Mohon tunggu...
Robin Dos Santos
Robin Dos Santos Mohon Tunggu... -

"Marilah kita mulai dengan yang tak-mungkin"\r\n- Jacques Derrida

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hikayat dari Lospalos

19 Agustus 2010   04:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bulan Desember tiba, mendekati hari natal dan tahun baru. Orang-orang kampung yang sudah lama tinggal di kota datang menenggok keluarganya untuk natalan bersama. Mereka datang berbondong-bondong dengan konvoi mobil dan sepeda motor. Membawa oleh-oleh dari kota yang tentu saja di kampung tidak ada. Anak-anak mereka memakai baju baru bermerek, celana baru, senjata mainan plastik seperti AK-47 dan M-16.

Malam natal tiba, anak-anak itu berjalan ke gereja dengan sepatu yang bisa menyala, ada lampu ajaib kata mereka. Mereka pergi ke gereja dengan senjata mainan bersama orang tua. Nenekku pernah berpesan agar kami anak kampung jangan memakai sepatu atau sandal, agar kami bisa merasakan apa yang sedang kami injak. Doktrin itu selalu melekat di hati kami sampai dewasa.

Anak kota ada yang bercita-cita ingin mejadi tentara atau polisi. Ada yang ingin jadi pilot, dokter, orang kaya, pakar hukum, politikus yang berubah wajah menjadi tikus, dan pemimpin partai. Tetapi tidak ada yang ingin jadi petani desa. Mereka ingin bersih memakai dasi, kerja di kantor, dihormati oleh masyarakat, berfoya-foya dengan uang korupsi. Kerja kotor dengan keringat bau di badan mereka nggak mau, katanya nanti parfum dari Paris habis. Semua aksesoris dikirim dari luar negeri.

Aku bersama teman-teman takut karena senjata itu mirip senjata benaran. Seperti senjata milik para serdadu yang pernah meneror nenek waktu pulang dari kebun sore hari. Kata serdadu, nenekku seorang mata-mata dari gerakan revolusi kemerdekaan. Padahal nenekku tidak kenal sama sekali sama orang-orang itu.

Anak-anak kota selalu menghina kami dan bilang “Kami orang kampung yang bodoh dan kampungan, kotor dan menjijikan, berpakaian lusu, tidak gaul seperti anak kota, ketinggalan zaman dan informasi teknologi.” Walaupun setahun saja tinggal di kota, mereka sudah sombong sekali. Mereka beruntung punya orang tua yang berkerja di kota. Katanya sebagian dari mereka korupsi uang rakyat.

Kami tidak punya saudara di kota, semua keluarga adalah orang kampung kelas bawah yang jaraknya paling jauh sepuluh kilometer dari kampung kami. Setiap tahun mereka datang, berjalan kaki tanpa alas kaki. Membawa pisang, ubi bakar, ayam betina. “Ini oleh-oleh dari kampung” kata mereka. Mereka bercerita tentang anak yang sakit, kelaparan, bencana alam, penculikan para serdadu terhadap suami mereka yang dilakukan tanpa alasan. Setiap bulan selalu ada anak-anak yang mati karena kurang gizi. Yang lain tidak dapat sekolah dengan baik, atau tidak ada obat untuk malaria. Kebahagiaan hanyalah sebuah mimpi, namun mereka tetap bertahan hidup dan pasrah menunggu malaikat pencabut nyawa datang menjemput.

Jika ada anak yang mati, semua masyarakat berbondong-bondong ke kuburan. Tidak ada yang menangis karena air mata sudah lama kering. Mereka bernyani lagu-lagu kematian dengan tarian jiwa yang kosong. Semoga arwahnya dapat diterima di surga. Aku hanya bersedih mendengarkan kabar bahwa ada lagi yang mati. “Penderitaanmu adalah penderitaanku juga”, aku pikir, “lukamu adalah lukaku juga, penyakitmu adalah penyakitku. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saudaraku karena aku anak kecil yang sering dihina sama anak kota. Seandainya Tuhan benar-benar ada, dan malaikat Jibril menjual tiket, hari ini aku membeli tiket dan kita pergi bersama ke dunia baru. Dunia ini tidak adil bagi kita yang miskin dan melarat, nasib kita hitam seperti kulit kita.”

Para tokoh agama sering menghaluskan kematian bagi orang miskin. Mereka berkata “Hai orang-orang miskin dan tidak beriman, janganlah engkau bersedih sebab kamu diberkati Tuhan, kamu menderita di dunia tetapi sudah mendapatkan akses yang besar di surga nanti.” Saya melanjutkan pikiran saya yang ditujukan kepada anak yang baru mati. “Para tokoh agama melihat kita ini tidak beriman, kita seperti semut kecil tidak berdaya, mereka tidak ada yang miskin, selalu berpakaian putih bersih dengan pengawal bertopeng. Mereka hidup dalam kemewahan, merampas tanah kita untuk dijadikan tanah gereja. Sebaiknya kita tidak usah percaya pada mereka. mereka tidak pernah membantu kita pada saat dilanda musibah, para pemuka agama hanya menyuruh kita untuk pasrah. Agama adalah milik para penguasa dan raja, karena dengan agama mereka bisa berbuat apa saja, mulai dari mencuri hak-hak kita dan ingin menghapuskan warisan para leluhur kita. Kita sebaiknya percaya pada suara hati kita, Tuhan ada dalam diri kita masing-masing, Ia selalu bersama kita sejak kita dilahirkan. Tuhan adalah napas, darah dan daging. Sampai detik ini, sebagian dari kita menyamar menjadi sosok Tuhan yang mulia, tetapi dia tidak tahu siapa sebenarnya dia.” Setelah makan malam selesai, aku mengajak nenek kembali ke masa lalunya. Dengan sedikit malu aku bertanya. “Nek, boleh nggak aku bertanya sesuatu?” “Tentu saja boleh.” Jawabnya. “Apakah nenek pernah jatuh cinta?” “Tidak pernah” “Kenapa?” “Karena nenek dulu dijodohkan atas nama kehormatan keluarga bukan atas nama cinta. Nenek tidak ingin kembali ke masa lalu, bagaimana kalau kita sedikit bejalan-jalan ke masa depan?”

Nenek diam beberapa menit, sepertinya ada yang tidak beres, mungkin ada kenangan buruk yang sangat menyakiti hatinya, atau mungkin ia rindu suaminya yang sudah puluhan tahun meninggalkannya sendiri? Aku tidak tahu jawabannya, aku masih kecil dan belum tahu tentang hal-hal itu. Tiba-tiba ia balik bertanya kepadaku. “Sampai di mana cerita kita kemarin?” “Sampai kematian nek” “Oiya, sekarang saya ingat” “Sekarang nenek akan membahas kehidupan.”

Nenek mulai bercerita lagi “Hidup itu penuh dengan perjuangan, hidup itu penuh dengan perlawanan, lemah lawan kuat, miskin lawan kaya. Kita harus berjuang dengan tenaga yang kita miliki, kekuatan kita bersama rakyat jelata, melawan ketidakadilan dan tirani. Kemiskinan bukanlah kodrat alam, kemiskinan itu dibuat oleh penguasa dan raja untuk menghisap darah kita, seperti vampir yang hidupnya sangat tergantung pada darah segar.” “Wao…. Nenek pintar sekali. Boleh aku bertanya lagi?..... Apakah nenek punya harta karun?” “Ada. Harta karun nenek adalah cangkul, parang, jagung satu drum, dan kacang tanah sepuluh kilo. Itu bekalmu di masa yang akan datang.” Itulah harta karun nenek selama ini. Bukan begitu nek, maksudku emas atau uang?” “Jika kamu ingin hidup maka bekerja keras. Jangan langsung cari emas atau uang tanpa melakukan apa-apa. Kamu harus bekerja dulu baru dapat uang.”

Keesokan harinya neneknya menyuruhku mengantarnya ke dermaga kematian. Kapal misterius sudah siap menjemputnya. Kami harus berpisah di dermaga yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Orang-orang di kapal semua berpakaian putih-putih dan memiliki sayap. Nenekku berpesan padaku. “Sekarang sudah waktunya kita berpisah untuk selamanya, kabarkan kepada orang-orang apa yang sudah kamu dengar dari nenek, sayangilah semua orang, ajarkan mereka bekerja dan belajar. Katakanlah pada mereka untuk kerja dan jangan hanya berdoa, belajar yang banyak agar bisa mengenal dunia.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun