Hutan dan Lahan merupakan salah satu sektor penggerak dalam perekonomian nasional. Dimana hutan dan lahan dapat dimanfaatkan sebagai tempat bertani, penghasil kayu, buah, wisata, taman nasional maupun suaka marga satwa yang tentunya memiliki nilai ekonomis dan menjadi sumber pendapatan daerah maupun negara.Â
Banyaknya hutan dan lahan yang belum tersentuh, regulasi pembebasan yang rumit serta semakin tingginya kebutuhan akan lahan kosong oleh beberapa perusahaan untuk memperluas usaha mereka, mulai dari bisnis properti hingga pertambangan.
Deforestasi merupakan salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan hutan dan lahannya. Deforestasi adalah suatu kondisi saat tingkat luas area hutan yang menunjukkan penurunan secara kualitas dan kuantitas.Â
Deforestasi terjadi karena desakan konversi lahan untuk pemukiman, infrastruktur, dan pemanenan hasil kayu untuk industri. Selain itu juga terjadi konversi lahan untuk perkebunan, pertanian, peternakan dan pertambangan.
Menurut Center for International Forestry Research (CIFOR), pulau Kalimantan sebagai salah satu tempat tinggal bagi sebagian ekosistem paling beragam di muka bumi, mengalami penurunan luas kawasan hutan tua hingga 30 persen sejak 1973.Â
Hutan tua adalah hutan rimba yang tidak pernah terdampak manusia atau hutan terdampak ekstraksi kayu, namun tidak seluruhnya digunduli, dan struktur hutan yang masih terjaga. Penurunan tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan dan konversi lahan untuk penebangan, perkebunan dan pembangunan infrastruktur.Â
Ekspansi perkebunan sawit dan kayu bubur kertas menjadi salah satu sektor yang menyebabkan kehilangan signifikan hutan di Kalimantan, dimana pulau ini merupakan produsen utama minyak sawit dunia. Kalimantan memiliki luas perkebunan sawit industry yang mencapai 8,3 juta Ha pada 2016 atau sekitar setengah luas tanam global (18 juta Ha).
Kawasan hutan yang digunduli sejak 2013 terus mengalami peningkatan, khususnya pada 2016 hutan digunduli dengan kecepatan tertinggi sejak 1997, yaitu hamper 400.000 ha. Kebanyakan deforestasi ini terjadi akibat kebakaran tak terkendali El Nino.Â
Dari 2005 hingga 2015, ekspansi perkebunan sawit industrial bertanggung jawab untuk 50 persen (2,1 juta Ha) kehilangan area hutan tua Kalimantan. Temuan ini tentu berbanding terbalik dengan komitmen avoided deforestation perusahaan - perusahaan.
Sementara itu di Riau, berdasarkan pemantauan citra satelit Landsat 8, Jikalahari, mengatakan bahwa luas hutan di Riau pada 2015 berkurang dibandingkan dengan 2013.Â
Tutupan hutan Riau sepanjang tahun 2015 mencapai 1,64 juta Ha atau jauh berkurang dibandingkan dengan 2013 yakni 2,05 juta Ha. Perkiraan luas hutan yang mengalami deforestasi adalah 373.373 Ha. Sekitar 139.552 Ha deforestasi terjadi pada kawasan konsesi IUPHHK, sisanya 233.820 Ha pada kawasan bukan IUPHHK.
Berdasarkan data publikasi dari Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan emisi bersih GRK dari lahan terdeforestasi mencapai titik tertinggi dengan nilai total 288 juta tCO2-e pada tahun 2009 dan terendah 28 juta tCO2-e pada tahun 2001.Â
Deforestasi yang dilakukan oleh pelaku kepentingan terhadap hutan dan lahan di Indonesia telah dan akan terus menimbulkan dampak serius pada tingkat nasional bahkan global. Penebangan hutan yang merusak, kebakaran hutan yang tak terkendali, pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan, pengerukan bahan bakar dari fosil, pembangunan wilayah transmigrasi, budidaya hewan air, dan pembangunan jalan telah sejak lama dikaitkan dengan dampak sosial dan ekonomi yang negatif bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan, dan kerugian keuangan yang sangat besar bagi masyarakat dan negara.
Pemerintah Indonesia tentunya telah melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan dari dampak deforestasi hutan dan lahan di Indonesia. Tidak hanya itu pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan hidup telah diatur di dalam Undang - Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungna dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Â
Namun, implementasi dari UU tersebut dinilai masih kurang, dimana kasus deforestasi, terutama dengan pembakaran hutan masih terjadi di sepanjang tahun 2017 hingga 2018, seperti yang terjadi pada September s.d. Oktober 2017, satelit modis Terra dan Aqua milik BMKG Pekanbaru memantau adanya 54 titik panas (bulan September) dan 21 titik panas (bulan Oktober) di Sumatera, dan di antaranya terdapat di Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hilir, Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kabupaten Rokan Hilir.Â
Titik tersebut terindikasi kuat merupakan kebakaran hutan dan lahan dengna tingkat cofidence di atas 70 persen. Hal tersebut mengakibatkan jarak pandang di Pekanbaru, Dumai dan Pelalawan sejauh 10 km, serta Rengat sejauh 8 km.Â
Untuk tahun 2018, berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, terdapat 17 titik panas yang tersebar di 6 kabupaten dan kota di Riau, antara lain Kabupaten Rokan Hulu 5 titik, Kabupaten Rokan Hilir 6 titik, Kabupaten Kampar 2 titik, Kabupaten Dumai 2 titik, Kabupaten Kepulauan Meranti 1 titik dan Kabupaten Siak 1 titik, dengan 12 di antaranya akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan confidence (tingkat kepercayaan) 70 persen.
Perlu adanya upaya yang lebih dari pemerintah, yang tidak hanya berorientasi pada penanganan hutan dan lahan yang terbakar, tetapi kepada upaya deteksi dan pencegahan dari adanya potensi kebakaran hutan dan lahan, seperti penggunakan teknologi penginderaan jauh, pemetaan digital untuk mendukung upaya prediksi, deteksi dan merespon potensi krisis kebakaran; mencegah kebakaran tak diinginkan; dan untuk menegakkan penegakkan hukum pelarangan pembakaran.Â
Harus diciptakan suatu mekanisme yang mengatur secara tegas tentang pengelolaan hutan dan lahan oleh perusahaan agar tidak tercipta kesewenangan perusahaan dalam melakukan deforestasi di Indonesia. Meningkatkan perencanaan spasial untuk melindungi lahan gambut dan hutan bernilai karbon tinggi lain.
 Merehabilitasi lahan gambut, merupakan cara terbaik untuk mencegah api dan dekomposisi gambut (sebagai sumber utama emisi karbon), karena gambut basah tidak terbakar atau terdekomposisi. Terus melanjutkan moratorium hutan dan meluaskannya ke seluruh lahan gambut.Â
Menjamin setiap pembangunan yang melibatkan penggunaan skala besar perubahan penggunaan lahan hanya terjadi pada lahan yang telah terdegradasi/terdeforestasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H