Kekerasan seksual bisa terjadi kapan saja, di mana saja, termasuk kampus. Padahal, kampus yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi mahasiswa belajar dan memberikan kontribusinya di dunia akademis justru menjadi salah satu tempat maraknya aksi kekerasan seksual.
Pelecehan seksual tidak pandang bulu, terlepas dari siapa yang berisiko menjadi korban dan siapa pelakunya. Pelecehan dan kekerasan seksual, yang dikutuk dari semua pihak, tidak hanya terjadi di daerah rawan, tetapi juga sering terjadi di lembaga pendidikan yang menuntut nilai kemanusiaan dan kesopanan. Ada juga indikasi peningkatan kasus pelecehan seksual dalam beberapa tahun terakhir di perguruan tinggi.
Salah satu tuduhan kasus pelecehan seksual terbaru yang kini menjadi pemberitaan terjadi di Universitas Riau (UNRI). Seorang mahasiswa angkatan 2018 yang dilecehkan oleh dosennya yang juga merupakan seorang dekan.Â
Sebelumnya insiden pelecehan seksual juga terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur. Dugaan pelecehan seksual IAIN Kediri dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya.Â
Menurut survei tahun 2020 yang dilakukan Ditjen Dikti, 77% dosen mengakui ada kekerasan seksual di kampus dan 63% tidak melaporkan kekerasan seksual yang mereka ketahui.
Kekerasan seksual yang terjadi di kampus terutama menimpa perempuan, dan pelakunya adalah civitas akademika kampus itu sendiri. Kebanyakan korban kekerasan seksual atau penyintas kekerasan seksual di kampus tidak berani melapor ke pihak berwajib untuk menanganinya.Â
Pasalnya, tak jarang korban dan penyintas kekerasan seksual di kampus diperlakukan negatif atas ucapan warga kampus bahkan dibungkam. Meski tidak jarang, korban kekerasan seksual dianggap "aib" oleh pihak kampus dan tidak berani berbicara karena takut dikeluarkan dari kampus.
Apalagi korban kekerasan seksual tidak berani berbicara karena tidak ada aturan yang mengikat untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus. Peraturan terbaru tentang pencegahan kekerasan seksual di kampus adalah Permendikbudriskek No. 30/2021, dan diyakini bahwa kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak dapat diatur dan dicegah.Â
Banyak yang percaya bahwa peraturan menteri ini sebenarnya melegalkan "seks bebas" di kampus. Daripada mengatur sendiri pencegahan kekerasan seksual, ini tentang melegalkan "seks bebas" dan mendorong perilaku seksual yang dilarang oleh ajaran Islam.
Di sisi lain, pendukung Permendikbudristek menjelaskan bahwa Permendikbud merupakan salah satu jaring pengaman untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari penindasan gender, dan tidak melegalkan "zina" seperti yang dituduhkan banyak orang. Adanya peraturan menteri ini juga menjadi salah satu payung hukum bagi perguruan tinggi untuk menjalankan kegiatannya dalam rangka pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Peraturan Departemen ini juga menjadi salah satu alat dalam memerangi kekerasan seksual di kampus.