"Aku akan berpikir seribu kali malam ini."
"Cih." umpat Daniel. Dia diserang emosi tiap bahas ini, kami pula membahas ini hampir setiap hari, dia yang lebih tidak tahan dengan kelakukan Pitan daripada aku, jika saja ada lelaki yang bukan saudara kandungku - namun memiliki sifat dan perilaku seperti dirinya berada di hadapanku sekarang, mungkin aku akan langsung jatuh cinta padanya.
***
Hujan deras mengguyur malam tanpa gemerlap bintang. Angin merambat. Jendela ditutup erat agar tak ada cipratan air yang masuk tanpa permisi ke dalam kamar. Menarik selimut adalah pilihan bijak untuk menangani situasi ini di malam hari. Dari arah bawah, terdengar mesin mobil bergerak keluar dari pagar dan melambai jauh. Mau kemana Daniel di malam hujan seperti ini? tanpa sepatah kata izin atau pamit darinya, aku mengendus, bau air hujan mulai menyengat tanda hujan semakin deras dan mungkin akan ada banjir di depan.Â
Bibi Marry menelpon. Kata berita lintasan jaringan akan buruk. Apakah ada sesuatu yang penting sekali untuk dikabari saat ini juga mengingat rumah Bibi Marry berada tidak jauh dari sini.
"Halo, ada apa, Bi?" tanyaku.
"Di sini sudah mulai banjir, Naraya. Kamu di sana banjir, tak?" terdengar iringan gemercik air dari balik telepon Bibi Marry. Suasananya ramai sekali di sana, mungkin mereka sedang kerepotan dengan air yang masuk ke dalam rumah dan mulai membasahi perabotan rumah mereka, mudah-mudahan mereka tidak ada yang celaka atau mengalami kerugian.
"Tidak, Bi. Aku sedang di kamar sekarang."
"Tadi Bibi lihat mobil Daniel lewat depan rumah. Dia mau kemana hujan-hujan begini? Memangnya tidak bisa menunggu hujan reda dulu?"Â
"Aku juga tidak tahu, Bi. Aku baru melihat Daniel saat ia mengeluarkan mobilnya." kataku sembari mengingat suara mesin mobil dan pagar yang didorong saat Daniel keluar rumah.
"Ohh begitu ya. Tanyakan saja nanti ketika sudah tiba di rumah agar dia tidak menyalakan ponsel di jalan."