Beberapa hari ini di kota saya sedang ramai diskon besar-besaran hingga 50% di salah satu retail ternama. Menurut informasi, retail tersebut akan segera tutup sehingga dilakukan CUCI GUDANG. Di beberapa daerah lain, jaringan retail tersebut sebenarnya sudah mulai tutup sejak 2017 lalu, namun tidak disangka akhirnya sampai juga penutupannya disini, padahal seingat saya belum 5 tahun. Karena penasaran saya sengaja mencari informasi di internet apa iya retail sebesar itu bangkrut.
Dikatakan bahwa retail "raksasa" tersebut sengaja menutup beberapa gerainya untuk direlokasi ke daerah yang lebih strategis dan berpotensi. Memang kalau dilihat dari lokasinya, dalam radius beberapa puluh meter saja sudah terdapat lebih dari 2 kompetitor.Â
Bisa jadi bahwa daripada memaksakan bersaing ketat dengan tetangga terdekat, lebih baik pindah ke lokasi yang masih belum banyak pesaingnya, namun memiliki daya beli yang baik. Untuk itu, retail melakukan CUCI GUDANG untuk melikuidkan asetnya.
Fenomena tutupnya retail semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Di Amerika Utara sendiri sejak tahun 2010 terjadi penutupan retail dalam skala besar hingga dikenal dengan Retail Apocalypse atau retailpocalypse. Banyak faktor yang menjadi sebabnya seperti naiknya biaya sewa, ketidakmampuan retail membayar hutang, kebangkrutan, resesi ekonomi, hingga perubahan perilaku konsumen.
Terutama faktor yang terakhir, perilaku konsumen saat ini memang jauh berbeda semenjak adanya teknologi internet. Sudah bukan rahasia lagi kalau jual-beli online (apalagi yang menawarkan gratis ongkir) sangat diminati. Masyarakat dimudahkan dengan efisiensi waktu dan tenaga, mereka tidak perlu repot-repot pergi ke mall untuk belanja, cukup dari gadget saja.Â
Untuk pembayaran pun juga dapat melalui mobile/internet banking atau layanan dompet online. Hal ini cukup berpengaruh terhadap kepadatan pengunjung di mall dan retail. Sebenarnya di Indonesia masih lumayan karena beberapa orang ada yang lebih senang datang ke mall untuk sekedar jalan-jalan atau benar-benar membeli barang yang mereka inginkan. Sedangkan di Amerika, seperti diberitakan Business Insider, mall benar-benar sangat sepi dan harus ditutup karena retail berjatuhan disana-sini.
Perubahan perilaku konsumen berikutnya yaitu masyarakat jaman sekarang lebih menyukai gaya kulineran dibanding memasak di rumah (Republika, 2019). Terutama pada generasi muda, adanya media sosial semakin mendorong aktivitas kulineran.Â
Ada yang sekedar memamerkan feed, ada juga yang review kuliner tertentu hingga sekedar penasaran dengan kuliner baru. Perilaku kuliner ini memang bukan berarti mengganti total kegiatan memasak di rumah, namun punya pengaruh cukup besar menurut Aprindo.
Faktor lain yaitu semakin banyak masyarakat yang percaya dengan model bisnis convenience store seperti Alfamart dan Indomaret. Apalagi saat ini convenience store tersebut menawarkan jasa kirim dan transaksi digital. Beberapa tahun lalu, Seven Eleven, salah satu jaringan retail raksasa, terpaksa menutup operasinya di Indonesia karena kalah bersaing dengan dua supermarket tersebut.Â
Selain itu memang mindset belanja di retail besar masih mahal juga belum bisa lepas dari masyarakat yang lebih memilih pasar tradisional untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Saya sendiri pun, jujur memang ke retail-retail tersebut kalau ada promo, misalnya ada JSM (Promo Jum'at Sabtu Minggu) atau ada kebutuhan tertentu yang hanya bisa diperoleh di retail tersebut.
Pada kenyataannya, hukum alam tetap berlaku pada persaingan industri retail. Mereka harus siap beradaptasi dengan cepatnya perubahan supaya dapat bertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H