Sejatinya, berangkat haji sewaktu muda seperti Abdullah memiliki banyak keuntungan. Ibadah haji adalah ibadah badaniah, karena para hujjaj harus melaksanakan rangkaian manasik haji yang memerlukan kekuatan fisik. Mabit di ARMUNA (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), melontar jumrah, thawaf dan sa’i.
Pada saat hari tarwiyah (10 Dzulhijjah), jama’ah haji harus berjalan kaki dari Muzdalifah atau Mina (bila mampir ke tenda dari Muzdalifah) ke lokasi jamarat. Apabila jama’ah haji melanjutkan dengan melaksanakan thawaf ifadah setelah jumrah Aqobah, maka ia harus berjalan kaki ke Masjidil Haram untuk melaksanakan thawaf dan sa’i lalu sore atau malam harinya harus kembali ke Mina untuk mabit. Total jarak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki bila ia melaksanakan semua manasik tersebut pada hari tarwiyah adalah 25 – 26 km pada suhu 45.
Masa tunggu haji regular di Indonesia di beberapa daerah sudah mencapai 15 tahun an dan ONH plus mencapai 4 tahun an. Sehingga selagi kita masih muda, kita perlu tekad yang kuat untuk melaksanakan ibadah ini. Menimbang factor stamina, daftar tunggu, dan tentu saja biaya, kita perlu mengelola azzam berhaji ini dengan baik.
Belajar dari Abdullah, niat berhaji tidak hanya lintasan pemikiran. Akan tetapi harus diikuti dengan persiapan biaya yang memerlukan konsistensi. Tak jarang persiapan ini juga memerlukan waktu yang lama. Seringkali tersilap dengan keinginan lain yang menyaru sebagai kebutuhan.
Tekad berhaji ini setidaknya kita mulai dengan membuka tabungan atau rekening khusus haji. Selanjutnya secara konsisten mengkhususkan pendapatan yang halal setiap bulan untuk biaya haji. Kewajiban kita berikhtiar, mengenai hasil Allah lah yang mengatur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H