Lambat laun, Venezuela seperti sedang membangun sistem paralel layaknya gedung bertingkat dengan minyak sebagai fondasinya. Mengabaikan dibentuknya institusi-institusi dan kementerian untuk menangani dan menopang bidang lainnya.
Ketergantungan Venezuela terhadap ekspor minyak sangat besar, bahkan pada tahun 2012 ekspor negara didominasi oleh minyak sebesar 95%. Harga minyak dunia saat itu sedang tinggi-tingginya sehingga pemerintah Venezuela percaya diri dengan "sistem ekonomi minyak" negaranya.
Setelah Chavez wafat pada 2013, ia digantikan oleh Maduro. Malangnya, pada tahun 2014 dan seterusnya harga minyak dunia mulai menurun. Kondisi ini menyebabkan perekonomian Venezuela mulai goyang.Â
Ekonomi yang sebagian besar ditopang oleh minyak mulai kehilangan keseimbangannya, utang-utang yang sebelumnya dibayar dengan uang jualan minyak menjadi tidak terbayarkan.Â
Ketergantungan Venezuela terhadap impor semakin memperparah situasi, karena saat impor barang yang berlaku adalah kurs valuta asing sedangkan nilai mata uang Bolivar semakin melemah. Keterbatasan impor kebutuhan pokok menyebabkan kelangkaan dan berujung pada naiknya harga.Â
Kenaikan harga kebutuhan pokok pada akhirnya menaikkan harga seluruh barang yang ada di Venezuela dan terciptalah hyperinflasi. Merespons hal itu, pemerintah Venezuela justru semakin banyak mencetak uang untuk menaikkan gaji pegawainya. Tentu saja hal ini justru menaikkan hyperinflasi yang sudah terjadi bukannya memperkaya rakyatnya.
Berbagai sumber berita mengatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di Venezuela sangatlah sulit sehingga banyak yang merangkap pekerjaan lebih dari satu profesi.Â
Disamping itu, nilai mata uang Bolivar juga tidak stabil. Masyarakat Venezuela lebih memilih segera membelanjakan uangnya dengan barang lain karena lebih aman dalam menyimpan nilai.Â