Aku nggak bisa ngedumel lagi dan tanpa berbasa-basi, aku mengangkatnya ke rapat redaksi. “Terima kasih semua. Aku bisa menjalani ini semua berkat kerja sama kalian. Dan tentunya sahabatku yang nun jauh di benua lain. Aku percaya tahapan demi tahapan niscaya yang benar pasti dimenangkan, dan yang salah pasti akan dilengserkan.” Kita tunggu saja di balik peristiwa. Dan semuanya kembali ke ruang kerjanya masing-masing.
Terdengar teriakan anak-anak. Mereka berlarian tak tentu arah. “Kak Ica, Kak Ica!” teriakan itu makin lama makin bertambah kencang. Anak-anak kepanikan. Satu per satu mengambil batu melempar bolduser yang meratakan lapangan hijau itu. Anto, satu dari sekian banyak anak laki-laki itu berdiri kaku di atas bongkahan bebatuan. Ia sesenggukan tak tega melihat porak poranda taman hijau yang menjadi kesayangannya. Hari itu menjadi catatan kelam. Ketika semua habis diluntuhlantakan mereka rasakan pedih yang mendalam.
Tiada seorang pun yang bisa melawan. Tiada seorang pun berani mendekat dan membungkam laju bolduser itu. Mereka hanya bisa menatap dengan tatapan kosong. Tampak dari kejauhan seorang laki-laki berdasi merah dengan jas hitamnya, tersenyum lega. Dia lalu mengajak kaki tangannya masuk ke mobil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H