Meskipun "24 Jam Bersama Gaspar" telah menjadi sorotan di dunia perfilman Indonesia, namun film ini juga mendapat berbagai kritik dari sejumlah penonton. Kritik tersebut meliputi beberapa aspek, mulai dari eksekusi oleh sutradara, hingga bahasa yang dianggap kaku dan cerita yang dinilai lemah.
Salah satu kritik yang sering muncul adalah terkait dengan eksekusi oleh sutradara, Yosep Anggi Noen. Beberapa penonton merasa bahwa penyutradaraan film ini kurang berhasil dalam mengeksploitasi potensi cerita dan karakter-karakternya. Mereka mengkritik bahwa penggambaran dunia distopia yang diharapkan tidak terasa cukup mendalam, dan beberapa adegan terasa kurang kuat dalam menyampaikan pesan yang diinginkan.
Selain itu, banyak juga yang mengomentari bahasa yang digunakan dalam film ini, yang dianggap terlalu kaku dan kurang alami. Beberapa dialog terasa kurang mengalir dan terkesan dipaksakan, sehingga membuat pengalaman menonton terasa kurang autentik. Hal ini dapat mengganggu keseluruhan pengalaman menonton dan mengurangi daya tarik film bagi sebagian penonton.
Tidak hanya itu, beberapa penonton juga mengkritik kelemahan dalam pengembangan cerita. Mereka merasa bahwa plot cerita tidak cukup kuat dan tidak mampu menarik perhatian mereka sepanjang film. Beberapa alur cerita juga dianggap terlalu mudah ditebak dan kurang menawarkan kejutan yang memuaskan.
Hal ini tercermin dalam rating yang diberikan oleh penonton di platform seperti Letterboxd, di mana film ini mendapatkan rating rata-rata sebesar 3,21 dari lima, berdasarkan penilaian 494 akun. Meskipun angka ini tidak dapat dianggap rendah, namun merupakan indikasi bahwa film ini memiliki kekurangan yang cukup signifikan bagi sebagian besar penonton.
Beberapa pengguna yang memberikan rating 2 hingga 3 bintang untuk film "24 Jam Bersama Gaspar" mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap eksekusi cerita yang terkesan kaku. Mereka merasa bahwa film ini menggunakan gaya bahasa yang tidak tepat untuk dituangkan dalam sebuah film, sehingga mengganggu pengalaman menonton mereka.
Salah satu pengguna dengan rating 2,5 bintang mengungkapkan kekecewaannya dengan jujur, "Sebagai orang yang tidak pernah baca novelnya, saya kecewa parah. Kirain akan sebagus atau bersifat eksperimental seperti dua film Anggi Noen sebelumnya." Komentar ini mencerminkan harapan yang tinggi dari pengguna tersebut terhadap kualitas film, terutama setelah mengetahui bahwa sutradara sebelumnya telah menghasilkan karya-karya yang eksperimental dan berkualitas.
Sementara itu, pengguna lain dengan rating yang sama juga mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap logika cerita dalam film ini. Mereka berpendapat bahwa "24 Jam Bersama Gaspar" hanyalah ambisi sutradara yang ingin menampilkan cerita dengan gaya sastra, tanpa memperhatikan logika cerita yang seharusnya menjadi tulang punggung sebuah film.
Kritik ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara gaya sastra dan kualitas cerita yang kokoh dalam pembuatan sebuah film. Terlalu banyak fokus pada penggunaan bahasa yang puitis dan gaya sastra yang eksperimental dapat mengaburkan esensi cerita dan mengakibatkan kehilangan daya tarik bagi sebagian penonton.
Penggunaan bahasa baku dalam film yang ditulis oleh M. Irfan Ramli telah menjadi sorotan bagi beberapa penonton, karena dinilai memengaruhi unsur-unsur lain yang terdapat dalam cerita. Bahasa yang digunakan, yang mirip dengan bahasa yang biasa digunakan dalam novel, dianggap tidak cocok untuk dituangkan dalam sebuah film, dan gaya cerita yang dipilih juga dinilai tidak mampu mengantarkan pesan secara maksimal kepada penonton.
Bahasa yang baku dan formal sering kali dapat menciptakan jarak antara karakter dan penonton dalam sebuah film. Dalam konteks film, penonton cenderung mengharapkan dialog-dialog yang lebih alami dan mengalir, yang dapat membuat mereka terhubung secara emosional dengan karakter-karakter yang digambarkan. Penggunaan bahasa baku yang terlalu kaku dapat mengganggu alur cerita dan membuat pengalaman menonton terasa kurang autentik.
Selain itu, gaya cerita yang dipilih juga berperan penting dalam menghantarkan pesan kepada penonton. Dalam film, cerita harus disampaikan dengan cara yang lebih visual dan dinamis, daripada hanya mengandalkan narasi yang panjang dan kompleks seperti dalam novel. Gaya cerita yang terlalu mirip dengan gaya penceritaan dalam novel dapat membuat pengalaman menonton terasa terlalu statis dan kurang menarik bagi penonton yang mengharapkan lebih banyak aksi dan visual yang menarik.
Kritik terhadap penggunaan bahasa dan gaya cerita dalam film ini mencerminkan pentingnya pemahaman akan medium yang digunakan dalam menyampaikan cerita. Meskipun film dan novel adalah dua bentuk seni yang berbeda, namun keduanya memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing yang harus dipahami dan dimanfaatkan dengan baik oleh para pembuat karya seni.
Para pengguna juga menyampaikan kekecewaan terhadap akting para aktor dan aktris ternama dalam film ini, yang dianggap tidak sejalan dengan gaya bahasa yang digunakan dalam cerita. Beberapa ulasan menyayangkan bahwa meskipun konsep distopia dan futuristiknya dianggap menarik, namun eksekusi script dan dialognya dinilai tidak mampu mengimbangi kualitas visual dan konsep cerita yang diusung.
Salah satu pengguna dengan rating 2 bintang menulis, "Konsep distopia, futuristiknya oke sih, fresh belum pernah nonton film Indonesia yang konsepnya gini. Tapi script dan dialognya? Enggak kuat nontonnya, kaku banget berasa liat film animasi di-dubbing ke bahasa Indonesia." Kritik ini menyoroti kesenjangan antara kualitas visual yang menarik dengan eksekusi script dan dialog yang kurang memuaskan, sehingga membuat pengalaman menonton terasa terganggu.
Selain itu, seorang pengguna dengan rating 3 bintang juga mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap cara bercerita yang dianggap bertele-tele dan kaku. Mereka menyatakan, "Cara bercerita yang dibuat oleh Irfan Ramli di film ini bertele-tele dan seperti masih kaku. Motivasi antagonis yang kurang kuat, dan agak pretensius." Kritik ini menyoroti kelemahan dalam pengembangan karakter dan alur cerita, yang tidak mampu memberikan dampak emosional yang kuat kepada penonton.
Ulasan-ulasan tersebut juga menyoroti bahwa meskipun film ini memiliki elemen-elemen yang artistik dan puitis, namun cerita yang kurang bisa dinikmati dapat mengurangi daya tariknya bagi sebagian penonton. Meskipun soundtrack yang bagus dan visual yang menarik dapat menjadi daya tarik tersendiri, namun cerita yang lemah dapat mengurangi keseluruhan pengalaman menonton film ini.
Meskipun menerima kritik dari beberapa penonton, beberapa pengguna juga mengapresiasi kehadiran genre crime dengan gaya dunia distopia dalam perfilman Indonesia. Munculnya unsur absurd juga memberikan citra tersendiri pada kisah Gaspar ini, menambahkan dimensi yang unik dan menarik bagi para penonton.
Beberapa aspek yang digambarkan dalam film ini, seperti permasalahan masyarakat pada era masa depan seperti krisis ekonomi, perubahan iklim ekstrim, dan tingginya tingkat kejahatan, juga mendapatkan apresiasi dari sejumlah penonton. Mereka melihat bahwa film ini berhasil menghadirkan gambaran yang kuat dan memikat tentang kondisi sosial yang mungkin terjadi di masa depan, menggambarkan kekacauan dan kerusakan yang melanda masyarakat kelas bawah dengan cara yang autentik dan menggugah.
Seorang pengguna dengan rating 3,5 bintang menulis, "Film yang stylish dan bergaya neo-noir dengan menonjolkan dunia dystopian dengan artistik yang indah dan pengambilan kamera yang bagus ditunjang ansambel cast yang bekerja sesuai porsinya." Ulasan ini menyoroti penghargaan terhadap visual yang menarik dan atmosfer yang khas dari film ini, serta penampilan yang solid dari para pemainnya.
Ulasan lainnya juga menunjukkan penghargaan terhadap upaya film ini dalam menggambarkan realitas sosial yang keras dan tak terhindarkan. Seorang pengguna menulis, "Meski dari cara bercerita masih kurang mulus, namun salut juga bagaimana melalui film ini kehidupan masyarakat kelas bawah, kekacauan, dan kerusakan yang terjadi digambarkan." Ulasan ini menyoroti bahwa meskipun ada kekurangan dalam eksekusi cerita, namun film ini berhasil menyampaikan pesan yang kuat tentang realitas sosial yang tidak terhindarkan di masa depan.
"24 Jam Bersama Gaspar" mengisahkan tentang aksi balas dendam yang dilakukan oleh Gaspar (Reza Rahadian) terhadap Wan Ali, ayah dari sahabat kecilnya yang telah menghilang secara misterius.
Dalam menjalankan aksi balas dendamnya, Gaspar tidak sendirian. Ia dibantu oleh sejumlah karakter lain yang juga memiliki motif dan kepentingan pribadi dalam menghancurkan serta merampok toko emas milik Wan Ali. Mereka membentuk sebuah tim yang berusaha untuk mencapai tujuan mereka masing-masing, walaupun dengan risiko yang besar.
Para penonton akan dibawa dalam perjalanan yang penuh dengan ketegangan dan intrik, di mana Gaspar dan timnya harus menghadapi berbagai rintangan dan bahaya dalam melaksanakan aksi balas dendam mereka. Setiap karakter membawa beban emosional dan motivasi yang kuat, yang menggerakkan mereka untuk bertindak sesuai dengan keinginan mereka.
Film ini diperkuat oleh akting para aktor dan aktris lintas generasi, mulai dari Reza Rahadian yang memerankan karakter utama Gaspar, hingga Shenina Cinnamon, Laura Basuki, dan Dewi Irawan yang turut membawa warna dalam cerita. Selain itu, kehadiran aktor-aktor seperti Sal Priadi, Shofia Shireen, Iswadi Pratama, Kristo Immanuel, dan Landung Simatupang juga memberikan kedalaman pada ensemble cast film ini.
Dengan perpaduan antara aksi balas dendam yang penuh intrik, kepentingan pribadi yang kompleks, dan akting yang memukau dari para pemainnya, "24 Jam Bersama Gaspar" menjanjikan sebuah pengalaman yang menggugah dan mendebarkan bagi para penontonnya. Ini adalah sebuah kisah yang tidak hanya tentang balas dendam, tetapi juga tentang persahabatan, keadilan, dan pengorbanan, yang akan meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang menyaksikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H