"Kenapa nggak nikah-nikah, Sahal?" tanya Wawan sambil melipat sajadah di beranda masjid. Kami baru saja selesai salat Ashar di Masjid Al-Falah, Jakarta, tahun 2007. Sahal, sahabat kami yang punya usaha rental motor paling laris di kota ini, hanya tersenyum tipis.Â
Beberapa menit sebelumnya, kami sedang bersantai di masjid setelah lelah mengelilingi kota. Sahal datang dengan motor bebeknya yang selalu mengkilap, ciri khas pengusaha sukses di bidang rental motor.
"Aku tuh sibuk, Wan. Rental motor butuh perhatian lebih," jawab Sahal sambil mengunyah kurma. "Lagipula, nikah itu nggak wajib, kan?"
Wawan tertawa kecil. "Ya memang nggak wajib, tapi kan enak kalau ada yang ngurusin. Masa hidup sendiri terus?"
Sahal hanya mengangkat bahu. "Aku nggak sendiri kok, ada motor-motor kesayanganku," jawabnya sambil tertawa. "Lagipula, hidup sendiri itu lebih bebas. Mau ke mana saja, nggak perlu izin."
Kami semua tertawa mendengar jawaban Sahal. Sebenarnya, banyak yang penasaran kenapa dia tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan manapun, padahal dengan penghasilan dari rental motornya, Sahal bisa dibilang cukup mapan.
Beberapa kali aku dan Wawan mencoba memperkenalkan Sahal kepada beberapa teman perempuan kami. Hasilnya selalu sama, Sahal tetap lebih tertarik dengan motor-motor bebek dan skutik yang berderet di garasinya.
"Jadi, sampai kapan kamu mau sendiri terus, Hal?" tanyaku, mencoba sedikit lebih serius.
Sahal terdiam sejenak, menatap ke arah jalan raya yang ramai. "Mungkin sampai waktunya datang," jawabnya pelan. "Tapi kalaupun nggak datang, aku nggak masalah. Hidup ini nggak melulu soal menikah."
Kami terdiam, merenungi kata-kata Sahal. Ada benarnya juga, pikirku. Banyak orang menikah karena tekanan sosial, bukan karena benar-benar ingin.
Tiba-tiba, Pak Imam datang membawa senyuman. "Sahal ini memang unik. Sejak kecil suka motor, dan ternyata sampai sekarang masih setia sama motor-motornya," katanya sambil tersenyum.
Sahal tersenyum kembali. "Iya, Pak Imam. Motor nggak pernah protes, nggak pernah cemburu, dan selalu setia. Makanya aku nggak buru-buru menikah."
Kami tertawa lagi. Meskipun sering dijadikan bahan candaan, kami tahu Sahal sudah menemukan kebahagiaannya sendiri. Menikah atau tidak, yang penting adalah hidup bahagia dan puas dengan pilihan kita.
Ketika senja mulai turun, kami berpisah. Sahal menghidupkan motornya dan melambaikan tangan. "Sampai ketemu lagi, kawan. Jangan lupa, hidup ini untuk dinikmati!"
Kami mengangguk dan melambaikan tangan kembali. Sahal mungkin tidak akan menikah dalam waktu dekat, tapi dia sudah menunjukkan kepada kami bahwa kebahagiaan tidak harus datang dari hal yang sama untuk setiap orang. Baginya, motor-motor itu adalah cinta sejatinya, dan itu sudah cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H