Dua tahun berselang tidak terasa semua telah berubah. Irma yang dahulu duduk di bangku kelas XI IPA kini sudah naik ke kelas XII dan sebentar lagi akan ujian kemudian meninggalkan bangku SMA. Irma yang dulu sama-sama naik sepeda onthel denganku kini harus bersepeda sendirian ke sekolah. Meski ada saja teman-temannya yang diajak bersama-sama. Kesehariannya memang biasa. Yang luar biasa adalah kami selalu menikmati setiap tantangan demi tantangan dengan penuh kegembiraan. Ada kesedihan, ada kedongkolan, ada kelucuan tapi ada juga keiklasan. Keikhlasan untuk berbagi seperti mau dibonceng, mau makan bersama, dan berbagi rasa mengurangi tekanan hidup.Â
Waktu yang demikian cepat hingga tiba saatnya aku harus meninggalkan kota gudeg tercinta ini menuju ke Jakarta. Seiring waktu berjalan aku berhasil diterima melanjutkan pendidikanku di Universitas Indonesia. Orang awam biasa menyebutnya Kampus Kuning. Ketika kami menghadapi ujian masuk perguruan tinggi, gerombolan kami sepakat untuk saling beradu prestasi masuk ke perguruan tinggi negeri. Alhasil dari lima orang pemuda tersebut cuma tiga orang yang berhasil termasuk aku.Â
Dua orang berikutnya lolos ke ITB dan IPB sementara dua orang yang lain masuk ke Universitas Pancasila. Namun demikian, masing-masing dari kami tetap merasa bangga meskipun jauh dari harapan yang diinginkan. Berlima ramai-ramai kami membaca pengumuman hasil tes penerimaan mahasiswa baru PTN. Keberhasilan kami mengundang decak kagum para guru yang telah bekerja keras membimbing kami.Â
Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan. Setiap sore sehabis pulang sekolah kami digembleng oleh para guru senior. Dalam tekanan yang berat itu kami sering bermain sepak bola bersama-sama di lapangan hijau yang penuh dengan rerumputan meski hanya menggunakan bola plastik. Sementara gawang bola kami buat dengan sandal kami masing-masing tanpa jaringan. Lebih ramai lagi adik-adik kelas sorak sorai menyemangati permainan kami. Tidak ketinggalan Irma. Rupanya ia juga pecinta olah raga tapi bukan sepak bola melainkan bola basket. Ia pengagum berat Michael Jordan. Jika ada waktu ia sempatkan diri melihat kami bermain sepak bola.Â
Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Bermain total agar ia betul-betul terkesima dan terpesona. Jauh di lorong depan kelasnya ia asyik memerhatikan dan sesekali melemparkan bola yang bergulir mendekat di depannya. Bermain sepak bola jadi makin asyik dan makin seru. Setelah itu, kami melanjutkan belajar lagi memersiapkan berbagai ujian. Baik ujian lokal, nasional maupun ujian masuk PTN.
Kegembiraan ini mengundang rasa haru buat teman spesialku Irma. Ia tahu keadaan ini memaksa kami harus berpisah. Aku tak bermaksud mengecewakannya. Diam-diam ia juga ikut membaca hasil pengumuman penerimaan mahasiswa baru PTN itu. Tersiar kabar bahwa ia meninggalkan rumah dan pergi sendirian ke Bukit Cinta tidak jauh dari rumahnya.Â
Sendirian bersepeda onthel dengan membawa surat kabar harian itu. Ia merasa kesal bercampur aduk dengan emosi tingkat tinggi. Di sisi lain ia merasa bangga aku berhasil lolos masuk ke perguruan tinggi negeri favorit. Surat kabar harian itu ia robek-robek sampai sekecil-kecilnya. Kemudian ia buang jauh-jauh ke tepi hutan. Ia tutup dengan batu besar dan ditimbun dengan tanah sejadinya hingga namaku hilang tertelan bumi. Bagaikan kilatan cahaya petir di siang bolong aku tiba-tiba merasakan sesuatu tak seperti biasanya.Â
Beberapa temannya aku datangi dan interogasi satu per satu tentang keberadaannya. Setiba di rumahnya aku mencoba bertanya kepada bapak dan ibunya. "Maaf, Ibu dan Bapak boleh saya numpang tanya. Apakah Irma ada di rumah?" tanyaku dengan sopan. Bapak itu lalu bercerita panjang lebar menceritakan kondisi yang ada. Ia tahu betul anaknya sedang marah besar. Namun, ia berusaha tetap dengan kepala dingin menghadapinya. "Iya Nak Bob. Seperti itu keadaannya. Beberapa hari belakangan ini ia nampak sekali murung. Dan nggak mau makan. Katanya lagi nggak ada nafsu makan. Nah, itu pertanda sesuatu terjadi Nak Bob." Coba Nak Bob beri pengertian agar dia menjadi redam emosinya!" katanya.Â
Setelah meneguk secangkir teh hangat aku pun pamitan dan berniat untuk menemui Irma di Bukit Cinta. Setibanya di sana aku melihatnya. Ia sedang duduk dengan setengah lutut dilipat. Diam terpaku dengan tatapan lurus ke depan. Matanya tak berkedip. Sepintas ada raut kesedihan di wajahnya. Entah apa gerangan yang sedang terjadi.Â
"Aku tahu Irma bukan tipe perempuan yang mudah galau. Aku menduga, ini hanya miskomunikasi saja" pikirku. Dan perlahan aku mendekatinya. "Apa kabar Yang? Sungguh tidak baik mengurung diri di Bukit Cinta. Kalau ada sesuatu tolonglah katakanlah Yang!" bujukku. Ia tak menoleh sedikit pun. Aku mencoba mendekat lebih dekat.Â
Di ujung matanya berlinangan air mata. Ia berusaha mengusapnya namun terus menetes. Ia lalu menunduk dan mengambil nafas. Kedua tangannya dilipat. Melihat seperti itu aku menjadi serba salah. Namun, aku harus berusaha untuk meluruskan dan menyelesaikan peristiwa ini. Sejauh ini aku berusaha untuk bersabar. Untuk kesekian kalinya aku menyapanya.Â