3. Melalui acara syukuran ini dapat menyadarkan akan peran kesatuan tata ruang budaya masyarakat Manggarai.
Pesta yang bertemakan syukuran ini menjadi moment yang tepat bagi masyarakat Manggarai untuk saling membina persahabatan, kekeluargaan, solidaritas dan memperkuat sosialitas di antara sesama warga. Dalam pertemuan ini diadakan syukuran sekaligus rekonsiliasi. Penti kini dipandang sebagai upacara syukuran atas hidup, bukan hanya syukuran atas hasil panen. Syukuran dalam budaya Manggarai selalu dilihat dalam konteks yang lebih luas yakni syukur atas segala sesuatu (anguerah) Â yang diberikan oleh Tuhan.
Menurut Greogorius Neonbasu eksisnya kearifan lokal dapat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut: 1) kebudayaan adalah miliki bersama masyarakat, 2) kebudayaan merupakan hasil belajar, 3) kebudayaan adalah identitas dan lambang, 4) integrasi.
Kebudayaan sebagai miliki bersama warga massyarakat merupakan sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku yang menjadi milik bersama warga masyarakat. Dengan demikian kebudayaan dapat menjadi ikatan yang kuat bagi terbentuknya sebuah masyarakat atau kelompok sosial. Kebudayaan sebagai milik bersama juga merupakan hasil belajar komunitas lokal yang diwariskan secara turun temurun. Â Kebudayaan kemudian menjadi wadah untuk belajar bersama bagi masyarakat lokal.
Kebudayaan juga merupakan lambang dan sekaligus identitas yang menandai seseorang. Ketika saya mengenakan kain songke maka kain itu mengasosiasikan bahwa saya adalah orang Manggarai. Demikian pun ketika seseorang mengenakan ulos menandai bahwa dia adalah orang Batak. Lambang mengandung makna tersendiri dan mendorong hasrat setiap pribadi untuk bernalar mengenai kebudayaan. Pada sisi lain pengintegrasian juga merupakan faktor kunci eksisnya suatu kebudayaan. Integrasi merupakan proses penyesuaian dua kebudayaan berbeda untuk menemukan makna baru.
Dalam persepktif di atas maka ritual penti yang masih eksis hingga sekarang ini disebabkan karena Penti merupakan  hasil belajar masyarakat Manggarai melalui proses regenerasi dan menjadi milik bersama suatu komunitas masyarakat tertentu. Budaya ini kemudian menjadi lambang atau identitas yang menandai asal-usul seseorang dan diwariskan secara teratur kepada setiap generasi. Semua warga disatukan dalam upacara tersebut dan memiliki tanggungjawab secara kolektif untuk terlibat di dalamnya terutama tanggungjawab untuk mempertahankan eksistensi budaya penti serta mengitgerasikannya dengan setiap dinamika kehidupan manusia.
2. Budaya dodo/ leles: Â Kearifal Lokal Yang PunahÂ
Salah satu kearifan lokal yang mengalamai kepunahan dalam masyarakat Manggarai adalah budaya dodo atau leles. Budaya dodo atau leles merupakan suatu sistem kerja tradisional yang bersifat gotong royong yang terdiri dari 2-3 orang. Sistem ini tidak menggunakan uang sebagai sewa jasa atas tenaga kerja melainkan diganti dengan tenaga fisik secara bergantian di antara tenaga kerja tersebut. Kelompok doSdo-leles dibentuk secara spontan tanpa harus dalam bentuk yang formal. Sistem kerjanya tergantung kesepakatan di antara anggota kelompok. Sistem kerja dodo-leles ini tidak hanya terkait tenaga fisik manusia tetapi juga dalam hal sarana atau alat kerja. Misalnya kerbau atau sapi yang digunakan untuk mengolah sawah. Sarana-sarana ini bisa juga dimasukkan dalam kategori kerja dodo atau leles.
Berdasarkan pengamatan penulis budaya leles atau dodo ini kini sudah mengalami kepunahan karena sistem kerja masyarakat telah dicaplok oleh tekhnologi-tekhnologi yang canggih. Dengan hadirnya tekhnologi pertanian budaya leles-dodo perlahan-lahan ditinggalkan. Seiring dengan punahnya leles-dodo maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga menjadi hilang karena tidak diregenerasikan. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam budaya leles atau dodo adalah: solidaritas dan sosialitas (gotongroyong), kekeluargaan, ekologis dan lain-lain. Perkembangan alat-alat tekhnologi telah menggeserkan dodo-leles dari sistem kerja masyarakat Manggarai.
Kehadiran tekhnologi pertanian pada satu sisi membawa dampak yang positif. Dengan tekhnologi pekerjaan semakin dipermudah dan lebih efisien. Penggunaan tekhnologi juga dapat menjadi pilihan di kala tenaga kerja semakin berkurang. Kurangnya tenaga kerja pada masayarakat lokal disebabkan karena minat merantau yang tinggi. Upah kerja yang besar di perantauan membuat sebagian orang-orang Manggarai memilih merantau. Namun di sisi lain hilangnya dodo-leles juga menyebabkan relasi sosial masyarakat semakin mengalami
Secara umum ada banyak faktor yang menyebabkan hilangnya kearifan lokal dalam masyarakat di era dewasa ini. Diantaranya ada beberapa hal yang bisa dikatakan sebagai penyebab terjadinya fenomena ini: Pertama; Tidak adanya pola pemenuhan kebutuhan hidup yang terbiasakan (teradatkan), Kedua; Kacaunya pegangan nilai dan norma acuan regulasi dan spiritual, Ketiga; Â Kurang memaksimalkan potensi untuk pengayaan produk asing terutama pada abad modern ini dimana degradasi terhadap kearifan-kearifan lokal disebabkan karena disrupsi digital yang berkembang secara masif.