بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin
“Hanya dengan nama Allah yang Rahman nan Rahim(, aku beraktivitas).
Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam semesta.”
Memulai dengan Hamdalah
Setelah basmalah, Syekh Salim penulis Safinah memuji Allah. Ini sungguh teladan yang perlu kita terapkan dalam keseharian kita. Sebagaimana ajaran Islam yang indah, memuji kepada Allah merupakan tatakrama yang langsung Ia ajarkan kepada kita sebagai hamba-Nya. Disini pujian merupakan ekspresi rasa syukur penulis Safinah.
Nabi Muhammad Saw. pernah menjamin bahwa: “Tidaklah Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba, yang kemudian ia berkata; “Alhamdulillah”, melainkan apa yang Allah beri pasti lebih spesial daripada apa yang Ia ambil.” Karena jaminan Sang Nabi ini, tidak heran kitab sekecil Safinah dan karya-karya ulama Islam berabad-abad silam masih eksis bermanfaat dan tidak lekang termakan zaman. Nyawa mereka memang sudah lama Allah “ambil”, tapi keberkahan dan kemanfaatan yang Allah berikan melalui karya-karya mereka masih sangat spesial hingga kini, bahkan sepanjang masa.
Terlebih Rasulullah Saw. juga bersabda: “Setiap urusan yang tidak dimulai dengan “alhamdu lillah”, maka ia bagai abtar, seekor hewan yang terpotong ekornya.” Ada riwayat lain, “ia bagai ajdzam, seorang yang terjangkit kusta.” Atas dasar ini, seorang ahli hadits dan fiqh Syafi’i Imam Nawawi menyatakan, “Disunnahkan memuji Allah di awal karya-karya tulis, begitu juga di permulaan mengajar bagi para guru dan pada awal pembacaan bagi para pelajar di hadapan guru-guru, baik yang dibaca hadits, fiqh, atau selain keduanya. Dan ungkapan pujian yang terbaik adalah Alhamdu Lillahi Rabbil ‘alamin.”
Balada Kisah di Balik Hamdalah: Dari Sang Orator Hingga Sang Adam
Agar sesekali refreshing, mari kita simak balada alias kumpulan kisah menarik yang berkaitan dengan hamdalah ini:
Al-kisah, pada tahun 45 Hijriah pada era kekhalifahan Sayyidina Mu’awiyah (15 SH-60 H), Sahabat Ziyad bin Abihi alias ibni Abi Sufyan (1-53 H) mulai memimpin wilayah Basrah, Khurasan, dan Sajistan. Tepat bulan Rabi’iul Awwal 45 H, ia tiba di Basrah, yang saat itu dipenuhi banyak sekali kefasikan. Karena Sahabat Ziyad merupakan seorang sastrawan sekaligus orator ulung, ia langsung mengumpulkan masyarakat Basrah dan berorasi dengan tegas dan penuh kharisma. Namun, sayangnya, karena mungkin saking semangat, orasi tersebut tak ia mulai dengan alhamdulillah. Langsung saja to the point.
Akhir kata, khutbah yang meluap-luap tersebut dikenal sejarah Basrah dengan al-khutbah al-batraa` (orasi yang terputus), terinspirasi dari bahasa hadits diatas[1]. Cerita rakyat ini mewartakan kepada kita: meski banyak yang fasik, masyarakat Basrah saat itu masih mengingat pesan Nabi Muhammad dengan baik, tapi di sisi lain juga menggambarkan watak rakyat biasanya memang lebih melihat “kekurangan” pemimpinnya, ketimbang tindakan-tindakan positif yang hendak dibangun.
Memuji kepada Allah juga sudah merupakan salah satu karakter Rasulullah Saw. Dikisahkan dari istri Baginda tercinta Siti ‘Aisyah (9 SH-58 H) bahwa disaat melihat apa yang disukai, Rasulullah senantiasa mengucapkan: “Alhamdulillahil ladzi bini’matihi tatimmus shaalihaat (Segala puji bagi Allah yang dengan karunia-Nya sempurnalah segala keshalihan).” Bahkan saat melihat sesuatu yang Nabi tak suka pun, Sang Nabi tak luput memuji Allah; “Alhamdulillah ‘ala kulli haal, Rabbi inni a’udzubika min haali ahlin nar (Segala puji bagi Allah atas seluruh kondisi, Duhai Rabb sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kondisi penghuni neraka).”[2]
Inilah kepribadian Rasul kita, baik suka maupun duka, tak pernah mengabaikan pujian kepada Sang Rabb, Allah Swt.
Bagaimana dengan polah kita? Percayalah, segetir apapun nuansa hidup kita, yuuk tetap memuji Tuhan. Dengan berkah pujian ini, titik getir itu niscaya akan berubah menjadi rangkaian bahagia bagi episode hidup kita berikutnya.
Rupa-rupanya ayahanda kita Nabi Adam juga memiliki kisah unik berkenaan dengan hamdalah. Dalam sebuah riwayat yang dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (w. 405 H), Sahabat Ibn Abbas (w. 68 H) mengisahkan kisah ini dari Rasulullah Saw. Bahwa tatkala Allah telah usai menciptakan Baginda Adam, dan meniupkan ruh ke dalamnya, ternyata Nabi Adam langsung bersin dan seketika melafalkan, “Alhamdulillah”. Dan Allah pun membalasnya dengan “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu).”[3]
Secara tersirat, hadits ini melukiskan fitrah manusia itu memang hobinya memuji Tuhan, juga sangat bahagia bila sampai dipuji dan disayang, apalagi oleh Tuhan langsung. Dan dari kisah inilah asal usul kenapa Nabi Muhammad memerintahkan kita mengucapkan hamdalah disaat bersin dan membalasnya dengan tarahhum.
Riwayat lain mengisahkan, ketika telah diturunkan ke bumi, Nabi Adam memanjatkan doa, “Duhai Allah, ajarkanlah aku bagaimana aku harus bekerja dan ajarilah aku sebuah kalimat yang mampu mengumpulkan seluruh sumber pujian di dalamnya.” Akhirnya turunlah wahyu agar Ayahanda kita Adam membaca kalimat berikut tiga kali di pagi hari dan tiga kali di waktu petang; “Alhamdulillah hamdan yuwafi ni’amahu wa yukaafi`u mazidah (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang memenuhi segala nikmat-Nya dan mencukupkan tambahan-Nya).”
Dengan landasan ini, para ahli fiqh bereksplorasi: bila ada seorang yang bersumpah ingin memuji Allah dengan segala sumber pujian terkomplit sekaligus, maka hendaknya ia mengucapkan kalimat pujian ‘ala Nabi Adam ini.
Empat Kategori Pujian: Memuji Allah, Memuji Rasul-Nya
Lalu, apakah memuji itu hanya kepada Allah? Bolehkan kita memuji selain-Nya? Tentu sah-sah saja kita memuji selain Allah. Sangat manusiawi. Memuji sebuah ciptaan sama saja dengan memuji Sang Pencipta. Dalam hal ini, para ulama mengelompokkan jenis pujian menjadi empat kategori:
1. Pujian Allah kepada Dzat-nya sendiri, seperti firman-Nya: “Dialah sebaik-baiknya pelindung dan penolong.” (QS. Al-Anfal: 40)
2. Pujian Allah kepada makhluk-Nya, seperti pujiran Allah kepada Nabi Ayyub ‘alaihis salam: “Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44), pujian Allah kepada Baginda Rasul kita, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4).
3. Pujian makhluk kepada Sang Pencipta Allah Swt, sebagaimana yang dicontohkan Nabi dalam hadits Siti ‘Aisyah diatas dan juga kisah Nabi Adam saat bersin tadi.
4. Pujian sesama makhluk, seperti pujian Nabi Muhammad kepada Sahabat Abu Bakar, “Matahari takkan terbit dan terbenam di atas seorang lelaki yang lebih utama daripada Abu Bakar.” Begitu juga pujian pamanda Nabi, Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib (56 SH-32 H) yang terekam dalam sebuah hadits berikut:
“Sayyidina Khuraim bin Aus al-Tha’iy, seorang sahabat, radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berhijrah kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sepulang beliau dari Tabuk dan aku masuk Islam. Lalu aku mendengar Abbas bin Abdul Muththalib berkata: “Wahai Rasulullah, aku ingin memujimu.” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Allah akan memberimu kehidupan dengan gigi-gigi yang sehat.” Lalu Abbas pun merangkai syair-syair pujian indah berikut:
مِنْ قَبْلِهَا طِبْتَ فِي الظِّلاَلِ وَفِيْ ... مُسْتَوْدَعٍ حَيْثُ يُخْصَفُ الْوَرَقُ
Wahai Rasulullah, engkau telah harum sebelum diciptakan di bumi, dan ketika engkau berada dalam tulang rusuk Adam, ketika ia dan Hawwa menempelkan dedaunan surga ke tubuh mereka
ثُمَّ هَبِطْتَ الْبِلاَدَ لاَ بَشَرُ ... أَنْتَ وَلاَ مُضْغَةٌ وَلاَ عَلَقُ.
Engkau harum ketika Adam turun ke bumi engkau berada dalam tulang rusuknya, ketika engkau bukan seorang manusia, bukan gumpalan daging dan bukan gumpalan darah
بَلْ نُطْفَةٌ تَرْكَبُ السَّفِيْن وَقَدْ ... أَلْجَمَ نَسْراً وَأَهْلَهُ الْغَرَقُ.
Bahkan engkau harum ketika berupa setetes air di pungguhnya Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika naik perahu, sementara berhala Nasr dan orang-orang kafir pemujanya ditenggelamkan dalam banjir bandang
تُنْقَلُ مِنْ صَالَبٍ إِلىَ رَحِمِ ... إِذَا مَضَى عَالَمٌ بَدَا طَبَقُ.
Engkau harum ketika dipindah dari tulang rusuk laki-laki ke rahim wanita, ketika generasi berlalu diganti oleh generasi berikutnya
وَرَدْتَ نَارَ الْخَلِيْلِ مُكْتَتِمًا ... فِيْ صُلْبِهِ أَنْتَ كَيْفَ يَحْتَرِقُ
Engkau harum ketika berada pada tulang rusuk Nabi Ibrahim sang kekasih Allah, ketika ia dilemparkan ke sekumpulan api, sehingga tidak mungkin ia terbakar
حَتَّى احْتَوَى بَيْتُكَ الْمُهَيْمِنُ مِنْ ... خِنْدِفَ عَلْيَاءَ تَحْتَهَا النُّطُقُ.
Sampai kemuliaanmu yang tinggi yang menjadi saksi akan keutamaanmu memuat dari suku yang tinggi dan di bawahnya terdapat lapisan gunung-gunung
وَأَنْتَ لَمَّا وُلِدْتَ أَشْرَقَتِ اْل ... أَرْضُ وَضَاءَتْ بِنُوْرِكَ اْلأُفُقُ.
Ketika engkau dilahirkan, bumi menjadi bersinar dan cakrawala menjadi terang berkat cahayamu
فَنَحْنُ فِي ذَلِكَ الضِّيَاءِ وَفِي ال ... نُّوْرِ وَسُبُلِ الرَّشَادِ نَخْتَرِقُ.
Maka Kami menerobos dalam sinar, cahaya dan jalan-jalan petunjuk itu[4]”
Keindahan kata-kata syair ini menunjukkan betapa dalam cinta Sahabat Abbas kepada Baginda Besar Rasulullah Saw. Semakin dalam cinta seseorang, semakin tinggi kualitas kata-kata yang ia rapalkan untuk memuji sang pujaan kasih. Dan pujian dahsyat untuk Nabi ini sudah terjadi saat Nabi masih hidup, sebagaimana yang terekam dalam hadits Sahabat Khuraim bin Aus ini.
Rahasia Hamdalah meniti Pintu Surga
Dan bila kita jeli memperhatikan lafal Alhamdulillah, tidakkah kita kritis sedikit dengan bertanya-tanya, “Kenapa Allah lebih memilih kata “hamd” (pujian) untuk nama-Nya, kenapa tidak kata-kata lainnya yang menandakan ketaatan seorang hamba kepada-Nya?” Pertanyaan ini pernah dilontarkan kepada cucu Baginda Rasululllah Saw, Imam Ja’far Ash-Shadiq (80-148 H), dan langusng menjawabnya:
“Karena pujian itu memiliki khasiat khusus yang melebihi ritual ketaatan lainnya. Bahwa tak seorang pun bisa memasuki surga kecuali dengan tiga hal: mengesakan Allah Swt (At-Tawhid lillah), memuji-Nya (Al-Hamdu lillah), dan mencintai-Nya (Al-Hubb lillah). Ketiga kata kunci ini pernah Allah sandangkan kepada diri-Nya sendiri dalam Al-Quran: Dalam tawhid, Allah berfirman; “Allah menyatakan bahwasannya tiada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah).” (QS. Ali Imran: 18), sedangkan pujian, Allah berulangkali berfirman Alhamdulillah di berbagai surat, dan tertaik mahabbah, Allah pernah mengungkapkan rasa cinta-Nya kepada sebuah kaum, “yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. Al-Ma`idah: 54).
Dan dari tiga kunci ini, yang paling sering Allah ulang dalam Al-Quran adalah alhamdulillah. Maka dari itu, semakin banyak kita memuji-Nya, semakin tebal kualitas tawhid dan cinta kita kepada Allah Swt. Tidak perlu heran bila ada ulama yang menyatakan bahwa alhamdulillah itu lebih utama daripada kalimat Tauhid, sebab di dalam hamdalah sudah mengandung makna tauhid. Sekali mengucapkan hamdalah, artinya kita telah memuji sekaligus mengesakan Allah Swt. Sementara kalimat Tauhid tidak menyimpan makna lain selain hanya tauhid saja.
Meski demikian, yang paling indah adalah hadits yang mengharmoniskan dua kalimat ini. Adalah Sahabat Jabir bin Abdillah (w. 74 H) pernah meriwayatkan hadits Rasulullah Saw yang menegaskan bahwa “Dzikir yang paling utama adalah La ilaaha illaLlah, sedangkan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah.”[5]
Jadi, porsi keistimewaan lebih ungkapan hamdalah ini terutama sekali saat berdoa. Hingga ada riwayat yang memastikan status doa yang tertolak sebab tidak dimulai dengan hamdalah. Ini pendidikan sopan santun dari Rasulullah Saw untuk kita semua sebagai umat-Nya. Kurang beradab bila langsung meminta tanpa memulainya dengan pujian.
Dan menurut sebagian ulama bijak bestari, alhamdulillah itu terangkai dari delapan huruf (Arab), persis seperti pintu-pintu surga yang juga berjumlah delapan pintu. Maka, siapa yang mengucapkan alhamdulillah dari kejernihan relung hati, ia berhak memasuki surga dari pintu mana saja yang iapinta.
Dan tentu kita tahu penutup doa orang-orang beriman saat menghuni surga kelak, bukan?
﴿دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾[يونس: 10]
“Doa mereka di dalamnya (surga) ialah: Subhanakallahumma, dan salam penghormatan mereka ialah: Salaam. Dan penutup doa mereka ialah: Alhamdulillahirabbil ‘alamin.”
Kamis Dini Hari, 25 Feb. 16 di Ampang, Kuala Lumpur
*) Ditulis untuk POS#5 KMNU IIUM dan Kalam Ulama
____________________
[1] Qishash minat Tarikh karya Syekh Ali At-Tantawi, cet. Dar Al-Mannar ke-12 tahun 2011. Kisah ini juga terekam singkat dalam Tafsir At-Tahrir wat Tanwir karya Imam Ibn ‘Asyur saat menafsiri ayat Alhamdulillah, dan juga dalam Shafwatut Tafasir karya Syekh Muhammad Ash-Shabuny saat menafsiri surat Al-Kautsar.
[2] Sunan Ibn Majah, no. 3803.
[3] Tafsir Ad-Durrul Mantsur karya Jalaluddin As-Suyuthi jilid 1, hal. 258.
[4] http://www.muslimedianews.com/2015/06/ini-pujian-indah-abbas-bin-abdul.html#ixzz417DjcR30
[5] Shahih Ibnu Hibban, no. 846.
Silahkan baca serial Pengajian Online Safinah (POS) sebelumnya;
- POS#4: Memaknai Basmalah dalam Tiga Dimensi
- POS#3: Mengaji Fiqh
- POS#2: Kehidupan Penus Safinah, Syekh Salim bin Sumair
- POS#1: Safinah Najah, Kitab Mungil yang Mendunia
Doakan dan ikuti POS seri-seri berikutnya, yaa :)
Wallahu a’lam bish Shawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H