La Luna dengan kejutan cerdasnya mampu menyajikan komedi yang langsung mengocok perut sejak permulaan cerita. Di balik sisi humor yang menghibur, film ini tidak ragu menyentuh isu-isu aktual melalui sentuhan satir yang menggelitik, memberikan nuansa keseharian yang begitu dekat dengan pengalaman kita.
Secara brutal, film ini membuka jendela ke dunia Kampong Bras Basah yang penuh dengan kejenakaan dan intrik khas kehidupan sehari-hari. 'Kehadiran' toko lingerie La Luna menjadi katalisator bagi serangkaian peristiwa yang memukau penonton dengan kekonyolan dan kebijakan yang terungkap.
La Luna tidak melibatkan elemen slasher atau adegan berdarah yang mencekam. Meskipun demikian, dalam balutan komedi satirnya, film ini dengan tegas dan terkadang sadis menyentuh berbagai isu sosial yang relevan.
Karikatur nilai-nilai konservatif semakin diperkuat melalui karakter Datuk Hassan, yang diperankan dengan apik oleh Wan Hanafi Su. Datuk Hassan menjadi simbol penguasa desa yang menolak perubahan, menggunakan agama sebagai alat untuk menindas dan mencapai ambisi golongannya.
Raihan dengan cerdas menghadirkan benturan antara otoritarianisme konservatif yang diwakili oleh Hassan dengan semangat La Luna yang dipegang oleh Hanie (Sharifah Amani). Sebagai sutradara, Raihan seakan membawa unsur-unsur politik ke dalam keseharian Kampung Bras Basah, menciptakan sebuah naratif yang membangkitkan gelak tawa, meskipun isunya bersifat serius.
Meski seolah-olah berpotensi menjadi drama politik desa yang tegang, La Luna berhasil menyajikan isu-isu tersebut dengan sentuhan humor. M. Raihan Halim menunjukkan kepiawaiannya dalam penulisan komedi dengan memanfaatkan segala potensi yang melimpah, mulai dari konflik antargenerasi hingga dinamika kehidupan desa, termasuk kehadiran toko La Luna sebagai elemen perubahan yang menggoncang hegemoni di Kampung Bras Basah.
Dalam menghadirkan komedi, penulisan Raihan tidak hanya mengandalkan situasi kocak semata, melainkan juga memasukkan elemen-elemen dewasa dengan cerdas, terutama yang berkaitan dengan kehidupan ranjang suami-istri. Namun, La Luna mampu menyampaikan kelucuan yang berkelas tanpa perlu merinci secara eksplisit dalam visualnya.
Porsi yang diberikan untuk menyuarakan isu emansipasi perempuan sangat terlihat melalui karakter Hanie, yang dihadirkan sebagai perempuan yang berani dan penuh semangat. Asa Hanie untuk memperjuangkan hak-hak perempuan menjadi cikal bakal berdirinya La Luna, sebuah toko pakaian dalam wanita yang pada akhirnya menjadi simbol perlawanan terhadap budaya kolot yang masih membayangi Kampung Bras Basah.
Keunggulan cerita La Luna semakin diperkuat dengan penggambaran visual yang autentik dan asri di Kampung Bras Basah. Film ini berhasil menangkap esensi kehidupan pedesaan Indonesia dengan latar yang mirip dengan lanskap negeri ini.
Film ini juga memilih untuk tidak mengandalkan musik yang mencolok atau skor dramatis, sesuai dengan nuansa kampung yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
La Luna berhasil mengakhiri ceritanya dengan memuaskan, mengatasi keraguan penonton terhadap kemungkinan kesulitan dalam menutup cerita, terutama menjelang sepertiga terakhir film.
Setelah menyentuh sejumlah isu konservatif, La Luna berpotensi terjebak dalam menggurui penonton dengan menawarkan nilai-nilai baru yang terlalu mendalam di masyarakat. Namun, beruntungnya, M. Raihan Halim, sang penulis dan sutradara, mampu menyelesaikan cerita dengan bijak. Film ini mengakhiri perjalanannya dengan hangat, memberikan penyelesaian yang memuaskan bagi setiap karakter tanpa jatuh ke dalam kedalaman moralitas yang berlebihan.
Penting untuk dicatat bahwa moralitas seseorang terhadap suatu hal dapat bervariasi, dan persepsi individu terhadap inti pesan La Luna mungkin beragam. Ini membuat film ini berpotensi memancing berbagai reaksi dari penonton, terutama yang mungkin tidak setuju dengan kesimpulan yang diusung oleh La Luna.
Namun, satu hal yang patut diakui bersama adalah keberhasilan La Luna dalam menghadirkan tawa melalui komedi yang tajam dan kehangatan hati melalui kisah warga Kampung Bras Basah.