بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ *
“Bismillahir Rahmanir Rahim
Alhamdu Lillahi Rabbil ‘alamin, wabihi Nasta’inu ‘ala umurid Dunya wad Din
Hanya dengan nama Allah yang Rahman nan Rahim
Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian semesta alam. Dan hanya dengan-Nya, kami memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama.”
Yup, alhamduillah, bisa kembali lagi membahas prolog kitab Safinah. Masih ingat, apa kesimpulan dari pengajian Hamdalah minggu silam? Betul, salah satu inti dari kandungan ayat kedua surat Pembuka Kitab suci kita ini adalah pujian. Islam itu agama pujian, bukan cacian. Agama ini lebih menganjurkan para pemeluknya untuk memuji, dan melarang mereka untuk mencaci, bahkan terhadap berbagai Tuhan sesembahan pemeluk lain sekalipun (QS. Al-An’am: 108). Sepelik apapun problem, optimis dan tetaplah say: “Alhamdulillah ‘ala kulli haal.”
Memahami Rabbul ‘Alamin dari Dialog Nabi Musa dengan Raja Fir’aun
Kali ini mari kita awali pengajian dengan membahas Rabbil ‘alamin. Kata Rabb memang sangat multi makna. Karenanya, penulis kurang nikmat menerjemahkan kata ini hanya dengan “Tuhan”. Selain Tuhan, Rabb mengandung arti sang pencipta, pemilik, pemberi rizki, pendidik (murabbi), pengatur, pengelola, penyempurna, dan lain-lain.
Dengan multi maknanya ini, Rabb dalam Al-Quran sering dihubungkan dengan pelbagai ciptaan-Nya, seperti alam semesta, langit, bumi, timur, barat, kami, kamu, dan seterusnya. Melihat banyaknya makna dan objek Rabb, kita akan bisa memahami mengapa kata Rabbul ‘alamin diletakkan setelah Alhamdulillah. Segala pujian itu sudah selayaknya ditujukan kepada Allah. Betapa tidak? Dialah Rabb sekalian alam semesta, yang menciptakannya, mengaturnya, mendidik isinya, dengan sangat sempurna, rapih, dan teratur.
Dari sini, tampaklah tekanan spiritual Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamin, agar kita senantiasa menanam keyakinan akan hakikat karunia nikmat-Nya yang maha luas tak terbatas, sehingga mendorong kita untuk selalu memuji-Nya dan ber-“komunikasi” secara kontinyu dengan baik dan benar. Dengan mengingat Allah sebagai Sang Rabb, ketenangan dan ketentraman akan menyemai ke dalam batin kita, sebab segala sesuatu kebutuhan kita sungguh telah disajikan oleh Allah Swt, rasa harapan (raja`) pun akan semakin meletup-letup ke haribaan-Nya.
Setelah jelas kedalaman makna kata Rabb, apa pula arti Al-‘Alamin? Namun, sebelum ini, mari kita tengok lembaran sejarah Mesir kuno yang diabadikan Al-Quran, Surat Asy-Syu’ara`: Dialog Nabi Musa dengan Raja Fir’aun yang juga penasaran, apa itu Rabbul ‘alamin?
Al-Kisah, setelah “hijrah” sekian lama di Kota Madyan, Nabi Musa kembali ke Mesir dengan status sebagai utusan Allah Swt. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): “Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir’aun: Mengapa mereka tidak bertakwa?” (QS. Asy-Syu’ara`: 10-11).
Setelah beberapa ayat, Al-Quran lebih lanjut mengisahkan pertemuan awal antara Nabi Musa dan Nabi Harun dengan Raja Fir’aun: “Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya Kami adalah utusan Rabbul ‘alamin, bahwa lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.”
Terjadilah sanggahan Raja Fir’aun yang tak terima seseorang yang dulu ia asuh sejak kecil, lalu pernah membuat “onar”, tahu-tahu sekarang mendaku sebagai utusan Rabbul ‘alamin. Usai mendengar respon Nabi Musa atas sanggahannya, Fir’aun pun melontarkan pertanyaan ingkar; “Apa itu Rabbul ‘alamin?” (QS. Asy-Syu'ara`: 23)
Ia tak memakai kata “man” (siapa), tapi ma (apa), menandakan ejekan Fir’aun terhadap Dzat yang mengutus Nabi Musa sekaligus menunjukkan kecongkakannya yang tak mempercayai eksistensi Tuhan selain dirinya sendiri.
Dengan tetap santun, Nabi Musa menjawab, “Rabb-nya (Tuhan Pencipta) langit-langit, bumi, dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercai-Nya.”
Nah, dari jawaban Nabi Musa ini, Seorang Mufassir Kenamaan Syiria, Imaduddin Isma’il Ibnu Katsir Asy-Syafi’I (701-774 H) menyimpulkan bahwa maksud Al-‘Alamin disini adalah langit-langit, bumi, dan apa saja yang ada di antara keduanya[1]. Bahasa ringannya, yaa, alam semesta raya ini. Bahkan Imam Ar-Razi (w. 606 H) berani memprediksi kemungkinan besar eksistensi alam-alam semesta nan tiada hingga lainnya, yang tidak sebatas alam semesta versi pengetahuan manusia[2]. Konon, kutip Syekh Nawawi Banten dalam Bahjatul Wasa`il-nya, Allah telah menciptakan seratus ribu alam, berdasarkan riwayat bahwa Allah menciptakan seratus ribu pelita dan Ia gantungkan semua pelita ini di ‘Arys, maka, tujuh langit-bumi dan seisinya beserta surga-neraka, semua itu masihlah dalam satu pelita saja, dan tiada yang tahu apa yang ada dalam sisa pelita-pelita lainnya kecuali Allah Swt.[3]
Bayangkan, betapa luas dan dahsyatnya “seni-kreasi” ciptaan Allah Rabbul ‘Alamin.
Imam Abu Hanifah dan Sekelompok Atheis
Dan, sayangnya, banyak yang masih belum percaya. Masih banyak Fir’aun yang berkeliaran hidup sejak dulu hingga sekarang. Contohnya, kisah Abu Hanifah berikut. Sejarah mencatat, jauh sebelum menjadi imam mujtahid fiqh, Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) pernah dikenal sebagai seorang teolog (mutakallim) masyhur di Iraq. Karena keahliannya di bidang teologi, Imam Abu Hanifah kedatangan rombongan atheis. Mereka mempertanyakan eksistensi Allah Swt.
“Sebentar,” dengan santai, Imam Abu Hanifah mulai merespon, “tinggalkan aku sendiri. Sebab aku sedang memikirkan informasi yang baru saja aku terima.”
Karena penasaran dengan informasi tersebut, para atheis ini enggan meninggalkan sang imam dan nyaman menyimaknya.
“Mereka sampaikan informasi ini kepadaku,” lanjut Imam Abu Hanifah, “Bahwa di samudera lautan terdapat perahu besar. Di dalamnya, banyak perabotan dan barang-barang dagang. Hebatnya, meski tiada seorang pun yang menahkodai, perahu tersebut bisa berjalan lancar dengan sendirinya. Meski sering diterpa ombak-ombak besar, perahu itu bisa selamat. Perahu ini bisa berjalan kemana saja yang ia mau tanpa dinahkodai satu orang pun.”
Mendengar informasi perahu ajaib dari sang imam, para atheis itu langsung membentak, “Ini informasi yang tak mungkin disampaikan oleh orang waras.” Tukas mereka terheran-heran, dan tak percaya.
“Celakah kalian, lantas bagaimana dengan seluruh alam semesta yang indah dan teratur ini. Tidakkah semua ini memerlukan Sang Pencipta (yang menahkodainya)?” tandas Sang Imam, membuat para atheis ini tercenung.[4]
Guru Komunis dan Pelajar Sekolah Dasar
Lagi-lagi tidak hanya pada era Nabi Musa dan Imam Abu Hanifah, kisah berikut tak kalah uniknya. Disampaikan oleh tokoh Ikhwanul Muslimin, Said Hawa (1935-1989), kisah ini terjadi pada masa kejayaan negara komunis, Uni Soviet (1922-1991 M). Pada saat itu, panca indera diyakini sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Yang tak bisa dilihat, berarti tak bisa dibenarkan. Doktrin ini disebarkan dengan berbagai pendekatan dan tingkatan, termasuk di tingkat sekolah dasar. Mari kita simak detail kisahnya![5]
Di depan para pelajar sekolah dasar kelas enam, seorang guru bertanya, “Apa kalian melihatku?”
“Iya, tentu!” jawab para murid serentak.
“Berarti, aku ini ada.” Ujar sang guru dengan senyum. “Apa kamu bisa melihat papan tulis ini?” tanyanya lagi.
“Iya, terlihat, Guru!” para murid menjawabnya tegas.
“Artinya, papan tulis itu ada.” Simpul sang guru, lalu melanjutkan pertanyaan berikutnya, “Bagaimana dengan meja ini, bisakah kalian melihatnya?”
“Iyaaa, bisaa.” Jawab mereka tangkas.
“Maknanya, meja itu ada.” Setelah sadar otak para pelajar mulai tercuci, sang guru pun langsung menyodorkan pertanyaan intinya, “Nah, Anak-anak, apakah kalian bisa melihat Allah?”
“Tidaaak.” Teriak para pelajar.
“Kalo begitu, berarti Allah itu tidak ada.” Dengan penuh bangga, sang guru merasa sukses mendoktrin para pelajar Muslim yang masih lugu-lugu tersebut.
Namun, tiba-tiba ada seorang pelajar berdiri secara refleks, dan ganti bertanya; “Hai Kawan-kawan, apakah kalian bisa melihat akalnya pak guru?”
Mereka langsung menjawab, “Tidaak!”
“Itu artinya akal guru kita ini tidak ada!” Lol
Apa yang dapat kita petik dari trio kisah di atas? Yup, untuk mengetahui wujud-nya Allah, tidak bisa hanya melalui panca indera saja. Meyakini panca indera sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar merupakan penyakit keyakinan yang sudah melanda manusia-manusia tempo bahela, modern, hingga akhir zaman. Sebaliknya, mari optimalkan fungsi dan daya akal kita untuk menemukan dan merasakan eksistensi-Nya dari sela-sela setiap ciptaan-Nya, terutama alam semesta ini.
Kosakata Agama dalam Bahasa Arab
Eh, ini kok malah jadi ngaji Tauhid dan sains segala? Yepp, sengaja kita paparkan disini sebagai prolog untuk fasal-fasal berikutnya, yang akan membahas sedikit tentang akidah. Sekarang kita kembali ke teks matan Safinah: “Dan hanya dengan-Nya, kami memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama.”
Saat memandang diksi ini, Syekh Nawawi Banten menguraikan definisi ad-din. Secara bahasa, kata din, yang kita terjemahkan dengan agama, ternyata mengandung banyak arti, diantaranya: taat, ibadah, balasan, dan perhitungan (hisab). Sementara secara Syariat, din dimaknai sebagai ajaran yang Allah jelaskan melalui lisan Nabinya, yang memuat pelbagai hukum-hukum. Ajaran ini disebut din, sebab kita memeluknya, dengan meyakininya dan kadang juga dengan mengkritisinya. Bisa juga disebut dengan Millah, sebab Malaikatlah yang mendiktekan (yumlihi) ajaran ini kepada sang rasul, yang kemudian rasul tersebut mendiktekannya, hingga sampai kepada kita. Dan bisa dinamai Syariat, karena sungguh Allah lah yang mensyariatkannya kepada kita, maksudnya Ialah yang mengajarkannya kepada kita melalui lisan Baginda Nabi Saw.
Kenapa agama diajarkan? Tentu antara lain untuk menjadi petunjuk bagi akal. Sebab, tentu akal saja tidak cukup menemukan dengan benar identitas Allah Swt. Karena keterbatasan akal ini, Allah mengutus Rasul untuk setiap umat secara berkala. Setiap Rasul membawa wahyu dari-Nya, yang kemudian disebut dengan agama. Maka, apa salahnya kita mengingat pepatah dari Albert Einstein (1879-1955), “Science without religion is lame, religion without science is blind.”
Dalam bahasa Arab, alam itu bisa diartikan sebagai sebuah tanda. Jadi, alam semesta ini merupakan tanda eksistensi pencipta-Nya, yaitu Allah Swt. Tidak heran, banyak yang menafsirkan alam sebagai segala sesuatu selain Allah Swt. Dengan agama dan akal ilmu pengetahuan, kita akan menyadari bahwa semua selain Allah itu pasti menyimpan tanda-tanda-Nya, yang perlu kita singkap.
Wallahu a’lam bish Showab
Kamis Dini Hari, 03/03/2016 di Ampang, Kuala Lumpur
*) Ditulis untuk Pengajian Online Safinah (POS) KMNU IIUM dan Kalam Ulama
Silahkan baca serial sebelumnya, POS#5: Balada Kisah di Balik Hamdalah.
__________________________
[1] Tafsir Ibn Katsir, 1/46.
[2] Mafatihul Ghaib, 1/24.
[3] Bahjatul Wasa`il, 1. Namun, Ibnu Katsir menilai riwayat semacam ini unik, masih memerlukan dalil yang benar.
[4] Ma’arijul Qabul karya Syekh Hafidz bin Ahmad Al-Hakami (w. 1377 H), 1/111.
[5] Allah Jalla Jalaluh karya Syekh Said Hawa, hal. 15.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H