Mohon tunggu...
Robi Tri Wahyudi
Robi Tri Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seseorang yang menyukai jingga di kala senja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Solusi Perundungan

10 Oktober 2023   10:44 Diperbarui: 10 Oktober 2023   10:59 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belum lama ini kita mendengar beberapa kasus perundungan anak sekolah yang cukup viral. Tidak hanya mengguncangkan dunia pendidikan namun juga mengguncangkan seluruh penjuru negeri. Kasus yang cukup mendapat perhatian adalah perundungan berupa penganiayaan yang dilakukan oleh siswa SMP di Cilacap. Kemudian kasus seorang siswi kelas 2 SD di Gresik yang mengalami gangguan penglihatan akibat diduga ditusuk oleh kakak kelasnya. Dua kasus ini ternyata ibarat puncak gunung es, karena ternyata terdapat rentetan kasus-kasus perundungan lainnya sepanjang tahun 2023 ini.

Berdasarkan catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) terdapat 379 anak usia sekolah menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan sepanjang Januari – Agustus 2023. Sebagai tambahan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendata bahwa sebanyak 50 persen kasus perundungan terjadi di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), 23 persen terjadi di jenjang Sekolah Dasar (SD), kemudian disusul jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 13, 5 persen. Artinya kasus perundungan anak sekolah banyak dilakukan oleh anak berusia sekitar 6 – 15 tahun, usia yang seharusnya masih mendapatkan perlakuan lebih untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.

            Dari laman Kemendikbudristek RI, perundungan didefinisikan sebagai suatu perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal maupun fisik yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, dan tertekan, baik dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Disebutkan juga bahwa perundungan adalah salah satu dari 3 dosa besar pendidikan, selain kekerasan seksual dan intoleransi. Ini menunjukkan bahwa perundungan yang terjadi di sekolah bukanlah hal sepele, melainkan hal yang mesti mendapatkan perhatian khusus yang mesti dicegah. Untuk mencegah terjadinya perundungan, maka kita harus terlebih dahulu memahami jenis dan faktor penyebab perundungan.

            Perundungan yang dilakukan oleh para pelaku di sekolah ada banyak macam jenisnya. Yang paling umum adalah perundungan verbal, yaitu dalam bentuk ucapan. Seseorang bisa menghakimi, memaki, menertawakan, meneror, menfitnah, menjelekkan bentuk fisik atau hal yang bisa membuat korban merasa tersinggung atau terpukul secara emosi dan mental. Bentuk perundungan ini bisa terjadi di dunia nyata maupun di dunia maya. Mirisnya, perundungan verbal ini terkadang dianggap sebagai bentuk candaan.  Bentuk perundungan selanjutnya yaitu perundungan fisik, berupa tindakan yang menyerang fisik, seperti memukul, meninju, melempari seseorang dengan suatu benda. Perundungan lain yang menyebabkan korban merasa tidak nyaman adalah perundungan relasi sosial, contohnya seperti pengucilan, tidak dianggap sebagai teman, merasa korban derajatnya lebih rendah, dan menghasut orang lain untuk menjauhi seseorang. Perundungan jenis ini jika terjadi secara berulang bisa menjadi perundungan verbal bahkan fisik.

            Kesemua bentuk perundungan tersebut dapat menyebabkan korban mengalami gangguan mental dan emosional. Mereka mungkin mengalami kecemasan yang berlebihan, depresi, stress, dan takut. Akhirnya mereka merasa kesepian, mengalami penurunan kualitas hidup, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Kenapa bisa terjadi perundungan?

Faktor penyebab terjadinya perundungan sangat beragam. Namun, jika dikelompokkan secara garis besar, maka ada 3 faktor. Faktor pertama adalah keluarga.

Pelaku perundungan seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah, entah dari keluarga yang penuh dengan tindakan kekerasan dalam berumah tangga, keluarga yang menghukum anak secara berlebihan, atau tinggal dengan situasi rumah yang tidak nyaman. Seorang anak biasanya akan meniru perilaku-perilaku yang setiap hari mereka lihat dan alami. Jika setiap hari mereka mendapatkan perlakuan yang kasar atau melihat tindakan-tindakan yang membuat tidak nyaman, maka mereka akan menganggap hal tersebut lumrah untuk dilakukan. Jika situasi ini dibiarkan saja, maka anak pun akan melampiaskan emosinya kepada teman di sekolah dengan meniru apa yang mereka alami selama di rumah.

Faktor selanjutnya adalah sekolah. Sekolah tempat mendidik dan membimbing anak malah bisa menjadi sarang tindakan perundungan, jika sekolah tersebut mengabaikan tindakan perundungan. Sebagai contoh, sistem sekolah yang masih menerapkan hukuman fisik, perlakuan guru yang mewajarkan tindakan fisik seperti mencubit, melempar penghapus kepada siswa yang ribut, dan tindakan semacamnya. 

Bukannya siswa menjadi lebih baik, namun hukuman-hukuman seperti ini justru dapat menjadikan siswa beranggapan bahwa tindakan-tindakan fisik adalah hal yang wajar untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, sikap sekolah yang mengabaikan dan meremehkan perundungan yang terjadi kepada siswa juga dapat menyebabkan tindakan perundungan akan terus ada. Seperti menganggap tindakan perundungan verbal hanyalah sebuah candaan atau menganggap tindakan perundungan dengan mengatakan “kan masih anak-anak, jadi wajar saja”.

Faktor terakhir adalah lingkungan. Lingkungan bisa mencakup berbagai ranah, seperti lingkungan tempat tinggal, lingkungan teman-teman sebaya, media elektronik, dan media sosial. Anak-anak akan meniru perbuatan yang sering terjadi di lingkungan mereka. Jika perbuatan baik sering dipraktikkan, maka paling tidak anak-anak tersebut akan menirunya. Namun, jika perbuatan negatif seperti perkataan kasar, kekerasan, dan bentuk perundungan lainnya, maka anak tersebut akan menganggap bahwa perbuatan tersebut adalah hal lazim untuk dilakukan.

Solusi Perundungan

Perundungan bukanlah hal baru, sudah terjadi sejak dulu. Perundungan bukan hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh dunia. Bahkan, negara yang memiliki pendidikan baik seperti Jepang dan Korea Selatan pun tak bebas dari perundungan.

Tapi bukan berarti perundungan tak bisa diatasi. Yang perlu diketahui adalah solusi perundungan tidak dapat diatasi secara instan karena penanganan kasus perundungan bersifat sistematis. Artinya, perlu melibatkan berbagai pihak, berbagai aspek, dan bukan hanya penanganan kasus yang tampak kepermukaan saja.

Kalau kita mencari dari berbagai sumber, narasumber, dan media, sudah banyak yang telah memberikan solusi perundungan. Tapi penulis di sini tergugah dengan pemikiran Bapak Pendidikan kita, yaitu Ki Hajar Dewantara. Beliau mengatakan bahwa “di dalam hidupnya anak-anak ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu alam keluarga, alam perguruan, dana alam pergerakan pemuda”. Dari pemikiran beliau tersebut, dapat ditafsirkan bahwa agar tercipta suasana pembelajaran yang baik, maka bukan semata-mata sekolah dalam hal ini guru sebagai ujung tombak. 

Melainkan juga perlu sokongan dari alam keluarga (orang tua/wali murid) dan alam pergerakan pemuda (organisasi, masyarakat, dan aparat). Oleh karena itu, untuk solusi perundungan maka perlu melibatkan ketiga aspek ini.

Pada aspek alam keluarga (orang tua/wali murid) solusi yang wajib untuk dilakukan adalah membangun lingkungan keluarga yang positif, yang bisa membuat kenyamanan dan kehangatan di dalam rumah. Tanpa tindakan ini, maka perundungan tidak bisa diidentifikasi. Karena, jika ada anak yang dirundung, maka mereka enggan untuk menceritakan kejadian tersebut kepada keluarganya. Padahal dengan membangun kedekatan antara orang tua dan anak akan menciptakan keterbukaan anak untuk bercerita dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Selain itu, pihak keluarga dalam hal ini wali murid perlu membangun hubungan positif dengan sekolah, seperti menanyakan perkembangan atau tindakan anak mereka sehari-hari di sekolah.

Pada aspek alam perguruan (sekolah), sekolah perlu menciptakan lingkungan sekolah positif, yang membuat siswa merasa aman dan nyaman. Sekolah mesti memiliki payung peraturan yang jelas dan mampu dipahami oleh siswa, orang tua, dan guru. Peraturan ini mesti memuat disiplin positif yang meniadakan hukuman fisik dan mengutamakan kedekatan sosial-emosional dan psikologi kepada murid. 

Patut diapresiasi juga kebijakan dari pemerintah untuk membentuk tim Pencegahan dan Penangan Kekerasan (TPPK) di sekolah dan juga Sekolah Ramah Anak yang turut menjadi alternatif untuk pencegahan tindakan perundungan. Tapi yang perlu diingat adalah tanpa aksi nyata, maka tim dan pelaksanaan Sekolah Ramah Anak hanyalah sekedar SK yang ditetapkan oleh Kepala Sekolah saja. Oleh karena itu, sekolah juga perlu memotivasi para guru untuk mengikuti program pelatihan atau pengembangan diri tentang penanganan perundungan dan tindakan kekerasan di sekolah. Agar sistem yang dibuat benar-benar bisa membangun kedekatan dan kenyamanan murid di sekolah.

            Selanjutnya, sekolah juga perlu memfasilitasi para murid yang ingin melakukan konseling jika mereka mengalami permasalahan. Untuk itu, peran guru BK penting dalam usaha penanganan perundungan, baik secara preventif, kuratif, dan rehabilitasi. Tidak lupa melakukan skrining tindakan perundungan dan mengedukasi pencegahan perundungan.  

Sebagai tambahan, ada baru-baru ini ada wacana dari Komisi X DPR RI untuk melibatkan Babinsa dalam pendisiplinan siswa. Secara pribadi penulis menyarankan, sebaiknya Babinsa ini hanya dijadikan mitra edukasi untuk penangan perundungan, tindakan kekerasan, atau kenakalan remaja yang terjadi di luar sekolah saja. Jika Babinsa benar-benar masuk ke sekolah, maka aspek  sosial-emosional dan psikologi perlu diutamakan.

            Solusi perundungan selanjutnya yaitu dari aspek alam pergerakan pemuda (organisasi/masyarakat). Masyarakat perlu memperkecil ruang untuk terjadinya kenakalan remaja. Masyarakat juga perlu berani untuk melaporkan tindakan perundungan, kenakalan, dan kekerasan remaja yang terjadi di lingkungan sekitar. 

Disinilah peran Babinsa tadi seharusnya, jika ingin dilibatkan dalam pendisiplinan siswa, yaitu sebagai mitra masyarakat dalam edukasi dan pencegahan kenakalan remaja. Kemudian, organisasi kepemudaan, seperti Pramuka, Karang Taruna, tim olahraga, atau organisasi lainnya perlu terus menggiatkan kegiatan positif yang mampu membangun dan mengembangkan minat, bakat, dan hobi siswa agar kenakalan remaja yang terjadi bisa dikurangi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun