Mohon tunggu...
robi kurniawan
robi kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

https://robikurnia1.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajaran dari Seorang Peloper Koran yang Naik Haji dari Jepang

8 Agustus 2016   07:33 Diperbarui: 15 Agustus 2016   10:22 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mabit di Mina (dokumen pribadi)

Setelah bertahun-tahun menabung dari penghasilannya sebagai peloper koran, akhirnya pemuda ini dapat berangkat haji. Abdullah bercerita, dia memiliki cita-cita untuk naik haji semenjak kedatangannya dari Jawa Tengah. Sejak niat itu tercetus, dia lantas konsisten menyisihkan penghasilannya dari bekerja sebagai loper koran.

“Saya tidak mendapatkan beasiswa atau pun dukungan finansial keluarga, untuk biaya kuliah, kebutuhan hidup, dan pergi haji ini saya menyisihkan dari pendapatan loper koran Mas” paparnya.

Lajang berusia 25 tahunan ini sehari-harinya kuliah di salah satu universitas di Tokyo. Para pelajar dari Indonesia memang terbiasa melakukan pekerjaan arubaito (part time job) di Jepang. Untuk pekerjaan ini, rata-rata gaji yang didapatkan 800-1000 yen perjamnya.

Sebelum bekerja sebagai peloper koran, Abdullah mengaku bekerja part time job di minimarket. Karena pertimbangan fleksibilitas, akhirnya dia memilih bekerja part time sebagai peloper koran.

Setiap pagi, sekitar jam 4 dia harus meletakkan koran dan selebaran ke loker apartemen/perumahan. Menurutnya, tantangan terbesar pekerjaan ini adalah saat musim dingin.

Suhu pada musim dingin di Jepang berkisar di 0 derajat celcius, seringkali dibarengi dengan turun salju. Dengan mengendarai motor, Abdullah tetap harus menghantarkan koran dari agen tempatnya bekerja ke perumahan penduduk.

Untuk menambah penghasilan, lajang ini juga menjadi guide, terutama bagi turis Indonesia yang melancong ke Jepang. Ditambah penghasilan dari menjadi guide ini dia dapat menabung untuk pergi haji dari Jepang.

Pemuda ini tergabung pada bersama seratusan peserta jamaah haji rombongan Jepang yang berangkat tahun 2015 silam. Meskipun berangkat dari Jepang, hanya 5 orang nihonjin (orang Jepang). Selebihnya rata-rata pelajar dari Indonesia dan beberapa negara berpenduduk muslim lainnya.

Tahun lalu, biaya berangkat haji dari Jepang sebesar 650.000 yen. Tidak seperti Indonesia, Jepang adalah negara sekuler. Agama adalah urusan personal. Pemerintah sama sekali tidak mengatur soal ibadah ataupun perayaan keagamaan.

Untuk pergi haji ini, Abdullah tergabung bersama sebuah travel yang dikelola oleh seorang warga Mesir beristrikan orang Indonesia. Pasangan suami istri ini mengelola perjalanan haji dari Jepang, Korea, dan Hongkong. Berangkat Haji dari Jepang, jarak antara pendaftaran dan keberangkatan hanya dalam hitungan bulan. Kita dapat mendaftar dan berangkat pada tahun yang sama. Kesempatan inilah yang tidak disia siakan oleh para WNI yang sedang bekerja atau belajar di negara ini.

Rombongan Haji dari Jepang, sebagian Besar Masih Muda (dok. pri)
Rombongan Haji dari Jepang, sebagian Besar Masih Muda (dok. pri)
Pergi Haji selagi Muda

Sejatinya, berangkat haji sewaktu muda seperti Abdullah memiliki banyak keuntungan. Ibadah haji adalah ibadah badaniah, karena para hujjaj harus melaksanakan rangkaian manasik haji yang memerlukan kekuatan fisik. Mabit di ARMUNA (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), melontar jumrah, thawaf dan sa’i.

Pada saat hari tarwiyah (10 Dzulhijjah), jama’ah haji harus berjalan kaki dari Muzdalifah atau Mina (bila mampir ke tenda dari Muzdalifah) ke lokasi jamarat. Apabila jama’ah haji melanjutkan dengan melaksanakan thawaf ifadah setelah jumrah Aqobah, maka ia harus berjalan kaki ke Masjidil Haram untuk melaksanakan thawaf dan sa’i lalu sore atau malam harinya harus kembali ke Mina untuk mabit. Total jarak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki bila ia melaksanakan semua manasik tersebut pada hari tarwiyah adalah 25 – 26 km pada suhu 45.

Masa tunggu haji regular di Indonesia di beberapa daerah sudah mencapai 15 tahun an dan ONH plus mencapai 4 tahun an. Sehingga selagi kita masih muda, kita perlu tekad yang kuat untuk melaksanakan ibadah ini. Menimbang factor stamina, daftar tunggu, dan tentu saja biaya, kita perlu mengelola azzam berhaji ini dengan baik.

Belajar dari Abdullah, niat berhaji tidak hanya lintasan pemikiran. Akan tetapi harus diikuti dengan persiapan biaya yang memerlukan konsistensi. Tak jarang persiapan ini juga memerlukan waktu yang lama. Seringkali tersilap dengan keinginan lain yang menyaru sebagai kebutuhan.

Tekad berhaji ini setidaknya kita mulai dengan membuka tabungan atau rekening khusus haji. Selanjutnya secara konsisten mengkhususkan pendapatan yang halal setiap bulan untuk biaya haji. Kewajiban kita berikhtiar, mengenai hasil Allah lah yang mengatur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun