Mohon tunggu...
ROBERTUS DARVINO KARNO
ROBERTUS DARVINO KARNO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lahir pada bulan November, tanggal 15, 1993. Menyukai pemikiran Herakleitos tentang Pantha Rei. Bahwa sesuatu itu mengalir dan dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Fenomena Eksisnya Budaya Penti dan Gradasinya Sistem Kerja Dodo-Leles dalam Hidup Harian Orang Manggarai

22 April 2022   22:53 Diperbarui: 23 April 2022   18:49 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Secara historis kearifan lokal yang ada dalam masyarakat senantiasa berkembang di antara dua fakta: eksis dan degradasi. Upaya untuk melestarikan kearifan-kearifan lokal dicanangkan dengan berbagai macam strategi dan metode. Misalnya dengan membentuk komunitas-komunitas pencinta kebudayaan lokal. Strategi ini dikerahkan hingga ke daerah-daerah  pelosok untuk menanamkan kecintaan terhadap kearifan lokal. Salah satu contohnya adalah komunitas pencinta kain tenun di NTT yang berpusat di Kupang.

Namun perjuangan untuk melestarikan kearifan lokal menghadapi tantangan yang sulit dan eksistensial. Nyatanya kita temukan dalam dunia dewasa ini (abad 21) hampir tak ada lagi budaya yang benar-benar otentik dalam artian berkembang secara mandiri melainkan telah mengalami pengitegrasian dengan berbagai macam hal baru terutama budaya barat yang disebut westernisasi. Westernisasi dipahami sebagai pengaruh budaya barat yang masuk ke dalam dinamika kebudayaan masyarakat di luar eropa. Budaya barat pertama-tama menyusup melalui pola pikir dengan perkembangan ilmu pengetahun di abad modern. Adagium klasik cogito eergo sum Rene Decarts mengawali segala pergolakan ini. Kemudian merembes hingga ke berbagai lini kehidupan. Peradaban intelektual diperbaharui yang kemudian disusul oleh perubahan lainnya.

Seorang teoritikus komunikasi asal Kanada Marshall McLuhan (1911-1980) pada tahun 1960-an pernah memperkenalkan suatu ramalan globalisasi dalam ilmu sosial dengan spekulasi bahwa dunia semakin dihegemonisasi menjadi "desa global", yang di dalamnya keragaman budaya lokal diubah secara radikal (dan akhirnya dibatasi) melalui sistem komunikasi dan perjalanan yang semakin maju dan universal. Di era globalisasi kebudayaan menghadapi tantangan yang sangat eksistensial. Kebudayaan-kebudayaan lokal dikolaborasikan dengan budaya baru yang menyebabkan kehilangan makna aslinya.

Penulis merefleksikan fenomena di atas sebagai dua paradoks yang senantiasa ada dalam perjuangan manusia menghidupi kebudayaannya. Maka dalam papaer ini akan dipresntasikan sebuah risalah filosofis terkait hasil eksplorasi terhadap fenomena eksistensi dan gradasi kearifan lokal di tengah masyarakat yakni budaya penti dan budaya leles dalam masyarakat Manggarai.

1. Budaya Penti: Kearifan Lokal  Yang Masih Eksis 

Salah satu kearifan lokal yang masih eksis dalam masyarakat Manggarai adalah budaya Penti. Penti merupakan upacara syukuran panen masyarakat Manggarai. Syukuran ini ditujukan kepada Wujud Tertinggi-Supranatural yang disebut Mori Kraeng. Pesta ini dilaksanakan dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Semua warga kampung turut mengambil bagian dalam upacara ini.

Budaya penti mampu bertahan di tengah kemajuan yang semakin berkembang pesat. Hingga sekarang ritual ini masih dirayakan secara rutin oleh masyarakat Manggarai. Bahkan ritual Penti dirayakan juga di wilayah diaspora sebagai wujud syukur atas berkat yang mereka terima dari Tuhan. Meski demikian budaya penti telah mengalami pengintegrasian dengan peradaban modern. Unsur-unsur modern mulai dsisipkan dalam setiap ritus yang dirayakan tanpa menghilangkan makna asli dari ritus tersebut.

Dalam pengamatan penulis eksisnya budaya penti di tengah gempuran globalisasi yang menjalar hingga ke berbagai segi kehidupan secara tradisional dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama; Penti merupakan warisan leluhur yang diregenerasikan secara teratur, Kedua; Penti telah dintegrasikan dengan budaya modern tanpa menghilangkan kekhasannya, Ketiga; Penti  memiliki nilai-nilai sosio-religius yang sangat kuat untuk membentuk peradaban masyarakat Manggarai. Ketiga faktor di atas bertolak dari tujuan penti secara garis besar yakni:

1. Menyadarkan orang Manggarai menyangkut makna bersyukur kepada realitas tertinggi, yakni Mori Kraeng.  Bahwa segala sesutau yang diterima oleh orang Manggarai harus disyukuri.

2. Melalui penti maka hubungan sosial dan ikatan kekeluargaan pun semakin terbina dengan baik. Momen acara syukuran ini menyatukan seluruh warga kampung dan keluarga dalam satu clan. Acara syukuran ini juga dapat menjadi sarana untuk menyeleseaikan konflik yang terjadi dalam keluarga ata masyarakat (aspek rekonsiliasi)

3. Melalui acara syukuran ini dapat menyadarkan akan peran kesatuan tata ruang budaya masyarakat Manggarai.

Pesta yang bertemakan syukuran ini menjadi moment yang tepat bagi masyarakat Manggarai untuk saling membina persahabatan, kekeluargaan, solidaritas dan memperkuat sosialitas di antara sesama warga. Dalam pertemuan ini diadakan syukuran sekaligus rekonsiliasi. Penti kini dipandang sebagai upacara syukuran atas hidup, bukan hanya syukuran atas hasil panen. Syukuran dalam budaya Manggarai selalu dilihat dalam konteks yang lebih luas yakni syukur atas segala sesuatu (anguerah)  yang diberikan oleh Tuhan.

Menurut Greogorius Neonbasu eksisnya kearifan lokal dapat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut: 1) kebudayaan adalah miliki bersama masyarakat, 2) kebudayaan merupakan hasil belajar, 3) kebudayaan adalah identitas dan lambang, 4) integrasi.

Kebudayaan sebagai miliki bersama warga massyarakat merupakan sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku yang menjadi milik bersama warga masyarakat. Dengan demikian kebudayaan dapat menjadi ikatan yang kuat bagi terbentuknya sebuah masyarakat atau kelompok sosial. Kebudayaan sebagai milik bersama juga merupakan hasil belajar komunitas lokal yang diwariskan secara turun temurun.  Kebudayaan kemudian menjadi wadah untuk belajar bersama bagi masyarakat lokal.

Kebudayaan juga merupakan lambang dan sekaligus identitas yang menandai seseorang. Ketika saya mengenakan kain songke maka kain itu mengasosiasikan bahwa saya adalah orang Manggarai. Demikian pun ketika seseorang mengenakan ulos menandai bahwa dia adalah orang Batak. Lambang mengandung makna tersendiri dan mendorong hasrat setiap pribadi untuk bernalar mengenai kebudayaan. Pada sisi lain pengintegrasian juga merupakan faktor kunci eksisnya suatu kebudayaan. Integrasi merupakan proses penyesuaian dua kebudayaan berbeda untuk menemukan makna baru.

Dalam persepktif di atas maka ritual penti yang masih eksis hingga sekarang ini disebabkan karena Penti merupakan  hasil belajar masyarakat Manggarai melalui proses regenerasi dan menjadi milik bersama suatu komunitas masyarakat tertentu. Budaya ini kemudian menjadi lambang atau identitas yang menandai asal-usul seseorang dan diwariskan secara teratur kepada setiap generasi. Semua warga disatukan dalam upacara tersebut dan memiliki tanggungjawab secara kolektif untuk terlibat di dalamnya terutama tanggungjawab untuk mempertahankan eksistensi budaya penti serta mengitgerasikannya dengan setiap dinamika kehidupan manusia.

2. Budaya dodo/ leles:  Kearifal Lokal Yang Punah 

Salah satu kearifan lokal yang mengalamai kepunahan dalam masyarakat Manggarai adalah budaya dodo atau leles. Budaya dodo atau leles merupakan suatu sistem kerja tradisional yang bersifat gotong royong yang terdiri dari 2-3 orang. Sistem ini tidak menggunakan uang sebagai sewa jasa atas tenaga kerja melainkan diganti dengan tenaga fisik secara bergantian di antara tenaga kerja tersebut. Kelompok doSdo-leles dibentuk secara spontan tanpa harus dalam bentuk yang formal. Sistem kerjanya tergantung kesepakatan di antara anggota kelompok. Sistem kerja dodo-leles ini tidak hanya terkait tenaga fisik manusia tetapi juga dalam hal sarana atau alat kerja. Misalnya kerbau atau sapi yang digunakan untuk mengolah sawah. Sarana-sarana ini bisa juga dimasukkan dalam kategori kerja dodo atau leles.

Berdasarkan pengamatan penulis budaya leles atau dodo ini kini sudah mengalami kepunahan karena sistem kerja masyarakat telah dicaplok oleh tekhnologi-tekhnologi yang canggih. Dengan hadirnya tekhnologi pertanian budaya leles-dodo perlahan-lahan ditinggalkan. Seiring dengan punahnya leles-dodo maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga menjadi hilang karena tidak diregenerasikan. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam budaya leles atau dodo adalah: solidaritas dan sosialitas (gotongroyong), kekeluargaan, ekologis dan lain-lain. Perkembangan alat-alat tekhnologi telah menggeserkan dodo-leles dari sistem kerja masyarakat Manggarai.

Kehadiran tekhnologi pertanian pada satu sisi membawa dampak yang positif. Dengan tekhnologi pekerjaan semakin dipermudah dan lebih efisien. Penggunaan tekhnologi juga dapat menjadi pilihan di kala tenaga kerja semakin berkurang. Kurangnya tenaga kerja pada masayarakat lokal disebabkan karena minat merantau yang tinggi. Upah kerja yang besar di perantauan membuat sebagian orang-orang Manggarai memilih merantau. Namun di sisi lain hilangnya dodo-leles juga menyebabkan relasi sosial masyarakat semakin mengalami

Secara umum ada banyak faktor yang menyebabkan hilangnya kearifan lokal dalam masyarakat di era dewasa ini. Diantaranya ada beberapa hal yang bisa dikatakan sebagai penyebab terjadinya fenomena ini: Pertama; Tidak adanya pola pemenuhan kebutuhan hidup yang terbiasakan (teradatkan), Kedua; Kacaunya pegangan nilai dan norma acuan regulasi dan spiritual, Ketiga;  Kurang memaksimalkan potensi untuk pengayaan produk asing terutama pada abad modern ini dimana degradasi terhadap kearifan-kearifan lokal disebabkan karena disrupsi digital yang berkembang secara masif.

Di era disrupsi digital ini kecanggihan tekhnologi membuat makna kerja bagi manusia semakin kabur. Istilah Disrupsi digital sering juga dikenal dengan istilah Revolusi Digital yang dipahami sebagai perubahan dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital yang telah terjadi sejak tahun 1980 dan berlanjut sampai hari ini. Revolusi itu pada awalnya mungkin dipicu oleh sebuah generasi remaja yang lahir pada tahun 80-an. Analog dengan revolusi pertanian, revolusi Industri, revolusi digital menandai awal era Informasi. Revolusi atau disrupsi digital ini telah mengubah cara pandang seseorang dalam menjalani kehidupan yang sangat canggih saat ini. Sebuah teknologi yang membuat perubahan besar kepada seluruh dunia, dari mulai membantu mempermudah segala urusan sampai membuat masalah karena tidak bisa menggunakan fasilitas digital yang semakin canggih ini dengan baik dan benar.

Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa secara bahasa disrupsi disebut sebagai suatu gangguan yang terjadi pada sebuah peristiwa atau, aktifitas dan proses (distrbance or problems which interrupt an event, activity or process). Pada landasan konsepsional disrupsi ditandai dengan perkembangan tekhnologi informasi digital dan berubahnya pola hidup manusia secara radikal. Disrupsi ini mengikuti revolusi industri peradaban industrial masyarakat yang telah sampai pada level 4.0 ketika perkembangan industri informasi virtual menyergap kehidupan sebagain besar bangsa masyarakat modern dan membangun kedangkalan dan perusakan kulutaral manusia.

Terganggunya tatanan sosial oleh kemajuan teknologi bukanlah fenomena baru bagi manusia. Tanda-tanda ini sudah mulai muncul sejak awal Revolusi Industri, di mana masyarakat manusia telah mengalami proses modernisasi tanpa henti sebagai satu proses produksi baru menggantikan yang lain. Disrupsi digital sebenarnya sudah mulai dipropagandakan sejak era tersebut.  Disrupsi digital ini kemudian membentuk identitas manusia yang baru yang disebut homo digitalis. Seperti yang dikatakan F. Budi Hadirman "kelahiran  homo   digitalis ke  pentas   sejarah   dimungkinkan   oleh   teknologi".

Dalam perspektif di atas budaya dodo-leles yang sudah punah dalam masyarakat Manggarai pertama-tama disebabkan karena revolusi industri yang sudah menyusup hingga ke sektor yang paling kecil dari kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa hadirnya tekhnologi mengubah pola pikir manusia untuk mempersingkat dan mempermudah sistem kerja dengan menggunakan tekhnologi. Manusia berpindah dari sistem kerja tradisional ke sistem yang modern dengan memangkas nilai-nilai yang esensial dari sistem itu. Nyatanya nilai-nilai yang terbangun dari sistem kerja modern sangat bersifat superfisial di mana keuntungan bisnis lebih diutamakan. Sistem kerja modern lebih dibangun di atas hukum-hukum tertentu.

Penutup 

Dari eksplorasi di atas penulis menyimpulkan bahwa eksis dan punahnya kearifan lokal tergantung pada upaya masyarakat setempat untuk meregenerasikan budaya tersebut ke dalam setiap dinamika kehidupan. Kearifan lokal dalam masyarakat tentu saja berjalan beriringan dengan realitas sosial yang dinamis. Maka pengintegrasian ke dalam setiap dinamika sosial merupakan suatu upaya yang penting untuk dilakukan demi melestarikan kearifan lokal. Perkembangan zaman yang sulit dibendung mengharuskan manusia untuk beradaptasi dengan setiap perkembangan tersebut termasuk juga dengan segala kebudayaan yang dihidupinya.

Bahan Bacaan 

Dr. Gregorius Neonbasu, SKETSA DASAR, Mengenal Manusia dan Masyarakat, Jakarta: Kompas, 2020

Paula A. Erickson & Liam D, Murphy, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: Prenada Media: 2018

Adi  M Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang, Ende: Nusa Indah, 20016

Johanes Boylon dan Fransiskus Widi Awah, Mbaru Gendang, Rumah Adat Flores Manggarai, Jogjakarta: Kanisius, 2020

Teuku Kemal Fasya, Budaya Lokal di Era Disrupsi dan Ketahanan Nasional : Sebuah Tantangan Bagi Antropologi Pendidikan, Jurnal Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020), Fakultas Ilmu Sosial:  Universitas Negeri Medan, 2019

Francis Fukuyama, The Great Disrupstion, United States: Great Britain, 1999

F. Budy Hadirman, Manusia Dalam Prahara Revolusi Digital, https//journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/view/252/132

https://id.wikipedia.org/wiki/Disrupsi-Revolusi-Digital, diakses pada Minggu, 12 Desember 2021

https://id.wikipedia.org/wiki/Disrupsi-Revolusi-Digital

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun