Mohon tunggu...
Robin Dos Santos
Robin Dos Santos Mohon Tunggu... -

"Marilah kita mulai dengan yang tak-mungkin"\r\n- Jacques Derrida

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Seorang Kawan untuk Kawannya

11 Desember 2010   15:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:49 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi subuh. Dan kau tetap saja terjaga. Pagi ini tak begitu dingin. Kau mulai beranjak dari dudukmu sedari tadi. Saatnya membuat kopi lagi. Kau melangkah tenang menuju dapur. Disana masih ada sisa air panas dalam termos, juga sebungkus kopi racikan ibu. Tentu saja semua orang tahu, bahwa itu kopi kesukaannmu. Sering kalinya kau ceritakan bagaimana kehebatan ibumu dalam meracik kopi. Memang dalam hal rasa dan selera kau cukup angkuh.

Barangkali tanggung rasanya bila kau tidur pagi ini. Pikiranmu masih bergejolak.

Kau renggangkan tubuhmu sejenak. Kau tarik nafas. Dalam. Lalu kau hembuskan dengan perlahan. Otakmu kembali segar. Segera kau buka sebungkus rokok lagi. Kau ambil sebatang. Kau sulut.

Kau harus melanjutkannya. Tugasmu belum selesai.

IV

O, Rudi kawanku, sahabatku, yang tak akan kulupa dan tak pernah kulupa

Aku tahu cerita ini sudah basi di telinga orang-orang yang pernah memfitnah kita hidup di zaman itu. Aku tidak menceritakan kepada mereka. Mereka punya pilihan untuk mendengar atau membaca cerita sesuai dengan porsi yang enak, dan itu hak setiap orang. Aku bercerita kepada anak cucu kita, generasi yang akan datang, bayi-bayi yang baru lahir, dan embrio-embrio yang sedang tumbuh dalam rahim pasangan anak muda, yang mungkin besok akan menikah. Aku ingin mereka tahu sebuah kisah yang pernah terjadi di negeri ini, aku bercerita secara jujur apa adanya. Apakah aku salah?

Aku tidak ingin hidup kembali di zaman itu. Aku tidak mau seperti jagoan dalam film India yang memukul orang-orang jadi babak belur. Ketika kita masih remaja, sering menghancurkan tenda-tenda pernikahan. Lorong gelap itu sudah terlalu tua untuk aku berjalan. Aku ingin membuka lembaran baru, seperti kakek tua yang rajin mandi sehari tiga kali di bawah air mancur, mengambil batu kecil digosokan dari ujung kaki sampai rambut. Berlama-lama bermain bersama air. Mulai menjadwalkan jadwal menenggok tetangga sebelah, bangun lebih awal lalu membuat kopi. Mengantar anakku ke sekolah, membaca sebuah novel, mengajar bahasa kepiting kepada anakku, mendengar musik Mozart klasik. Kehidupan yang damai bagi aku untuk belajar. Ah, aku merasa tua sekarang.

Kau tahu, sekarang aku mulai rajin berdoa. Hal ini pun aku pelajari dari kamu ketika dulu kita berada dalam kondisi yang terjepit. Waktu kita pertama kali tinggal satu rumah untuk bersekolah di Lospalos. Malam itu, kita menyalakan dua lilin besar, lalu berdoa Bapa Kami dan doa Rosario. Aku melihat kamu sangat serius seolah-olah kamu melihat malaikat datang dari surga atau sedang berkomunikasi dengan Tuhan Yesus. Dalam hatiku, aku tertawa kecil. Kamu benar-benar berubah malam itu, imanmu lebih kuat dari pada aku. Kayaknya kamu cocok jadi seorang katekis atau mungkin besok lusa mau jadi pastor. Aha, dalam hatiku aku tertawa terpingkal. Setelah selesai berdoa, lilin kamu matikan dengan tanganmu. Tidak sampai lima menit, tiba-tiba di luar rumah ada bunyi-bunyi sepatu boat tentara Indonesia. Ada orang sedang berjalan mengelilinggi rumah kita, dan awalnya kita tidak takut. Di dalam rumah sangat gelap. Kita tidak saling melihat satu sama lain, belum ada listrik, rencananya lusa baru kita pasang. Tiba-tiba terdengar lagi di luar, bunyi sepatu semakin lama semakin banyak. Aku sempat berpikir ada apa sebenarnya. Aku berbisik ke telinggamu, mungkin ada intel yang sedang mengikuti langkah kita, dan memang daerah ini banyak intelnya Pak Thomas, pemimpin Alfa di kota itu dibawah komando Kopassus di Laruara.

Dalam gelap itu kita terus berbisik-bisik. Mungkin di antara kita ada yang bekerja sama dengan para pemimpin pemberontak sehingga sampai bau klandestinnya tercium oleh hidung pak Thomas yang lubangnya semakin besar. Aku juga sudah mulai takut, di tanganku ada samurai panjang milikmu. Dalam hatiku mulai berdoa. Makanya sampai sekarang kadang aku berpikir, kita akan mengingat Tuhan pada saat masuk gereja setelah keluar sudah lupa. Kita berdoa kepada Tuhan pada saat kita sedang ada musibah atau dalam ketakutan, kalau keduanya tidak ada maka kita akan melupakan Tuhan seperti dalam cerita ini.

Ah, kawanku Rudi Marsal Pires Semakin cerita itu aku kenang semakin aku rindu pula kehadiranmu disini. Kini Timor Leste telah merdeka. Namun apakah manusianya juga telah merdeka diri? Banyak nyawa yang terlalu sia-sia melayang. Darah yang terlalu suci tercecer di tanah. Tangisan yang tiada henti yang terlalu sesak jika aku mengenangnya lagi. Semoga kini jauh lebih baik. Tolong kau bawakan aku sepenggal kisah dari kampung kita. Bagaimana rupa disana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun