Mohon tunggu...
Robertus Widiatmoko
Robertus Widiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Menerima, menikmati, mensyukuri, dan merayakan anugerah terindah yang Kauberikan.

Indahnya Persahabatan dalam Kebersahajaan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Balik Peristiwa

10 Desember 2015   15:40 Diperbarui: 10 Desember 2015   17:32 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Jessica. Aku bekerja sebagai reporter televisi dari sebuah stasiun televisi yang terkenal di negeri ini. Rutinitasku aku habiskan untuk meliput peristiwa-peristiwa yang mengundang decak jantung para pemirsa di rumah. Pekerjaan yang sangat menantang. Banyak hal aku temukan dari hasil liputan ini. Selain kesibukan ini, aku mencoba menyempatkan diri untuk meluangkan waktuku bermain dengan anak-anak jalanan. Hal ini aku yakini karena mereka juga bagian dari wajah yang akan menentukan nasib negeri ini kelak di kemudian hari. Setiap ada waktu luang aku menghabiskan waktu senggangku bermain futzal di lapangan hijau tak jauh dari lokasi tempatku bekerja. Mereka senang sekali. Kehadiranku selalu menjadi hiburan buat mereka. Meskipun aku perempuan namun sepak terjangku bermain bola cukup mengagetkan kaum hawa.

Anak-anak itu kerab memanggilku Ica. Kebetulan kami tergabung dalam suatu komunitas pecinta bola. Lapangan hijau itu menjadi satu-satunya ajang kami melepas kepenatan dan menjadi jalan satu-satunya menjalin komunikasi, berbagi cerita dan pengalamanan bersama di antara kami. Sudah hampir dua tahun komunitas ini berjalan. Dan kami pun mampu mengumpulkan sedikit demi sedikit, receh demi receh untuk membuat kaos seragam. Sesuatu yang membagakan kami. Mendadak ada sesorang yang datangi lokasi kami.

Dia adalah Steven. Mahasiswa lulusan Fakultas Hukum Harvard USA. Sudah 5 tahun sejak dari lepas SMA kami berpisah. Dia memutuskan untuk belajar ke luar negeri. Tapi jarak yang jauh tak memisahkan hubungan kami. Walaupun susah ketemu dan jarang ngobrol dia merupakan teman terbaik yang bisa dipercayai.Dia baru saja tiba di tanah air.


“Apa yang membuatmu suka menjalani komunitas ini?” tanyanya. Aku tersenyum. Sebentar kemudian aku memberanikan diri untuk menjawabnya. “Suka aja”. “Sesederhana itu?” dia mulai penasaran. Bertemu dengannya mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Sepulang sekolah berdua sering tergoda untuk jalan-jalan bareng di sepanjang jalan trotoar tepian sungai tepat sekali dekat lapangan hijau itu. Akan tetapi, keadaannya berbeda drastis. Tak serapi sekarang ini. Dulu sangat kumuh. Bahkan aku hampir jatuh terperosok ke sungai gara-gara kaget menghindari mobil lewat. Steven melanjutkan. “Ca, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu. Mungkin ini menurutmu gak penting.

Tapi menurutku sangat penting. Rahasia negara” bisiknya kepadaku. Di bangku batu di balik pohon besar taman itu sesekali dia menyalakan sisa batang rokoknya. Asapnya dia buang jauh-jauh.”Rahasia negara?” naluri kewartawananku mulai bergerak. Dengan penuh seksama aku mulai mendengarkan apa yang diceritakannya. Aku tahu , dia memang memiliki intelektualitas yang tinggi. Sambil berjalan di sepanjang area tanah hijau itu Steven menjelentrehkan semua yang terjadi. Aku pun ikut larut mulai tertarik berniat masuk mendalami peristiwa itu. Pergumulan seorang reporter. Aku merasakan sesuatu aneh telah terjadi. Aku mengikuti dengan penuh antusias. Dan aku harus menyingkapnya. Namun, Steven kelihatan tenang-tenang saja walaupun peristiwa itu bisa dianggap merugikan negara. Rasanya belum terlalu lama kami berpisah oleh jarak dan waktu.

Begitu berjumpa ada suatu peristiwa maha dashyat terjadi. Dan itu tertangkap tangan oleh sinyal-sinyal infra merah temanku di USA. Seperti tiba-tiba ada angin badai dan gelegar petir menyambar-nyambar. Bahkan, terus mengiang-ngiang di telingaku. Dan pada akhirnya, kami berdua memulai kembali hubungan. Aku mulai menyapa dia duluan via BBM dan dia pun merespon dengan baik. Sampai setiap hari berdua BBM-an. Saking intensnya entah karena apa kami jadian. Kami tertawa sepertinya rentetan kejadian itu menjadi penghubung abadi persahabatan kami. Dia bercerita. “Kamu tahu, area tanah hijau itu? Rumah dan tanah serta sungai-sungai sekitarnya. Bukankah itu harta paling berharga yang kamu miliki.

Aku tidak tahu kalau kalian sering menggunakannya sebagai area bermain dengan anak-anak jalanan. Aku merasa risih dengan perjanjian ini. Pejabat setempat ternyata tak kuasa menolak kemauan pemberi pinjaman modal usaha yang mengagumkan itu. Kasak - kusuk aku mulai sadar. Pejabat itu mengkhianati kepercayaanku. Ia mencatut namaku sebagai jaminan usahanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi dia memanfaatkan ketenaranku. Dia menikamku dari belakang!” ia tampak sangat marah.


Kini giliran aku sebagai sahabatnya harus membuktikan bahwa semua itu adalah kemauan sepihak. Aku terus berpikir keras supaya kawanku yang baik hati ini lepas dari jebakan jahat. Aku tak punya keberanian dan tidak pula yakin akan mampu melakukannya karena lingkaran kekuasaan yang melindunginya. Namun, kekhawatiran itu sirna seraya teringat akan persahabatan kami yang tulus dan rasa tanggung jawabku yang besar untuk menyingkap tabir kejahatan di balik peristiwa ini. Segera aku mengambil kameraku yang tergeletak diam di atas lemari pakaian.

Kemudian mengenakan kartu pers dan berburu berita yang baru saja terjadi. Demi menyelamatkan kesinambuangan komunitas anak bermain ini aku pun segera mencari bukti-bukti kuat dan mengajukan kasus perdata ini ke Kejaksaan Agung. Aku menaruh harapan besar karena sosok jaksa yang baru saja dilantik ini telah menangani banyak kasus perdata dengan baik. Jaksa itu pasti tahu keadilan yang sebenarnya. Tapi mungkin dia juga tidak tahu kalau ketidakadilan terlewat begitu saja, maka aku sendiri yang akan mengeksekusinya. Ada kegeraman terlintas dari benakku. Saatnya berbicara di balik peristiwa. Aku pun segera mengirim pesan padanya.


Haiii ...my honey!
Aku kangen bingit sama kamu. Biarpun kita Long Distance Relationship, tapi my heart is and always will be yours. I love u. Steven. With love. Jessica from Indonesia. Aku tancap gas mobil dan langsung meluncur ke tempat kejadian perkara. Nggak pakai mampir-mampir lagi. Tidak beberapa lama kemudian ada pesan masuk.

Hey juga Ica!
I miss u already. Btw ati-ati. I am not the best, but I promise I will love you with my heart. Love and hug from Steven in USA. Sekembalinya di kantor aku dikerubungi rekan-rekan wartawan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengumpulkan semua keterangan dan berupaya untuk meredam supaya tidak terekpos ke masyarakat.

Aku nggak bisa ngedumel lagi dan tanpa berbasa-basi, aku mengangkatnya ke rapat redaksi. “Terima kasih semua. Aku bisa menjalani ini semua berkat kerja sama kalian. Dan tentunya sahabatku yang nun jauh di benua lain. Aku percaya tahapan demi tahapan niscaya yang benar pasti dimenangkan, dan yang salah pasti akan dilengserkan.” Kita tunggu saja di balik peristiwa. Dan semuanya kembali ke ruang kerjanya masing-masing.

Terdengar teriakan anak-anak. Mereka berlarian tak tentu arah. “Kak Ica, Kak Ica!” teriakan itu makin lama makin bertambah kencang. Anak-anak kepanikan. Satu per satu mengambil batu melempar bolduser yang meratakan lapangan hijau itu. Anto, satu dari sekian banyak anak laki-laki itu berdiri kaku di atas bongkahan bebatuan. Ia sesenggukan tak tega melihat porak poranda taman hijau yang menjadi kesayangannya. Hari itu menjadi catatan kelam. Ketika semua habis diluntuhlantakan mereka rasakan pedih yang mendalam.

Tiada seorang pun yang bisa melawan. Tiada seorang pun berani mendekat dan membungkam laju bolduser itu. Mereka hanya bisa menatap dengan tatapan kosong. Tampak dari kejauhan seorang laki-laki berdasi merah dengan jas hitamnya, tersenyum lega. Dia lalu mengajak kaki tangannya masuk ke mobil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun