Mohon tunggu...
Robin Dos Santos
Robin Dos Santos Mohon Tunggu... -

"Marilah kita mulai dengan yang tak-mungkin"\r\n- Jacques Derrida

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hikayat dari Lospalos

19 Agustus 2010   04:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nenek bernafas dengan sulit, lalu melanjutkan kata-kata terakhirnya. “Ingat, hidup itu kadang mengalir seperti air, hidup itu kadang seperti batu yang keras, dan kadang seperti udara. Kamu harus belajar dari itu semua. Setiap peristiwa yang terjadi, catat itu dalam buku harianmu. Ajarkan anak-anak tentang alam dan dunia. Jika ada waktu luang, ajaklah meraka ke pantai untuk melihat ombak yang datang bergulung-gulung, ajarkan mereka mengenai banyak warna dalam kehidupan ini.”

Semakin lama nenek kelihatan semakin letih, dan suaranya mulai menghilang. Dia berhenti untuk istirahat sebentar, lalu melanjutkan pesannya. “Yang terakhir, hargailah perempuan. Hargailah semua orang. Hargailah mereka seperti kamu menghargai dirimu sendiri. Menghargai seseorang tidak berarti kita menjadi budaknya, tetapi kita menciptakan keharmonisan dalam keluarga dan lingkungan. Nenek tahu bahwa kamu memiliki wajah yang jelek, hitam dan tidak tampan seperti teman-temanmu. Janganlah kamu berkecil hati terhadap orang-orang yang menjelek-jelekkanmu. Biarkan saja mereka menghinamu, kamu harus jalani hidup dengan caramu sendiri. Hidup hanya sekali, jadi manfaatkan waktumu untuk belajar. Jangan kamu malas belajar, belajar itu bukan hanya di bangku sekolah yang guru-gurunya galak dan sering memukul kamu. Belajar itu di mana saja dan kapan saja. Bisa belajar di pantai, hutan, atau di mana-mana. Mungkin suatu saat nanti kamu akan merantau ke kota. Jika kamu memang ke kota jangan jadi sombong, kamu harus banyak belajar dari mereka yang sudah di sana. Jangan membenci musuhmu. Kebencian hanya merusakkan kehidupan umat manusia.”

Ketika orang-orang bersayap itu datang menjemput nenek, aku tetap berdiri dekat nenek dan terus mengamatinya. Tiba-tiba ada laki-laki setengah tua berjalan dengan kaki kosong mendekati nenekku, ia mulai menangis. Lelaki tua itu memeluknya dengan penuh mesra. “Ayo kita pulang sayang, aku sudah lama menunggumu.” Ketika aku mengamati mereka, aku bertanya dalam hatiku siapa lelaki tua itu. Sebelum aku jadi bertanya, nenekku mulai memperkenalkanku kepada lelaki tua itu. “Ini cucumu yang selama ini menemaniku, aku sudah menjelaskan semuanya kepadanya… tentang kehidupan dan kematian. Ia mengantarku sampai di dermaga kematian.”

Aku baru sadar bahwa lelaki tua itu adalah suaminya, tapi kenapa selama ini nenek tidak pernah ceritakan apa-apa mengenai suaminya kepadaku? Kami hanya saling memandang karena tidak bisa saling memeluk. Kapal itu mulai bergerak. Aku takut karena tidak mau ditinggalkan seorang diri “Hei nenek, kenapa kamu pergi meninggalkan aku? Jangan pergi! Jangan membiarkan aku sendiri!”

Setelah beberapa menit teriak pada kapal yang semakin jauh, aku sudah capek berteriak. Suaraku mulai menghilang, entah ke mana. Aku berteriak lagi, tapi tidak bisa mendengarkan suaraku sendiri. Aku semakin takut dan menangis.Tiba-tiba terdengar suara dari langit, suara keras itu terdengar lembut di telingaku. “Hei anak kecil, janganlah kamu takut akan percobaan, aku bangga dengan keberanianmu. Itulah arti kehidupan, kadang kita takut, menangis, dingin, sendiri tanpa orang lain, berteriak namun tidak ada orang yang mendengarkan.”

Suara itu menghilang lagi. Aku tidak tahu itu suara siapa tetapi yang jelas bukan suara neneku. Mungkin ini yang pernah aku baca dalam Alkitab bahwa, raja atas segala raja yang ada di dunia, dialah maha pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya. Beberapa menit kemudian aku mulai menutup mata dan berdoa. “Tuhan, aku hanya ingin pulang ke rumah bermain bersama teman-temanku. Tuhan kan maha tahu, bulan depan hujan akan turun dan aku harus menanam jagung. Kata nenekku aku harus cepat membersihkan rumput kering yang ada di kebun. Aku anakmu juga kata pastor Beneditus waktu memberi khotbahnya di Gereja Santa Maria. Kata pastor, Tuhan mencintai anak-anak. Aku bersama teman-teman setiap hari minggu ke gereja dan bernyani lagu untukmu, lagu Tuhan kasihanilah kami anak-anakmu. Aku masih anak kecil, baru saja naik kelas tiga, kata pak guru aku anak pintar karena aku rajin belajar. Aku percaya walaupun tidak melihatmu, aku masih bisa melihat fotomu di gereja. Tuhan ganteng sekali, tetapi kenapa mati di kayu salib? Kata teman-temanku orang yang disalib itu bersalah, tapi kata pastor Tuhan mati karena dosa-dosa kami, ampunilah dosaku ya Tuhan. Amen.”

Setelah aku selesai berdoa dan membuka mata, aku sadar bahwa aku berdiri di depan rumah. Matahari sudah menghilang, warna langit berubah menjadi merah seperti darah manusia. Aku percaya bahwa dunia memiliki kekuatan alam yang sangat kuat, tidak ada tandingannya dengan ilmu teknologi. Apakah ini tanda dari Tuhan bahwa dunia akan tamat riwayatnya? Kata nenek, suatu saat jika aku rindu kepadanya, aku hanya perlu bawa siri pinang, telur dua butir dengan coretan dan sedikit beras ke makamnya. Ini sebagai tanda untuk mengingatkan dia bahwa aku masih rindu kepadanya. Walaupun sekarang nenek tinggal di dunia orang-orang mati, ia masih hidup.

Dunia itu ada di bawah telapak kaki kita. Nenekku tidak mati seperti yang ia gambarkan kepadaku, ia pergi besama kapal misterius bersama rombongan orang-orang misterius juga. Sejak saat itu aku kehilangan komunikasi dengan nenek, tidak melihat wajahnya yang lugu, mendengarkan ceritanya. Ini hanyalah sebuah kenangan indah yang tidak dapat kulupakan begitu saja. Aku harus menulisnya dalam cerita agar suatu saat nanti dunia tahu tentang kehidupan dan kematian.

Aku kembali ke rumah diam-diam, lidahku masih terlalu kaku untuk bercerita mengenai kejadian itu. Orang-orang di kampung tidak tahu nenekku sudah pergi ke dunia orang mati, mereka masih menjali kehidupan seolah-olah tidak terjadi sesuatu di hari ini. Sang surya kembali memancarkan sinarnya, langit kembali cerah, burung-burung gereja kembali menyanikan lagu-lagu alam. Di luar rumput mulai hijau kembali, anak-anak kecil mulai berlari dengan dada telanjang, mereka tidak menangis lagi seperti kemarin karena ditinggal waktu orang tua pergi ke kebun.

Hari ini adalah awal dari sebuah kehidupan, segala macam aktifitas mulai dari hari ini. Aku memanggil anjingku yang masih tidur. “Kolega, mari kita pergi ke kebun, rumput kering telah menunggu kita, di sanalah rumah kita. Kehidupan baru ada di sana.” Anjing itu mulai mendekatiku ia menggoyangkan pantatnya siap untuk berangkat. Anjing ini satu-satu temanku yang selalu setia bersamaku. Aku mengambil cangkul dan parang lalu pergi ke kebun melewati jalan setapak dengan bersiul.

Robin Dos Santos Soares

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun