ثُمَّ هَبِطْتَ الْبِلاَدَ لاَ بَشَرُ ... أَنْتَ وَلاَ مُضْغَةٌ وَلاَ عَلَقُ.
Engkau harum ketika Adam turun ke bumi engkau berada dalam tulang rusuknya, ketika engkau bukan seorang manusia, bukan gumpalan daging dan bukan gumpalan darah
بَلْ نُطْفَةٌ تَرْكَبُ السَّفِيْن وَقَدْ ... أَلْجَمَ نَسْراً وَأَهْلَهُ الْغَرَقُ.
Bahkan engkau harum ketika berupa setetes air di pungguhnya Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika naik perahu, sementara berhala Nasr dan orang-orang kafir pemujanya ditenggelamkan dalam banjir bandang
تُنْقَلُ مِنْ صَالَبٍ إِلىَ رَحِمِ ... إِذَا مَضَى عَالَمٌ بَدَا طَبَقُ.
Engkau harum ketika dipindah dari tulang rusuk laki-laki ke rahim wanita, ketika generasi berlalu diganti oleh generasi berikutnya
وَرَدْتَ نَارَ الْخَلِيْلِ مُكْتَتِمًا ... فِيْ صُلْبِهِ أَنْتَ كَيْفَ يَحْتَرِقُ
Engkau harum ketika berada pada tulang rusuk Nabi Ibrahim sang kekasih Allah, ketika ia dilemparkan ke sekumpulan api, sehingga tidak mungkin ia terbakar
حَتَّى احْتَوَى بَيْتُكَ الْمُهَيْمِنُ مِنْ ... خِنْدِفَ عَلْيَاءَ تَحْتَهَا النُّطُقُ.
Sampai kemuliaanmu yang tinggi yang menjadi saksi akan keutamaanmu memuat dari suku yang tinggi dan di bawahnya terdapat lapisan gunung-gunung
وَأَنْتَ لَمَّا وُلِدْتَ أَشْرَقَتِ اْل ... أَرْضُ وَضَاءَتْ بِنُوْرِكَ اْلأُفُقُ.
Ketika engkau dilahirkan, bumi menjadi bersinar dan cakrawala menjadi terang berkat cahayamu
فَنَحْنُ فِي ذَلِكَ الضِّيَاءِ وَفِي ال ... نُّوْرِ وَسُبُلِ الرَّشَادِ نَخْتَرِقُ.
Maka Kami menerobos dalam sinar, cahaya dan jalan-jalan petunjuk itu[4]”
Keindahan kata-kata syair ini menunjukkan betapa dalam cinta Sahabat Abbas kepada Baginda Besar Rasulullah Saw. Semakin dalam cinta seseorang, semakin tinggi kualitas kata-kata yang ia rapalkan untuk memuji sang pujaan kasih. Dan pujian dahsyat untuk Nabi ini sudah terjadi saat Nabi masih hidup, sebagaimana yang terekam dalam hadits Sahabat Khuraim bin Aus ini.
Rahasia Hamdalah meniti Pintu Surga
Dan bila kita jeli memperhatikan lafal Alhamdulillah, tidakkah kita kritis sedikit dengan bertanya-tanya, “Kenapa Allah lebih memilih kata “hamd” (pujian) untuk nama-Nya, kenapa tidak kata-kata lainnya yang menandakan ketaatan seorang hamba kepada-Nya?” Pertanyaan ini pernah dilontarkan kepada cucu Baginda Rasululllah Saw, Imam Ja’far Ash-Shadiq (80-148 H), dan langusng menjawabnya:
“Karena pujian itu memiliki khasiat khusus yang melebihi ritual ketaatan lainnya. Bahwa tak seorang pun bisa memasuki surga kecuali dengan tiga hal: mengesakan Allah Swt (At-Tawhid lillah), memuji-Nya (Al-Hamdu lillah), dan mencintai-Nya (Al-Hubb lillah). Ketiga kata kunci ini pernah Allah sandangkan kepada diri-Nya sendiri dalam Al-Quran: Dalam tawhid, Allah berfirman; “Allah menyatakan bahwasannya tiada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah).” (QS. Ali Imran: 18), sedangkan pujian, Allah berulangkali berfirman Alhamdulillah di berbagai surat, dan tertaik mahabbah, Allah pernah mengungkapkan rasa cinta-Nya kepada sebuah kaum, “yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. Al-Ma`idah: 54).
Dan dari tiga kunci ini, yang paling sering Allah ulang dalam Al-Quran adalah alhamdulillah. Maka dari itu, semakin banyak kita memuji-Nya, semakin tebal kualitas tawhid dan cinta kita kepada Allah Swt. Tidak perlu heran bila ada ulama yang menyatakan bahwa alhamdulillah itu lebih utama daripada kalimat Tauhid, sebab di dalam hamdalah sudah mengandung makna tauhid. Sekali mengucapkan hamdalah, artinya kita telah memuji sekaligus mengesakan Allah Swt. Sementara kalimat Tauhid tidak menyimpan makna lain selain hanya tauhid saja.
Meski demikian, yang paling indah adalah hadits yang mengharmoniskan dua kalimat ini. Adalah Sahabat Jabir bin Abdillah (w. 74 H) pernah meriwayatkan hadits Rasulullah Saw yang menegaskan bahwa “Dzikir yang paling utama adalah La ilaaha illaLlah, sedangkan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah.”[5]
Jadi, porsi keistimewaan lebih ungkapan hamdalah ini terutama sekali saat berdoa. Hingga ada riwayat yang memastikan status doa yang tertolak sebab tidak dimulai dengan hamdalah. Ini pendidikan sopan santun dari Rasulullah Saw untuk kita semua sebagai umat-Nya. Kurang beradab bila langsung meminta tanpa memulainya dengan pujian.
Dan menurut sebagian ulama bijak bestari, alhamdulillah itu terangkai dari delapan huruf (Arab), persis seperti pintu-pintu surga yang juga berjumlah delapan pintu. Maka, siapa yang mengucapkan alhamdulillah dari kejernihan relung hati, ia berhak memasuki surga dari pintu mana saja yang iapinta.