puas hanya menempati peringkat tiga Grup H di bawah Belgia dan Aljazair. Hal serupa dialami Alberto Zaccheroni yang hanya berada di posisi buncit Grup C bersama Jepang. Beruntung, Carlo Ancelotti sempat menyelamatkan wajah Italia ketika membawa Real Madrid juara Liga Champions.

Padahal, dua tahun lalu, pelatih asal Italia begitu disegani. Saat itu, dengan skuat seadanya dan di tengah kontroversi pengaturan skor, toh Prandelli mampu membawa Italia menjadi runner-up Piala Eropa 2012. Hal serupa terjadi ketika Giovanni Trapattoni meloloskan Republik Irlandia pertama kalinya ke Piala Eropa sejak 1988. Di level klub, pelatih asal Italia juga sangat harum. Itu bisa dilihat dari keberhasilan Roberto Mancini menjuarai Liga Primer bersama Manchester City sejak 44 tahun silam (1967/68). Puncaknya, ketika Roberto Di Matteo mempersembahkan trofi perdana Liga Champions untuk Chelsea.

Ah, masa lalu yang indah memang selalu menarik untuk dikenang. Bahkan, nostalgia ala roman picisan itu seperti mampu memengaruhi realita yang ada. Misalnya, saya meyakini bahwa Italia memiliki siklus 12 tahunan untuk sukses di pentas dunia. Memang, ini hanya utak-atik belaka. Namun, ini fakta.

Sejak gagal lolos kualifikasi Piala Dunia 1958, Italia selalu lolos ke final. Dimulai pada 1970 ketika menjadi runner-up, 1982 (juara), 1994 (runner-up), dan 2006 (juara). Lalu, apakah Italia kembali melangkah ke final pada Piala Dunia 2018 di Rusia?

Masih terlalu jauh untuk membayangkannya. Setidaknya, hingga saya bisa menyaksikan sejauh mana perjalanan Kosta Rika yang akan menghadapi “tim Cinderella”, Yunani pada babak 16 besar. “Lho, katanya Piala Dunia 2014 sudah berakhir sejak 24 Juni lalu?” ujar kawan tersebut sambil mengernyitkan dahi.

- Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 29 Juni 2014.

*      *      *

Postingan Piala Dunia sebelumnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun