Insya Allah.
Tafsir Sholawat
Dalam bahasa Arab, lafadz sholawat untuk Baginda Nabi juga ditulis ash-shalat atau kata kerjanya “shallaa yushallii”, persis dengan ibadah salat. Hanya setelah kata ash-shalat/shalla ditambahin kata ‘alan Nabi atau semacamnya. Nah, untuk membedakan keduanya, ulama kita sangat kreatif. Salat ditetapkan sebagai ibadah salat, sedangkan ash-shalat ‘alan Nabi” dibahasakan dengan sholawat, diambil dari kata plural/jamaknya.
Pembahasaan sholawat ini bisa jadi terinspirasi dari sebuah hadits populer, yang kurang lebih terjemah literalnya begini: “Siapa yang “bersholat” kepadaku sekali, Allah akan “bersholat” kepadanya sepuluh kali.” Karena sekali sholawat saja dibalas sepuluh, jadilah kita ambil jamak-nya sholat, yaitu sholawat, untuk mengungkapkan “shalla ‘alan nabi” ini.
Ada sebuah kisah dari Sahabat Ibnu ‘Abbas. Kisah inilah yang mewartakan kita sejak kapan sholawat kepada Nabi disyari’atkan. Bahwasannya Bani Isra`il pernah bertanya kepada Nabi Musa ‘alaihis salam: “Apakah Tuhanmu “shalat”?”
Nabi Musa langsung mendapat wahyu:
“Hai Musa, mereka menanyakanmu: apakah Tuhanmu “shalat”?, maka jawablah; “Yaa, sungguh Aku dan para malaikat-Ku “sholat” untuk para nabi dan rasul-Ku.”
Dari latar sejarah Musa ini, lanjut Ibnu Abbas, akhirnya Allah pun menurunkan ayat sholawat berikut kepada Baginda Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam[1]:
﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56]
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat untuk Sang Nabi. Duhai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kalian untuknya, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Dan sekali lagi kita ingatkan, maksud shalat dalam kisah Bani Isra`il dan Ayat 56 Al-Ahzab ini berbeda dengan salat lima waktu.