Pagi sejuk yang menebar embun//
Yang selalu mengindahkan/
Helaan nafas di awal mata/
Terbuka seiring kokokkan si jantan//
Beberapa orang termenung//
Melihat bayangan diri/
Bertanya suatu hal tentangnya//
Mengapa kami dilahirkan berbeda?//
Mengapa harus terjadi?//
Betapa indahnya hidup mereka//
Yang mungkin 'tak akan kami rasakan/
Selama seluruh kulit kami/
Betolakkan dengan tanah//
Tapi/
Mengapa mereka 'tak sadar/
Dengan segala nikmat-Nya?//
Mengagungkan segalanya/
Membesarkan dadanya, dan/Bahkan mengejek, merendahakan kami/
Yang muncul ke dunia fana/
Dengan sudut pandang yang berbeda//
Namun/
'Tak selamanya pesiar itu indah/
Laksana titanic yang tenggelam/
Di samudera nan luas sana//
Semua yang kita genggam/
Apapun yang kita agungkan/
Senantiasa hilang tertelan/
Lontaran kata bahkan kalimat/
Yang terlanjur bibir mengucap//
Kami lahir bukan untuk dijauhi//
Kami lahir bukan untuk dibenci//
Dan bukan pula untuk menjadikan/
Kami bahan diskriminasi//
Bapak negara yang terhormat//
Bukankah kita semua berada/
Dalam teduh payung bersama?//
Hendak ke manakah kami/
Membawa nasib seperti ini?//
'Tak selamanya semut diam/
Ketika terinjak oleh gajah//
Waktu pun telah berlalu//
Ketika tumpul engkau mengasah/
Setelah tajam engkau jarang/
Sekali melihat ke bawah//
Kami berdiri di sini/
Di dunia yang fana ini/
Bukan untuk engkau bedakan/
Wahai para petinggi negeri//
Betapa indahnya jikalau kami/
Dapat merasakan lembut kerasnya/
Kehidupan mengukir ilmu/
Walau hanya berbilik kayu//
Namun/
Jikalau kami mendapati/
Madu dari lembut kasihmu//
Niscaya akan kami jadikan/
Bilik kayu itu menjadi/
Singgasana yang megah bagimu//
Dan kami 'kan menjadi pion-pionmu/
Yang akan mengubur habis/
Para serdadu-serdadumu//
Yang haus akan madumu/
Yang lembut nan manis itu//
Sebagai bakti ilmuku/
Terhadap manisnya madu/
Yang telah engkau limpahkan kepadaku//
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H