Pemerintah Provinsi DKI (Pemrov DKI) kesulitan penuhi 30 Persen Ruang Terbuka Hijau(RTH). Pada tahun 2015 Pemrov DKI menambah sekitar 20 lokasi taman baru. Dari usaha yang membutuhkan begitu banyak tenaga, pikiran dan dana, Pemrov DKI hanya mampu meningkatkan RTH dari sebelumnya 9,87 persen menjadi 9,88 persen, suatu peningkatan sebesar 0,01%.
Pada saat yang bersamaan, Januari akhir 2015, sebuah hotel mewah diresmikan di Gelora Bung Karno( GBK). Jumlah hotel mewah di Jakarta bertambah, dengan diresmikannya Hotel Fairmont yang berlokasi di Senayan Square. Hotel baru ini memiliki 380 kamar, termasuk kamar dengan kategori Fairmont Gold yang berkonsep “hotel di dalam hotel”, khas oleh Fairmont Hotels and Resorts, serta 108 Fairmont Sky Suites.
Kita bertanya mengapa di DKI ada 2 arah pembangunan yang bertentangan. Disatu pihak meningkatkan RTH tetapi dilain pihak meningkatkan hutan beton.
Mari kita cermati perjalanan GBK.
Gelora Bung Karno semula dan kini
Asian Games yang ke-4 , pertama di Indonesia diselenggarakan pada tahun 1962. Untuk penyelenggaraan Asian Games IV ini disiapkan sarana olah raga yang besar di Senayan Jakarta, pembangunan jalan baru ke dan dari kompleks, jalan lingkar pertama yang merupakan Jalan Jakarta by-pass dan Jalan Slipi-Gatot Subroto, Hotel Indonesia dan Wisma Warta.
Akibat pembangunan tersebut, rumah penduduk yang harus dibongkar dan dibangun berjumlah 8.652 buah dengan 46.829 jiwa. Orang Betawi menyebut mereka kena “gusuran” , dipindahkan ke Tebet, Pejompongan, Slipi, Cikoko, dan Ciledug.
Mayoritas penduduk yang kena gusuran” adalah Orang Betawi. Mereka menyerahkan tanah mereka dengan penuh kerelaan. Harga yang ditetapkan Pemerintah, mereka terima. Tanpa protes atau demonstrasi. Kawasan diselenggarakannya Asian Games ini sekarang dikenal sebagai Gelora Bung Karno(GBK). Presiden Soekarno menginginkan kawasan ini sebagai ruang terbuka: tempat berolahraga dan ajang temu berbagai kelompok masyarakat. Ruang terbuka diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya.
GBK yang semula luasnya 280 hektare ini telah menyusut hingga tinggal 62 hektare , 22 % saja. Yang 51% dari luas semula digunakan untuk berbagai bangunan Pemerintah seperti Gedung MPR/DPR dan Kantor Pemerintah seperti Kantor Departemen Kehutanan, Kantor Departemen Pendidikan Nasional dan lain-lainnya.
Yang 51% dari luas semula digunakan untuk berbagai bangunan Pemerintah dan bangunan komersial mewah. Bangunan Pemerintah seperti Gedung MPR/DPR dan Kantor Pemerintah seperti Kantor Departemen Kehutanan, Kantor Departemen Pendidikan Nasional dan lain-lainnya.
Bangunan komersial mewah sebanyak 27 % atau 75 hektare disewakan atau dijual untuk berbagai bangunan seperti misalnya kepada Hotel Hilton, kompleks perdagangan Ratu Plaza, Plaza Senayan dan banyak bangunan komersial lainnya.
Dengan bertambahnya pembangunan komersial akhir-akhir ini maka menjadi pertanyaan, seberapa luas GBK yang masih milik pemerintah pada saat ini? Berapa persen berbentuk Ruang Terbuka? Berapa persen berbentuk RTH?
Mengapa Pemrov DKI berjuang keras meningkatkan persentase RTH?
Beberapa dari banyak sekali manfaat RTH:
· Sebagai paru-paru kota, mengurangi pencemaran lingkungan yang tinggi di kota Jakarta, seperti polusi udara, air, dan tanah.
· RTH meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan suhu kota . Meningkatnya jumlah air tanah akan mengurangi penurunan permulaan tanah di DKI.
· Mengakomodasi kampanye hidup sehat dimana masyarakat berolah raga, berekreasi dan beraktivitas.
· Didalam RTH pemerintah DKI ( menggandeng swasta) meningkatkan pembangunan ruang publik terpadu ramah anak. Ini merupakan bagian dari menjadikan Jakarta sebagai Kota Ramah Anak.
Menyelamatkan Ruang Terbuka/ RTH di GBK: Serahkan terimakan GBK ke Pemrov DKI?
Hotel diatas dibangun oleh PT Senayan Trikarya Sempana, perusahaan pengembang hasil patungan Kajima Overseas Asia Pte. Ltd Jepang (kepemilikan saham 90 persen) dan Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno(kepemilikan saham 10 persen) yang didirikan pada 1991.
Mungkinkah pembangunan GBK tidak sinkron dengan kebutuhan RTH DKI, karena GBK berada dibawah Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) ? Tugas utama Kemensetneg adalah menyelenggarakan dukungan teknis dan administrasi serta analisis urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara untuk membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Adanya kata Pengelolaan pada Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno, meyakinkan kita tentang kegiatan pembangunan yang mendatangkan uang melimpah yaitu bangunan komersial mewah. Membuat kita bertanya-tanya seberapa banyak dan seberapa cepat seluruh GBK dijadikan hutan beton.
Kekhawatiran meningkat dengan Kajima Overseas Asia Pte. Ltd Jepang sebagi partner . Mungkinkah suatu perusahaan Kajima Overseas Asia Pte. Ltd Jepang (kepemilikan saham 90 persen) tertarik dan berpartisipasi dalam program penambahan RTH DKI?
Mungkin sebaiknya GBK diserahkan oleh Pusat/Kemen Setneg pada Pemrov DKI. Kemayoran , juga dibawah Pusat/Kemen Setneg , yang tidak kalah gemar membangun hutan beton, sebaiknya juga diserahkan kepada Pemrov DKI.
Jika GBK dan Kemayoran berada dibawah satu atap, yaitu dibawah Pemrov DKI maka program peningkatan RTH menjadi sinkron.
Pemrov DKI yang juga gemar membangun hutan beton, perlu dikawal
Sejarah mencatat banyak kebijakan Pemrov DKI yang tidak bijak, yang merugikan penduduk DKI, diantaranya:
Banyak sekali kawasan resapan air dan RTH yang telah beralih fungsi menjadi rumah-rumah mewah, pusat belanja, dan properti komersial lainnya. Diantaranya:
· Kelapa Gading sebagai area resapan air
· Pantai Indah Kapuk sebagai area hutan lindung
· Sunter sebagai area resapan air
· Tomang sebagai hutan kota
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1985 tentang Rencana Umum Tata Ruang Jakarta Tahun 2005, ruang terbuka hijau Ibu Kota harus mencapai 31,5 persen dari total luas wilayah.
Pada tahun 1985 luas ruang terbuka hijau di Jakarta masih 28,76. Namun survei tahun 1999, luas ruang terbuka hijau di Jakarta menyusut drastis menjadi 9,6 persen.
· Pada tahun 1999 Pemrov DKI mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010. "Di sini target ruang terbuka hijau tidak lagi 31,5 persen, tapi 13,96 pada 2010.
Pemrov DKI pada masa itu tentunya merasa cerdik.
Generasi pencuri, mencuri hak anak-cucu
Sejak kemerdekaan rasanya kita gemar mencuri hak anak cucu kita. Kita curi RTH mereka. Kita curi hutan mereka. Kita curi kandungan tambang dari bumi Indonesia, sesungguhnya hak anak cucu kita. Tanggung jawab kita menjadikan anak cucu lebih sejahtera, membawa mereka kedunia dengan lingkungan hidup yang lebih nyaman dan lebih sehat.
Terlalu panjang daftar pencurian kita.
Meningkatkan RTH mudah-mudahan diterima anak cucu kita sebagai salah satu bentuk penebusan dari begitu banyak kejahatan kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H