Mohon tunggu...
Robin Dos Santos
Robin Dos Santos Mohon Tunggu... -

"Marilah kita mulai dengan yang tak-mungkin"\r\n- Jacques Derrida

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hikayat dari Lospalos

19 Agustus 2010   04:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Nenek tidak mau orang lain mengantarku ke tempat di mana kita harus berpisah untuk selamanya, nenek ingin kamu berjalan di sampingku sampai di pelabuhan kematian. Nenek ingin kamu bukan orang lain, ingat itu. Karena kamu satu-satunya cucuku yang nenek sayangi selama ini, karena kamu bertanya tentang kehidupan dan kematian.” “Apakah aku harus menangis?” Aku bertanya “karena setiap kali kematian datang semua orang pasti menangis dan bersedih” “Tidak perlu, nenek tidak ingin air matamu jatuh karena kepergian nenek masuk surga.” “Kok nenek tahu dari mana bisa masuk surga?” aku tanya dengan sedikit bingung. “Selama ini nenek merasa berbuat baik di dunia, masa masuk neraka! Nenekmu ini sudah beli tiket untuk masuk surga.” “Berarti ada kehidupan baru setelah kematian?”

Nenek menjelaskan, “Kematian itu ibarat kamu tidur nyenyak, kamu bekerja di kebun misalnya, melihat jagung bertumbuh dengan subur, kacang tanah tidak dimakan ayam hutan, tidak ada hama tikus, kamu pulang menceritakan kepada tetanggamu, malamnya kamu tidur nyenyak kemudian bermimpi dalam tidurmu. Tetapi, jika jagungmu dimakan sama tikus atau monyet kamu pasti marah, kata-kata kotor mulai keluar satu persatu dari dalam rongga mulutmu. Kamu ingin sekali membunuhnya, namun sayang kamu hanya seorang diri. Hatimu pasti sedih melihat jagung dan tanaman lain, apakah kamu bisa tidur? Arti kematian seperti itu, kamu akan tidur nyenyak selama kamu merasa berbuat baik di dunia. Jika tidak maka arwahmu tidak tenang di alambaka.”

Aku masih bingung. “Bisa nggak nenek jelaskan dengan bahasa awam?” “Baik, kalau begitu. Nenek ingin bertanya kepadamu. Apakah kamu sudah punya pacar?” Pada waktu itu aku sedikit malu, namun beberapa menit kemudian aku angkat kepala dan menjawab. “Ya nek, tapi aku jadi malu nih.” “Nggak usah malu asal jangan sampai malu-maluin. Baik, pada saat kamu sedang jatuh cinta kepada seorang gadis desa tetapi cinta kamu ditolak, malamnya kamu bisa tidur nggak?” “Nggak bisa nek, rasanya berat banget” Jawabku dengan sedikit semangat, seperti orang baru saja minum susu.

“Tetapi seandainya cintamu diterima sama anak pak Lurah itu, apakah kamu bisa tidur?” Aku menjawab, “Tetap saja nggak bisa, tapi entar dulu, anak pak Lurah yang mana? Soalnya ada lima anak gadisnya.” “Yang berambut lurus itu, aku lupa namanya, tetapi pernah bantuin nenek waktu lagi mandi di kali” “Bantuin apa nek?” Aku bertanya dengan rasa ingin lebih tahu lagi. “Ah, kamu nggak perlu tahu, itu urusan perempuan!” jawab nenek sambil membenarkan sarungnya. “Ya aku tahu itu. Si Ita namanya, orangnya cantik dan baik hati, aku suka senyumnya. Dia teman sekelasku yang sering meminjam pensil waktu lagi ujian.”

“Kamu bisa tidur nggak sih?” Tanya nenekku lagi dengan suara agak keras. “Nggak bisa nek, aku ingin cepat ketemu keesokan harinya, bukan begitu nek?” Nenek menertawain aku dan berkata. “Itu artinya kamu sudah setengah matang, ibarat buah pisang yang tumbuh di kebun kita, dan mulai jatuh cinta sama perempuan, tetapi itu wajar saja terjadi pada siapa saja. Jika semua orang di dunia ini saling jatuh cinta, nenek rasa nggak ada perang, karena masing-masing pasangan akan mengajak pacarnya berlibur kecil di pantai atau di hutan lalu berceritakisah untuk kekasihnya” Ha …Nenek terus tertawa.

“Nenek belajar itu dari mana?” “Nenek hanya belajar dari kehidupan sehari-hari, belajar dari daun-daun hijau, tanah kering, batu, matahari, bulan dan bintang.” “Wao… nenek pintar sekali, kalau begitu jangan mati dulu ya nek, aku ingin nenek hidup lima tahun lagi agar bisa ceritain aku tentang siang dan malam, air dan laut.” Aku duduk diam sebentar, lalu bertanya “Boleh aku tertawa saat nenek mati nanti?” “Kamu boleh saja tertawa, tetapi ingat jika nenek rindu, kamu harus luangkan waktumu untuk menenggokku dengan siri pinang kesukaan nenek” “Wah, nenekku baik sekali padaku. Aku cinta nenek, aku sayang sama nenek. Tapi jangan mati dulu ya, aku nanti gimana? aku nggak punya nenek lagi yang bisa menceritakan tentang kehidupan dan kematian!”

“Nenek berjanji akan menceritakan semuanya kepadamu sebelum nenek pergi ke surga. Sekarang sudah larut malam waktunya untuk tidur, burung hantu juga sudah tidur, nenek akan ceritakan lagi besok ya!”

Tidak lama kemudian mataku mulai ngantuk, dan kami tertidur dalam udara malam yang dinginnya sampai ke dalam sumsum tulangku. Aku mulai berdoa. “Ya Tuhan, janganlah engkau memanggil cepat nenekku. Aku masih ingin hidup bersamanya, aku ingin nenek selalu bercerita sebelum aku tidur. Amen.”

Sang surya mulai terbit di ufuk timur, muncul di balik gunung Paichau. Hari ini adalah kelanjutan dari hari kemarin, segala aktifitas dimulai lagi hari ini. Matahari terus memancarkan sinarnya. Aku baru bangun dari tempat tidur yang beralas tikar bekas. Nenek sudah bangun tadi sebelum ayam berkokok tiga kali. Ia mulai membuat sarapan pagi, merebus ubi kayu. Kami setiap pagi makan umbi kayu dengan segelas air putih. Kami tidak pernah mengenal empat sehat dan lima sempurna. Kami makan apa adanya, yang penting bisa bertahan untuk hidup.

Nenekku pernah berkata bahwa “Kita bekerja keras untuk hidup, belajar dari masa lalu untuk masa depan. Ia bisa meramal cuaca hari ini, panen akan memburuk, hujan turun tapi tidak seperti tahun lalu, bulan ini ada lagi yang mati karena kelaparan. Ia lebih pintar daripada orang-orang yang bekerja di kantor BMG (Badang Meteorologi dan Geofisika) yang digaji jutaan rupiah.

Kami tinggal bersama di gubuk kecil selama sepuluh tahun, kampung kami jauh dari keramaian kota. Memelihara binatang piaraan seperti ayam dan babi. Masyarakat pada umumnya masih miskin dan buta huruf. Hidup dalam kemiskinan sudah bertahun-tahun tetapi kami tidak pernah mencuri. Kami selalu mensyukuri apa yang kami miliki, baik itu material maupun non material. Menghargai adat istiadat. Menyembah arwah para leluhur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun