“Aku kasih HP ini ke orang yang paling tersakiti.” Ucap temanku dengan menyodorkan gawai. Supaya aku mengikuti permainannya.
Terhitung tiga detik setengah aku melongo memamerkan pupil mata. Hampir tak sadar aku dengan keadaan. Saat mulai terjaga, kulanjutkan permainan itu. Dengan segera kuberpose depan kamera lalu kuberikan gawai ke teman lainnya. ketanggapanku bukan karena aturan permainan. Namun alam bahwa sadarku mengajak untuk berdialog diri dalam keramaian. Menikmati tempat yang pernah kukunjungi dengannya. Dulu tempat ini sangat usang, tetapi mataku semringah. Sekarang keadaan makin berwarna, tetapi memoriku memberontak tak bersuara.
Sesekali hujan mereda. Kami melajutkan perjalanan. Sesekali juga kami berteduh kembali. Hanya untuk menghindari percikan air tuhan. Kali ini atap KBS tidak merestui kami. Justru membasahi. Hingga aku tak tahu mana air mata mana air suci. Dua-duanya mengolesi pipi.
Kurasa langit turut berkabung atas kesedihan yang kukandung. Semoga rum tubuhnya segera dikebumikan, bersama lenyapnya petasan tahun depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H