PELANGGARAN ETIK DI LINGKUP KPK: KASUS NURUL GUFRON DAN TANTANGAN INTEGRITAS
ROBIATUL ADEWIYAH
Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura
Email: 240111100008@student.trunojoyo.ac.id
Pendahuluan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu institusi paling penting di Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Namun, lembaga ini sering menjadi sorotan ketika persoalan etik muncul di kalangan petingginya. Salah satu kasus terkini adalah pelanggaran etik yang melibatkan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron. Kasus ini memunculkan diskusi serius tentang bagaimana KPK menjaga integritas internal dan mengembalikan kepercayaan publik.
Rincian Kasus Nurul Ghufron
Nurul Ghufron dikenai sanksi oleh Dewan Pengawas KPK atas pelanggaran kode etik karena pernyataannya yang dinilai melanggar batas profesionalisme dan kode perilaku. Pernyataan tersebut dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai etis yang wajib dijaga oleh pejabat KPK. Meskipun Dewan Pengawas menjatuhkan hukuman berupa pemotongan gaji sebesar 20% selama 12 bulan, banyak pihak menganggap hukuman ini tidak sepadan dengan pelanggaran yang terjadi.
Kasus ini tidak hanya menyoroti perilaku individu, tetapi juga menyingkap kelemahan dalam sistem pengawasan internal KPK. Sebagai institusi yang berdiri di atas prinsip independensi dan integritas, pelanggaran etik oleh pimpinan KPK memberikan dampak yang signifikan terhadap persepsi publik.
Konteks dan Relevansi Etika di KPK
Sebagai lembaga antikorupsi, KPK memikul tanggung jawab besar dalam memerangi praktik korupsi yang telah mengakar di berbagai lini pemerintahan. Keberhasilan KPK selama ini tidak hanya bergantung pada keberanian menangani kasus besar, tetapi juga pada integritas internal lembaga. Pelanggaran etik, terutama oleh pejabat tinggi, dapat menjadi sinyal negatif bagi publik bahwa KPK tidak lagi mampu menjaga standar moral yang menjadi landasannya.