Berdasarkan data publikasi dari Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan emisi bersih GRK dari lahan terdeforestasi mencapai titik tertinggi dengan nilai total 288 juta tCO2-e pada tahun 2009 dan terendah 28 juta tCO2-e pada tahun 2001.Â
Deforestasi yang dilakukan oleh pelaku kepentingan terhadap hutan dan lahan di Indonesia telah dan akan terus menimbulkan dampak serius pada tingkat nasional bahkan global. Penebangan hutan yang merusak, kebakaran hutan yang tak terkendali, pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan, pengerukan bahan bakar dari fosil, pembangunan wilayah transmigrasi, budidaya hewan air, dan pembangunan jalan telah sejak lama dikaitkan dengan dampak sosial dan ekonomi yang negatif bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan, dan kerugian keuangan yang sangat besar bagi masyarakat dan negara.
Pemerintah Indonesia tentunya telah melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan dari dampak deforestasi hutan dan lahan di Indonesia. Tidak hanya itu pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan hidup telah diatur di dalam Undang - Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungna dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Â
Namun, implementasi dari UU tersebut dinilai masih kurang, dimana kasus deforestasi, terutama dengan pembakaran hutan masih terjadi di sepanjang tahun 2017 hingga 2018, seperti yang terjadi pada September s.d. Oktober 2017, satelit modis Terra dan Aqua milik BMKG Pekanbaru memantau adanya 54 titik panas (bulan September) dan 21 titik panas (bulan Oktober) di Sumatera, dan di antaranya terdapat di Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hilir, Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kabupaten Rokan Hilir.Â
Titik tersebut terindikasi kuat merupakan kebakaran hutan dan lahan dengna tingkat cofidence di atas 70 persen. Hal tersebut mengakibatkan jarak pandang di Pekanbaru, Dumai dan Pelalawan sejauh 10 km, serta Rengat sejauh 8 km.Â
Untuk tahun 2018, berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, terdapat 17 titik panas yang tersebar di 6 kabupaten dan kota di Riau, antara lain Kabupaten Rokan Hulu 5 titik, Kabupaten Rokan Hilir 6 titik, Kabupaten Kampar 2 titik, Kabupaten Dumai 2 titik, Kabupaten Kepulauan Meranti 1 titik dan Kabupaten Siak 1 titik, dengan 12 di antaranya akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan confidence (tingkat kepercayaan) 70 persen.
Perlu adanya upaya yang lebih dari pemerintah, yang tidak hanya berorientasi pada penanganan hutan dan lahan yang terbakar, tetapi kepada upaya deteksi dan pencegahan dari adanya potensi kebakaran hutan dan lahan, seperti penggunakan teknologi penginderaan jauh, pemetaan digital untuk mendukung upaya prediksi, deteksi dan merespon potensi krisis kebakaran; mencegah kebakaran tak diinginkan; dan untuk menegakkan penegakkan hukum pelarangan pembakaran.Â
Harus diciptakan suatu mekanisme yang mengatur secara tegas tentang pengelolaan hutan dan lahan oleh perusahaan agar tidak tercipta kesewenangan perusahaan dalam melakukan deforestasi di Indonesia. Meningkatkan perencanaan spasial untuk melindungi lahan gambut dan hutan bernilai karbon tinggi lain.
 Merehabilitasi lahan gambut, merupakan cara terbaik untuk mencegah api dan dekomposisi gambut (sebagai sumber utama emisi karbon), karena gambut basah tidak terbakar atau terdekomposisi. Terus melanjutkan moratorium hutan dan meluaskannya ke seluruh lahan gambut.Â
Menjamin setiap pembangunan yang melibatkan penggunaan skala besar perubahan penggunaan lahan hanya terjadi pada lahan yang telah terdegradasi/terdeforestasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H