Hukum ada sebagai sebuah sistem peraturan yang berlaku bagi masyarakat Indonesia, yang selalu dihadapkan pada dinamika kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat seiring berkembangnya kemajuan zaman, baik dari konteks kehidupan individual, sosial, maupun politik bernegara. Perubahan-perubahan pola kehidupan sosial masyarakat tentunya secara otomatis akan berdampak pada perubahan sistem hukum.Â
Menurut Sudjono Dirdjosiworo bahwa hukum memiliki sifat dan watak serta peranannya dalam kehidupan sosial dan tuntutan-tuntuan dalam masyarakat. Maka hukum bisa dikatakan selalu mengikuti arah dan ruang gerak masyarakat yang berposisi sebagai subjek atau pelaksana hukum itu sendiri.Â
Akan tetapi adakalanya perkembangan masyarakat tertinggal oleh perkembangan hukum. Jika dihadapkan pada perubahan-perubahan sosial, maka hukum akan menempati salah satu dari dua fungsi. Pertama, sebagai sarana pengendali sosial (social control). Kedua, juga berfungsi sebagai sarana untuk merubah masyarakat (social engineering).
Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang mempunyai eksistensi dalam berkontribusi melakukan pembangunan hukum nasional telah memiliki kekuatan normatif yang semakin memperkuat keberadaan hukum Islam di Indonesia.Â
Mengenai gagasan hukum Islam ala Indonesia sebenarnya bukan merupakan sebuah pemikiran yang tidak berdasar, karena sejarah hukum Islam telah memperlihatkan perlu adanya pembaruan dan reformasi di tengah kehidupan umat Islam yang dinamis.Â
Oleh karena itu, penyesuaian hukum Islam dengan kebutuhan hukum saat ini di kalangan umat Islam di Indonesia dianggap sangat penting untuk melanjutkan implementasi sistem hukum Islam yang dapat memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan problematika umat Islam itu sendiri. Pembaharuan dalam Islam memiliki tujuan yakni penyesuaian ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama dengan ilmu pengetahuan dan falsafat modern.Â
Tetapi perlu digaris bawahi di dalam agama Islam ada ajaran yang sifatnya mutlak dan tidak dapat diubah-ubah, yang dapat diubah ialah ajaran yang besifat tidak mutlak, yaitu interpretasi atau penafsiran dari ajaran yang bersifat mutlak tersebut.
Maka salah satu metode yang tepat untuk melakukan pembaharuan hukum Islam adalah ijtihad. Ijtihad merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan pengembangan hukum Islam, sehingga untuk menjawab perkembangan zaman ijtihad sangatlah diperlukan dalam menyelesaikan problem-problem baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan menggunakan ra'yu atau akal pikiran. Terlebih lagi, realitas hukum dalam kehidupan sehari-hari umat muslim, bahwa tidak semua kasus hukum bisa diselesaikan dengan fikih klasik.Â
Menurut Fazlur Rahman, Ijtihad merupakan suatu cara untuk menggali makna dan materi hukum dengan kemaslahatan sebagai tujuannya. Dalam konteks sekarang ijtihad dapat berarti sebagai kerja progresif untuk memperbarui aturan-aturan yang terkandung dalam nash Al-Qur'an dan Al-Hadist agar keduanya mampu mencakupi situasi dan kondisi baru dengan memberikan solusi (peraturan hukum) yang baru pula.
Di Indonesia, penerapan Ijtohad dalam ranah Hukum Islam yang di Pengadilan Agama, dapat dilihat yakni pada upaya penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim dengan produknya ialah Yurisprudensi. Indonesia merupakan negara hukum dengan sistem hukum civil law.
Di dalam sistem hukum civil law, Yurisprudensi merupakan putusan-putusan Hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dikemudian hari dapat dijadian dasar acuan hakim lain di Pengadilan lain untuk menetapkan putusan dalam perkara yang sama.Â
Dimana putusan tersebut telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Kasasi. Yurisprudensi juga diartikan sebagai putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebagai contoh, dapat dicermati dalam yurisprudensi MA RI tentang pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim (Putusan Nomor : 368.K/AG/1995 dan Nomor : 51.K/AG/1999).Â
Putusan tersebut telah menjadikan anak atau kerabat yang non muslim berhak memperoleh harta warisan, peninggalan pewaris yang beragam Islam berdasarkan wasiat wajibah yang besar bagiannya sama dengan ahli waris muslim. Sejumlah putusan atau Yurisprudensi juga sudah ditelorkan oleh Mahkamah Agung, yang menunjukkan respon atau perkembangan hukum keluarga. Misal juga, dalam perkara harta bersama, walaupun KHI dan Yurisprudensi menyatakan harta dibagi dua, fifty fifty. Tetapi yurisprudensi terakhir (2007) menyatakan komposisi porsi masiing-masing tidak harus 50 : 50, melainkan tergantung siapa yang paling banyak menghasilkan jumlah dari harta bersama tersebut. Jadi, porsinya relatif, bisa saja isteri menerima lebih banyak dari pada si suami jika memang istri berkontribusi paling banyak.
Berdasarkan contoh putusan di atas, dapat digambarkan bahwa peranan Yurisprudensi merupakan salah satu diantara pilar dalam rangka untuk melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia. Ya memang idealnya, pembaharuan hukum keluarga itu bisa dilakukan melalui legislasi, penyusunan perundang-undangan atau melakukan revisi terhadap undang-undang tentang hukum keluarga.Â
Akan tetapi faktanya, penerapan metode tersebut sudah lebih dari 45 tahun terutama yang menyangkut perkawinan belum ada perubahan kecuali ada perubahan setelah adanya Yurisprudensi melalui keutusan MK terkait usia perkawinan. Kemudian barulah lahir UU No. 16 Tahun 2019 yang berkenaan dengan pasal usia perkawinan. Diakuinya Yurisprudensi sebagai sumber hukum, menegaskan tugas dan kewenangan Hakim dalam menemukan hukum. Dengan adanya upaya penemuan hukum tersebut, Yurisprudensi memiliki nilai urgensi dalam pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H