sumber: flickr.com
Sore itu, beberapa minggu yang lalu ketika nongkrong di mini market yang diminati kaum muda di sebuah kawasan gandaria, Jakarta Selatan. Dengan pemandangan jalan raya, apartemen dan mal menjulang tinggi. Sosok perempuan matang dengan pakaian kantoran. Baju casual putih lengan panjang, satu kancing paling atas dibiarkan terbuka tiba-tiba duduk di sebelah meja yang kami duduki bersama seorang kawan.
Ia sepertinya baru saja membeli satu bungkus rokok mild dan satu botol minuman. Satu batang kemudian disulutnya. Teman di sebelahku sedikit bisik-bisik. Wanita itu mungkin tahu kami memperhatikan. Tapi dia cuek saja. Sesekali batang rokoknya ditaruh di pinggiran meja, tangan kiri dan kanannya lalu sibuk menyentuh smartphone-nya.
Kami hanya menduga-duga, mungkin wanita ini sedang menunggu seseorang. Satu batang rokok kembali disulutnya. Mungkin hampir setengah jam yang ditunggu kemudian datang. Seorang laki-laki perlente dengan pakaian rapi dan trendi. Sosoknya seperti gitaris Noah. Sepatu aladinnya pas dengan celananya yang ketat. Dua telinganya ditindiki sesuatu.
Laki-laki itu bicara pelan-pelan dan mendekat. Wanita itu wajahnya didekatkan ke lelaki itu. Sepertinya sedang melakukan perjanjian. Kesannya mereka tidak begitu saling akrab. Hanya sebentar, lalu mereka beranjak. Rupanya laki-laki itu naik motor. Di depan mini market tak jauh dari kami duduk, di mana banyak motor-motor diparkir, perempuan dengan celana resmi orang kantoran berpisah begitu saja dengan laki-laki itu. Perempuan itu menyeberang ke arah mal dan apartemen. Laki-laki itu menghidupkan motornya lalu menghilang dari pandangan kami.
******
Satu hari lalu, sore yang pengap kami meluncur ke arah mal di kawasan dekat mega kuningan. Dari sana, kami lanjutkan ke arah senen kwitang. Setelah beberapa saat dari situ, hari sudah gelap kami lanjutkan meluncur ke arah hayam wuruk. Kami kemudian belok kiri memasuki jalan yang tidak terlalu lebar di kawasan rumah penduduk. Di pertigaan, kami belok kiri. Persis di pengkolan kelurahan krukut perjalanan kami terhenti di sebuah warung makan (persisnya sih seperti warung kopi) atas petunjuk temanku.
Temanku menerangkan sesuatu seperti apa yang diterangkan ketika kami keluar dari mal di kawasan dekat mega kuningan. Dua tempat yang ia ceritakan sepanjang perjalanan, tidak satu pun mereka respek terhadap temanku. Kesannya dia dicuekin begitu saja.
Di tempat terakhir ini, ada dua wanita masih terlihat muda dengan celana pendek sedang asyik mengobrol sambil merokok. Sementara bangku yang mepet tembok sedang diduduki wanita dan teman lelakinya duduk di jok motor. Kami parkir di sebelahnya. Tak berapa lama pesenan mereka selesai dibungkus oleh sosok wanita dengan baju tanpa lengan ketat yang tak henti-henti diperhatikan dan disapa temanku. Tapi tak sepatah kata pun dibalasnya.
Ketika mereka pergi, kami gantian duduk di bangku yang mepet tembok rumah. Sementara wanita bercelana pendek masih duduk menghadap warung yang sempit. Ia asyik merokok. Kali ini ia sendirian. Teman ngobrolnya entah pergi ke mana. Temanku menawari minum es teh. Tapi wanita yang diperhatikan temanku bilang esnya tidak ada. Kami kemudian hanya minum teh manis anget.
Wanita dengan baju lengan pendek itu kemudian keluar dari warung seteleh selesai melayani pembeli lagi yang tadi datang bersamaan ketika kami pesan teh manis. Uang yang diberikan wanita dengan teman lelakinya yang masih tetap duduk di motor itu yang membuat pelayan keluar menukar di warung sebelah.
Setelah teh kutenggak hampir habis, saya menjauh dari warung duduk di jok motor. Pelayan itu kemudian datang mengembalikan uang kembalian. Sosok wanita berbaju lengan pendek tetap tak mengeluarkan kata-kata. Temanku kemudian mengalihkan perhatian ke perempuan yang sedang asyik merokok. Entah apa yang diobrolkan, temanku lalu menyorongkan hp ke perempuan itu. Perempuan itu kemudian mengetikkan sesuatu di hp temanku. Hp itu diangsurkan kembali ke temanku. Temanku tenggelam bersama hpnya.
Saya lalu menghampiri dan duduk di dekat perempuan yang sedang merokok. Kami kemudian mengobrol panjang kali lebar. Temanku kemudian menyela ngobrol bernada meledekku. Tapi aku abaikan. Sebut saja namanya zafira. Sosok wanita umur 29 tahun. Janda beranak satu. Anaknya kini dibawa mantan suaminya ke negaranya.
Ia wanita keturunan seperti timur tengah. Orangtuanya, dua-duanya sudah tidak ada. I a termasuk anak kembar. Kembarannya tinggal di kampung di pesisir pantura dekat daerah asalku. Dia empat bersaudara. Dulunya kedua orangtuanya keturunan orang terpandang dan terkaya di daerahnya. Tapi semuanya sudah sirna. Jadi orang miskin.
Kalau di kampung, ia bilang kerja di tanah abang padahal ia kerja di dunia dugem, kawasan lokasari. I a tempat kerjanya sepi. Â Ia berangkat kerja jam lima sore sampai jam satu malam. Dapat uangnya dua minggu sekali. Dia bilang dapat uangnya dapat tips dari tamu yang ditemaninya. Dan itu tidak banyak. Kalau ngamar baru ia dapat duit.
Katanya, rata-rata pengunjungnya kalau diajak ngamar tarif tiga ratus ribu kemahalan. Dan uang tiga ratus ribu dibagi dengan bos. Dia hanya menerima separuhnya. Kalau ada tamu yang baik biasanya orang yang sudah umuran. Pernah dibelikan hp oleh orang seberang di mal kawasan kuningan. Orang ini pernah haji tiga kali katanya.
Sebenarnya ia menyadari pekerjaan yang dia lakoni penuh dengan kepalsuan dan kotor. Dia ingin bekerja lainnya. Bos yang punya warung ini katanya sedang mengusahakan pekerjaan untuk dirinya. Ketika ditanya kenapa tidak menikah lagi. Ia masih trauma dengan orang yang sama asalnya dengan daerahku. Ia merasa tertipu dan hancur. Ia menganggap semua laki-laki sukanya pura-pura dan akting doang.
Begitulah obrolan perempuan dengan rokok di tangannya. Sebenarnya masih banyak yang ia ungkapkan. Tapi, kapan-kapanlah nanti saya lanjutkan tulisan ini.****pcded020415***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H