Kau lah Ibuku, cinta kasihku
Pengorbananmu tak kan pernah terganti
Kau bagai matahari yang selalu bersinar
Sinari hidupku dengan kasih sayangmu
Kalimat di atas adalah potongan bait lagu dari Haddad Alwi yang ia nyanyikan bersama Farhan. Lagu tersebut berjudul Ibu. Kalau kita mencari lagu dengan judul Ibu pasti sangat banyak. Tentunya masing-masing pencipta lagu membuatnya dengan penuh rasa haru ketika mengingat perjuangan ibu kepada anak-anaknya yang begitu dahsyat. Perjuangan yang tidak pernah terkalahkan, perjuangan yang tidak pernah mampu dibalas dengan apapun.
Ibu itu bagaikan sang surya yang terus menerus tiada henti menyinari seluruh alam ini. Pengibaratan tersebut memang sangat pantas jika kita melihat bagaimana sosok seorang ibu dengan segala jerih payah usahanya.
Tidak perlu bahkan jangan sekali-kali kita meragukan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Kita tentu tahu dan juga mengalami ketika kecil dulu bagaimana kasih sayang yang diberikan oleh ibu kepada kita. Sepanjang hari, sepanjang waktu ibu kita selalu menyayangi kita. Rasa hangat dan penuh kenyamanan setiap kali kita berada di samping beliau. Bagaimanapun juga sebagai seorang anak jangan pernah melupakan semua itu.
Betapa Sangat Berjasanya Ibu
Pasti kita tahu tentang sebuah legenda dari tanah Minang yang seringkali diceritakan entah itu di sekolah, di rumah kita, ataupun di tempat lain. Kisah tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya, Malin Kundang. Seorang anak yang hidup di perkampungan nelayan di daerah Padang, Sumatera Barat. Dia tinggal bersama ibu yang sangat menyayanginya, Mande Rubayah. Akan tetapi ketika si Malin sudah dewasa, dia sudah menjadi ‘orang’, dan memperistri seorang putri bangsawan yang kaya raya, wataknya berubah menjadi seorang anak yang sangat sombong.
Ketika kembali dari mengarungi lautan dia tidak mau mengakui Mande Rubayah sebagai seorang ibunya karena merasa malu mempunyai ibu yang miskin dan hidupnya terlunta-lunta. Padahal betapa sedihnya sang Ibunda ketika ditinggal pergi berlayar oleh anak semata wayangnya. Mande Rubayah yang sangat menyayangi Malin tidak pernah berhenti berdoa dalam setiap malamnya. Memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar putranya selalu dalam lindungan-Nya.
Karena kesombongannya itulah akhirnya si Malin dikutuk oleh ibunya hingga menjadi batu yang menurut cerita memang nyata adanya batu Malin Kundang tersebut.
Seorang anak yang telah mendurhakai ibunya, ibu yang telah mengandungnya selama kurang lebih 9 bulan 10 hari dengan penuh susah payah memikul beban berat yang dirasakannya selama masa mengandung tersebut. Tentunya ini adalah hal yang sangat fatal yang dilakukan seorang anak kepada ibunya. Untuk membalas jasa seorang ibu saja kita selama hidup ini tidak pernah mampu, apalagi sampai berbuat durhaka.
Ketika masa kecil dulu kita tentunya seringkali merepotkan ibu kita dengan tangisan-tangisan kita. Mungkin ketika itu ibu kita sedang mempunyai kesibukan lain akan tetapi karena rasa sayang yang begitu hebat dari seorang ibu kepada anaknya lah semua rutinitas beliau tinggalkan demi mengurusi kita.
Sudah barang tentu kita dulu seringkali mengotori tubuh dan pakaian ibu kita dengan muntahan makanan, minuman, dan bahkan kotoran-kotaran najis yang keluar dari qubul maupun dubur kita. Ibu tidak pernah mengeluh atas semua itu. Dibersihkannya semua kotoran-kotoran dan disucikannya semua najis-najis tersebut. Rasa kesal dan capek sudah barang tentu beliau rasakan. Akan tetapi karena rasa kasih sayang kepada anaknya lah seorang ibu rela melakukan semua itu. Maka dari itu dengan jasa-jasa beliau tersebut jangan sampai kita sedikitpun mendurhakainya.
“Fa laa taqul lahumaa uffin wa laa tanhar humaa wa qul lahuma qaulan karima.”
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al Isro: 23)
Memuliakan Ibu
Sebagai seorang anak kita harus bisa membuat ibu kita merasa senang. Buatlah beliau merasa bangga mempunyai anak seperti kita. Walaupun itu tidak cukup untuk membalas jasa-jasa beliau selama mengurusi kita sejak kecil hingga seperti sekarang ini. Inilah hebatnya seorang ibu, tidak pernah meminta balas budi atas kebaikan yang pernah mereka lakukan untuk kita. Beliau tanpa pamrih dalam mengurusi kita.
Selaku kaum intelektual, kaum terpelajar baik secara sosial, moral, maupun agama sudah sepatutnya kita untuk memuliakan beliau. Bagaimanapun itu caranya. Minimal membuatnya tersenyum bahagia. Mungkin ibu kita akan merasa senang dan bangga ketika melihat kita kelak menjadi orang yang cakap baik dalam agama maupun sosial. Sederhana tetapi sangat sulit tentunya, menjadi orang yang bermanfaat bagi yang lainnya di mana tempat kita hidup. Mungkin itulah salah satu harapan yang sering disebutkan oleh ibu kita dalam tiap doanya kepada Yang Maha Esa.
Betapa pentingnya kita untuk memuliakan seorang perempuan yang kita sebut dengan nama Ibu juga telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.” Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Kemudian Ayahmu.’”
Dari hadits tersebut kita hendaknya menyadari betul bahwa orang yang pertama kali harus kita mulyakan adalah ibu kita tercinta. Dalam hadits ini bukan kemudian menyisihkan peran seorang ayah akan tetapi dilihat dari sisi perjuangan seorang ibu ketika mengandung dan melahirkan kita itulah akhirnya ibu lebih didahulukan dalam memuliakannya. Perjuangan dengan taruhan nyawa tentunya yang dihadapi oleh seorang ibu. Apalagi jika sosok ibu yang single fighter dalam keluarganya. Beliau selain berjuang mengandung dan melahirkan anaknya juga berjuang untuk menghidupi dan membahagiakan anak-anaknya dengan pendidikan setinggi-tingginya yang pastinya menjadi impian oleh semua ibu di dunia ini.
Apa yang Sudah Kita Lakukan kepada Ibu?
Perlu kita merefleksikan diri sejenak setelah kita mengetahui segala jerih payah perjuangan seorang ibu demi anaknya. Sebagai seorang anak yang ingin mendapatkan surga dari telapak kaki seorang ibu, apa yang sudah kita lakukan untuk ibu kita? Apakah kita sudah pernah membuat ibu kita tersenyum bahagia melihat prestasi dalam hidup kita? Apakah ibu kita sudah merasa bangga memiliki anak yang seperti kita sekarang ini? Atau jangan-jangan kita lupa akan jasa agungnya seorang ibu. Apakah kita sudah merasa cukup ketika kita pernah membuat ibu kita merasa senang kepada kita?
Sangat sedikit sekali kemungkinan hal-hal yang pernah kita lakukan yang kemudian membuat ibu kita merasa senang. Bagaimanapun juga kita tidak boleh bersikap semena-mena dan sembarangan kepada ibu kita meskipun nantinya kita mampu menjadi orang yang dibanggakan oleh beliau.
Sebagai seorang yang berpendidikan tentunya kita dapat berpikir untuk kemudian mengupayakan segala hal untuk kebaikan dan membuat ibu kita merasa senang meskipun itu sangat kecil dan tidak akan mampu membalas jasa-jasa beliau. Dengan selalu ingat dan mendoakannya serta menjadi anak yang sholeh lah mungkin sedikit usaha yang bisa kita lakukan untuk senantiasa membuat ibu kita merasa senang kepada kita, membuatnya agar selalu tersenyum dalam kebahagiaan dunia dan akhirat. Surga di telapak kaki ibu, bagaimanapun kondisi ibu kita baik ketika sehat maupun sakit kita harus tetap menjadi anak yang berbakti kepadanya, merelakan diri kita untuknya, mengikhlaskan usaha kita untuknya, untuk ibu kita tercinta.
Selamat hari Ibu untuk seluruh Ibu yang ada di dunia ini, terima kasih Ibu.
Salam menulis!
Sekretariat PMII Komisariat Kentingan Surakarta, (22/12)
Telah dipublikasikan di http://rodivbosid.com/hari-ibu-refleksi-dari-diri-kita-sebagai-seorang-anak.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H