Dari pagi (29/9/14), memang udara terasa berbeda. Lepas dhuhur warna langit agak muram. Mungkin mau hujan. Tiba-tiba mataku terasa berat. Saya tidak berusaha melawan, karena tidak sedang dalam keadaan fokus.
Pagi tadi saya menelpon dia, menanyakan program murah menelpon. Saya pilih paket seharian. Ternyata pulsa tersedot setengah. Berarti tidak murah. "Ya, nanti saya ke sana!" suaramu di seberang begitu reaksinya, "Oke saya tunggu" jawabku sekenanya, karena memang sedang tidak fokus ke sesuatu hal.
Di kedalaman sana, bulan menyembul memanas, karena istriku bereaksi melihat bulan tak lagi damai cahayanya. Saya tak bisa berlindung ke mana-mana kecuali ke maha penolong. Dan saya yakin, pengantar bulan sebentar lagi datang.
Suara telpon di seberang tadi sekarang sudah tidak lagi berjarak, karena saya dengan jelas melihat wujudnya, "mau ngopi?" tawarku
Dia menggeleng, hanya minta korek saja. Rokok itu pun disulutnya. Barangkali tekanan hidup bisa terbakar di batang rokok. Kita sedikit tertawa, sebab tak banyak hari ini yang ingin kita tertawakan. Dan ia pun tidak fokus, masih direpoti anaknya yang masih di play group. Istrinya sedang sibuk mengajar.
Di antara obrolan kita yang tidak fokus, anakmu yang masih kecil disorongkan kakakmu sementara yang mbarep ikut kakakmu, "pamong, bapa momong" selorohku.
Tetap saja obrolan kita dalam warna tekanan dan tidak fokus. Obrolan kita berakhir seperti berakhirnya batang rokok di sebuah asbak.
Karena tidak fokus itu, shalat dhuhur di masjid terlewatkan. Shalat di rumah tidak fokus. Permintaan kepada maha penolong tidak intens. Saya terngiang inbox dari Jakarta. Memang PR ini yang paling penting difokuskan.
Udara memengaruhi jalan pikiranku. Ditambah dengan pengantar bulan, yang mungkin dalam tekanan. Suara dalam telpon menatap kosong, badan lunglai terbujur di lantai bersama anaknya yang paling kecil. Saya berusaha menghubungi sana-sini. Ternyata nihil. Pengantar bulan pamit. Suara dalam telpon ikut permisi. Shalat dhuhur di masjid terlewatkan.
Ketika saya keluar mengambil air wudhu, warna langit sudah berubah. Apa mungkin mau hujan. Atau mungkin hanya awan berarak. Seperti beraraknya awan-awan pikiranku. Awan-awan itu akhirnya saya benamkan di meja makan.
Satu-persatu saya coba hubungi lagi, tapi reaksinya nihil. Mungkin tidak pas waktunya. Istriku lemas karena puasa senin kamis. Saya mainkan hp. Anak-anak tidur siang. Mataku ikut berat. Menjelang Ashar itu, hujan pun akhirnya turun. Hujan yang tidak mengkhawatirkan. Hujan yang membasahi pikiran rasa ngantuk.
Saya nikmati saja hujan itu, sebagai kado di musim kemarau. Saya sudah siap pergi ke masjid, karena waktu Ashar masuk. Hujan sudah berhenti. Bekasnya seperti orang yang biasa menyirami jalan yang penuh debu beterbangan. Memang bukan Hujan di musim Hujan.***(pcamri300914)