Mohon tunggu...
Robigustas
Robigustas Mohon Tunggu... Penulis - Penulis riang

Suka pizza. *Setiap nama yang ada di cerpen, bukanlah nama sebenarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Lari

24 Juni 2023   08:12 Diperbarui: 24 Juni 2023   08:14 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wulan belakangan ini tampak tidak fokus. Ia dilihat sering diam. Tidak seperti biasanya: riang. Senyumnya pun kepada pelanggan tidak seperti biasanya. Hanya senyum kecil. Jadi tidak ramah.

"Kamu kenapa?" pertanyaan bersama Soni, Tio, dan Priya, selaku pemilik kedai kopi KHAS, tempat Wulan bekerja.

Wulan hanya menjawab 'tidak ada apa-apa'. Tapi ketiganya, tidak lantas percaya. Pasti ada sesuatu. Masalah.

Ketiganya hanya berpesan, "Kalau ada masalah di luar, sebaiknya jangan dibawa ke KHAS."

Wulan mengangguk. Tanda mengerti.

Namun pesan itu hanya membuat Wulan "sadar" sebentar. Tidak lama kembali lagi: banyak diam dan senyum kecil kepada pelanggan.

Wulan sudah menikah. Di KHAS, ia sebagai kasir. KHAS buka di daerah sekitar Kemang, Jakarta Selatan.

"Satu Sidikalang, ya?" pesan pelanggan pertama ke Wulan.

Soni segera menyiapkannya. Ia sebagai pembuat kopi, atau yang lebih akrap dipanggil barista.

Soni di posisi itu karena ia memiliki pengalaman bekerja di beberapa kedai kopi di Jakarta. Pengalaman Soni sudah hampir 7 tahun.

Tio di posisi sebagai pelayan. Bertugas mengantar kopi yang telah dibuat ke pelanggan atau tamu. Tio tidak masalah dengan posisi itu.

Priya, di posisi sebagai pengawas. Ditunjuk karena pengalaman kerjanya.

Mereka semua menerima posisi masing-masing dengan kesadaran.

Selain Wulan ada karyawan satu lagi, Ridwan namanya. Ia dishwasher atau disebut ketiganya sebagai "penjaga". Sebab dinilai repot kalau tidak ada Ridwan.

"Bisa-bisa piring, gelas, dan lainnya tidak ada (baca: bersih tersedia)," canda ketiganya saat menerima Ridwan di KHAS.

KHAS buka pukul 15.30-00.00 WIB. Satu per satu pelanggan datang.

***

Beberapa hari sikap Wulan masih seperti itu. Tidak tenang. Tidak murah senyum. Gelisah. Seperti ada yang ingin disampaikan. Ia bingung.

"Pak Soni. Boleh minta waktu? Saya mau ngobrol," bunyi pesan singkat Wulan ke Soni.

Soni mempersilakan. Sebagai atasan, ia terbuka. Tidak kaku.

Usai mendengarkan obrolan lewat telepon, Soni menyimpulkan ada masalah ekonomi di rumah tangga Wulan. Soni memberikan solusi.

Ia akan coba menceritakan ke dua kawannya, Tio dan Priya, agar Wulan diberi dispensasi untuk membantu memenuhi kebutuhannya.

Tio dan Priya setuju. Tidak banyak memang, hanya sekadarnya. Wulan tampak senang. Merasa tertolong. Ia mengucapkan terima kasih kepada ketiganya, khusus kepada Soni.

Ketiganya dengan senang hati membantu Wulan.

***

Kondisi Wulan makin tidak baik. Kondisi ini mengganggu KHAS. Sebagai kasir, ia sudah beberapa kali salah input pesanan. Pelanggan pesan apa, ia input apa. Hampir setiap hari begitu. Sudah dalam dua bulan terakhir.

Ketiganya kembali menegur Wulan. Menanyakan mengapa demikian. Lagi-lagi tidak seperti biasanya.

Wulan lagi-lagi hanya menjawab seperti tidak ada apa-apa. Selalu begitu. Tapi, kali ini kondisi Wulan berbeda. Tidak sama pada waktu itu, soal ekonomi.

Ia sedang "sesak" hati. Ada yang dipendam sejak lama. Sejak sudah 3 bulan bergabung ke KHAS. Ia merasa tidak sanggup menahannya.

Ia menumpahkannya, ke Soni.

Soni kaget. Kaget membaca bunyi pesan Wulan, yang menyatakan jatuh hati pada seseorang. Dia, kata Wulan, orang dekat, yang hampir setiap hari bertemu.

Soni tiba-tiba bingung. Bingung ingin menjawab apa. Bingung ingin bertanya siapa gerangan yang dimaksud Wulan.

Soni kemudian tak habis pikir dengan apa yang disampaikan Wulan itu.

Walaupun Soni masih sendiri, belum menikah, tapi ia merasa tidak menerima pernyataan Wulan itu.

"Ingat, Wulan. Kamu itu sudah bersuami," kata Soni, menjawab pesan Wulan.

Wulan seperti tidak menerima jawaban Soni. Ia lantas membeberkan alasannya mengapa bisa jatuh hati kepada seseorang itu. Salah satunya karena orang itu dianggap paling bijak olehnya.

Soni berpikir ini adalah hal yang klasik. Klasik karena umumnya orang jika ditimpa masalah ia akan mencari jalan pintas untuk perlindungan. Dan menurutnya itu tidak baik, karena mudah sekali lari dari keadaan.

Kata Soni, hal itu berawal dari ketidaksesuaian kebutuhan hidupnya oleh sang suami belakangan ini. Tapi Wulan membantahnya di pesan lain.

Ia meyakinkan Soni, bahwa jatuh hati kepada seseorang itu murni karena rasa. Bukan karena hal lain.

Soni tidak percaya. Wulan berhenti mengirim pesan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun