Saat terjadi keributan, Yusuf tidak masuk. Ia sakit. Tapi, ia mengetahui cerita (keributan) itu dari teman-temannya. Sempat kaget.
Yusuf pun malu, sebenarnya. Ia tidak menyangka bahwa hal itu bisa terjadi. Bagaimanapun, dia merasa tidak enak dengan pihak sekolah.
"Kayak apa aja gua ini," katanya dalam hati.
Walaupun beberapa teman dekatnya kerap mengejeknya seperti bangga menjadi rebutan tetapi Yusuf bukanlah orang seperti itu.
Ia hanyalah anak yang menganggap dirinya biasa-biasa. Tidak lebih. Apalagi jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain soal, misal "kesombongan" materi, jauh. Hanya ada lima ruang kelas II.
Yusuf hanya anak yang sederhana. Tidak juga pintar. Biasa-biasa saja. Peringkat di kelas saja ia hanya masuk 10 besar. Tidak pernah meningkat. Tapi, kata kebanyakan teman-temannya, Yusuf memiliki sopan santun yang lebih dari siswa atau siswi biasanya. Mungkin saja ini yang membuat Ara dan Devi menunjukkan simpatinya.
Dari itu, ia, Ara, dan Devi, sama-sama cukup dikenal oleh banyak guru. Bahkan guru saja segan oleh Yusuf.
Yusuf juga tidak pernah satu kali terlihat dimarahi oleh guru-guru. Berbeda dengan yang lain. Maka ia sempat bingung mengapa guru BP memanggilnya. Sekaligus bingung terhadap perbuatan Ara dan Devi.
"Kamu tahu maksud saya memanggil?" tanya guru BP, Ningsih.
Yusuf terpaksa menjawab tidak tahu. Jawabannya dimaksudkan agar apa yang terjadi antara Ara dan Devi bisa cepat selesai. Juga agar dia tidak dilibatkan lebih jauh.
Kemudian guru BP menjelaskannya. Yusuf hanya terdiam saja. Sesekali ia mengangguk mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya itu.