Karena penasaran dengan informasi tersebut, para atheis ini enggan meninggalkan sang imam dan nyaman menyimaknya.
“Mereka sampaikan informasi ini kepadaku,” lanjut Imam Abu Hanifah, “Bahwa di samudera lautan terdapat perahu besar. Di dalamnya, banyak perabotan dan barang-barang dagang. Hebatnya, meski tiada seorang pun yang menahkodai, perahu tersebut bisa berjalan lancar dengan sendirinya. Meski sering diterpa ombak-ombak besar, perahu itu bisa selamat. Perahu ini bisa berjalan kemana saja yang ia mau tanpa dinahkodai satu orang pun.”
Mendengar informasi perahu ajaib dari sang imam, para atheis itu langsung membentak, “Ini informasi yang tak mungkin disampaikan oleh orang waras.” Tukas mereka terheran-heran, dan tak percaya.
“Celakah kalian, lantas bagaimana dengan seluruh alam semesta yang indah dan teratur ini. Tidakkah semua ini memerlukan Sang Pencipta (yang menahkodainya)?” tandas Sang Imam, membuat para atheis ini tercenung.[4]
Guru Komunis dan Pelajar Sekolah Dasar
Lagi-lagi tidak hanya pada era Nabi Musa dan Imam Abu Hanifah, kisah berikut tak kalah uniknya. Disampaikan oleh tokoh Ikhwanul Muslimin, Said Hawa (1935-1989), kisah ini terjadi pada masa kejayaan negara komunis, Uni Soviet (1922-1991 M). Pada saat itu, panca indera diyakini sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Yang tak bisa dilihat, berarti tak bisa dibenarkan. Doktrin ini disebarkan dengan berbagai pendekatan dan tingkatan, termasuk di tingkat sekolah dasar. Mari kita simak detail kisahnya![5]
Di depan para pelajar sekolah dasar kelas enam, seorang guru bertanya, “Apa kalian melihatku?”
“Iya, tentu!” jawab para murid serentak.
“Berarti, aku ini ada.” Ujar sang guru dengan senyum. “Apa kamu bisa melihat papan tulis ini?” tanyanya lagi.
“Iya, terlihat, Guru!” para murid menjawabnya tegas.
“Artinya, papan tulis itu ada.” Simpul sang guru, lalu melanjutkan pertanyaan berikutnya, “Bagaimana dengan meja ini, bisakah kalian melihatnya?”