Agustinus, sebaliknya, bersikeras pada konsepsi tentang penghidupan kembali bahan tubuh yang sama, yang akan dirakit kembali dari debu dan tulang sebelumnya (Bynum 1995, 95). Demikian pun Thomas Aquinas menolak kedua metafora untuk memahami sifat tubuh yang akan dibangkitkan. Perhatiannya lebih pada integritas tubuh dibandingkan dengan identitas partikel material. Tubuh yang dibangkitkan akan mengandung fragmen-potongan dan organ yang sama, jika bukan partikel yang identik (Bynum 1995, 265). Namun, Aquinas terkadang menyarankan bahwa akan ada kontinuitas material dari tubuh dikebangkitan. Dengan demikian dari pandangan Agustinus dan T. Aquinas semakin memperteguh pandangan kristen tentang kebangkitan jiwa dan badan. Menurut sebagian pemikir pandangan Thomas ini sangat bersifat antropomorfis.
Pandangan Kristen tentang kebangkitan setidaknya memiliki karakteristik; Pertama, perwujudan: kebangkitan membutuhkan semacam kehidupan jasmani setelah kematian. Tubuh postmortem berbeda dari tubuh premortem karena itu dapat dikatakan spiritual, tidak dapat rusak, dimuliakan. Bahkan jika ada "keadaan perantara" antara kematian dan kebangkitan. Menurut doktrin Kristen dalam kondisi ini jiwa tidak memerlukan tubuh, mereka yang hidup setelah kematian pada akhirnya tidak akan menjadi-diwujudkan. Kedua, identitas: orang yang sama yang ada di bumi akan sama juga dengan yang ada di akhirat. Tidak hanya ada untuk menjadi keberadaan individu dalam kebangkitan, tetapi individu yang sama harus ada keduanya sekarang dan setelah kematian. Hubungan antara seseorang di sini dan sekarang dan seseorang di akhirat harus identitas. Ketiga, keajaiban: Kehidupan setelah kematian, menurut doktrin Kristen, adalah hadiah-anugerah dari Tuhan. Doktrin Kristen dengan demikian kontras dengan gagasan Yunani tentang keabadian sebagai sifat alami dari jiwa. Ide keajaiban dibangun ke dalam doktrin Kristen tentang kehidupan setelah kematian dari awal.
Persoalan Mengenai Identitas
Identitas menjadi salah satu pokok persoalan yang serius yang diperdebatkan dalam filsafat pasca kematian. Apakah manusia memiliki identitas setelah mati? Seperti apakah identitas tersebut? Apakah idnetitas manusia setelah kematian sama dengan identitas yang dimilikinya selama hidup di dunia? Para pemikir dan Filosof agama sepakat tentang kehidupan setelah mati dan kebangkitan meski berbeda-beda gagasan. Apakah kebangkitan yang dimaksudkan adalah jasad dan roh sekaligus atau hanya roh saja? Jika yang terjadi adalah dua-duanya apakah itu berarti jasad yang pernah hidup di dunia ataukah dengan jasada yang baru?
Terkait persoalan identitas ini terdapat dua persoalan filosofis yang ingin diuraikan yakni sionkronis dan Diakronis. Sinkronis terkait dengan apa yang diberikan kepada seseorang dalam tempo waktu tertentu? Sedangkan Masalah diakronis berhubungan dengan apakah yang ada pada seseorang pada satu waktu tertentu identik dengan seseorang pada waktu lain? Masalah identitas pribadi terkait dibangkitkan setelah kematian merupakan masalah diakronis: Dalam kondisi apa orang-orang itu setelah kematian?
Ada empat pandangan tradisional tentang identitas pribadi berkaitan dengan kebangkitan-hidup setelah kematian. Berdasarkan apa orang postmortem sebagai orang premortem yang sama yang berjalan di bumi? (1) memiliki jiwa yang sama, atau (2) adalah gabungan jiwa-tubuh yang sama, atau (3) memiliki tubuh yang sama, atau (4) dihubungkan oleh tempat yang sama.
Jiwa itu pada hakikatnya bersifat spiritual-rohani. Dengan mengatakan jiwa itu bersifat spiritual kita mau mengatakan bahwa secara intrinsik jiwa itu bebas dari materi. Jiwa tidak terikat oleh materi atau tubuh meski dalam artian tertentu jiwa berdiam-bersemayam di dalam materi. Manusia dengan pikiran dan kehendaknya mengungguli kondisi-kondisi material ruang dan waktu. Ia mencapai universalitas, mencapai yang mutlak dan bahkan mampu sampai pada pengakuan atas Yang Ada (Das Sein). Baik sekarang saat hidup maupun setelah kematian jiwa itu tetap bersifat spiritual-rohani. Menurut Thomas Aquinas, jiwa manusia itu bersifat abadi karena “yang rohani” itu tinggal tetap sementara “yang badani” setelah kematian akan hancur dan binasa.
Namun jiwa yang sama bukanlah suatu roh semata-mata. Ia tetap tergantung secara ekstrinsik dari materi. Hal itu nyata. Materi jasmani merupakan pra syarat bagi akitifitas manusia, sampai yang paling tinggi. Tidak ada pikiran tanpa otak yang cukup kompleks sekaligus merupakan sesuatu yang lebih daripada sekedar aktifitas otak. Oleh karena itu aku dapat berkata bahwa tubuhku melalui panca indra memungkinkan adanya kegiatan spiritualku. Biar pun putusan-putusan dan pernyataanku bukanlah perbuatan-perbuatan yang secara langsung oleh tubuhku, namun tubuhku merupakan penjelmaan dari kegiatan-kegiatan itu.
Teori-teori jiwa ini memungkinkan konsepsi tentang kehidupan setelah kematian yang dihuni oleh jiwa-jiwa yang tidak berwujud-tidak bertubuh. Pengalaman tanpa organisme biologis tampaknya bagi banyak orang bisa dibayangkan. Seseorang mungkin memiliki gambaran visual, pendengaran, penciuman, sensual tanpa gambaran tubuh di dunia akhirat.
Sedangkan tubuh tidak sama. Tubuh pra dan post kematian berbeda. Dalam tubuh pra kematian suatu realitas konkrit. Sesuatu yang materi. Dapat dirasakan, disentuh. Sedangkan dalam kebangkitan bukan lagi tubuh yang materi melainkan tubuh dalam artian metaforis, yakni totalitas–keseluruhuan eksistensi diri manusia. Dengan demikian maka setelah kematian identitas seseorang premortem dan post mortem tidak mengalami perubahan kecuali dalam bentuk yang konkrit. Bahwa dia tidak lagi sebagai manusia konkrit dalam artian manusia yang bertubuh seperti di bumi. Tetapi manusia yang bertubuh dalam artian kemuliaan-totalitas-keseluruhan eksistensinya yang tidakerwujud.
Proses Kematian dan Apa Yang Terjadi di Akhirat