INI BUDI
INI IBU BUDI
INI BAPAK BUDI
Itulah hari-hari mengesankan, ketika ibu  atau bapak guru mengajarkan murid muridnya membaca. Pertama guru membaca kemudian murid muridnya menirukan, supaya serentak maka sang guru mengawalinya dengan ketukan meja. Sehingga iramanya sebagai berikut :
Ini Budi... tok.. ini Budi
Ini ibu Budi... tok... Ini ibu Budi
Ini bapak Budi... tok... Ini bapak Budi
***
Jam enam pagi, seluruh anak-anak SD , SMP dan SMA harus mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Mulai dari mandi, sarapan, dan memakai sepatu, sehingga kalau pagi hari setiap rumah pasti kacau balau. Apalagi kalau keluarga yang memiliki anak banyak, pasti ibunya sangat sibuk sekali. Ketika radio bapak mendengarkan lagu iringan berita maka itu menunjukkan pukul setengah tujuh. Satu persatu anak-anak teriak pamit berangkat ke sekolah.
Sampai di sekolah diwajibkan sebelum jam tujuh tepat, jika lebih dari jam tujuh akan disetrap atau dihukum. Setelah istirahat sejenak tak lama kemudian bel berbunyi tanda pelajaran pertama dimulai. Dilanjutkan pelajaran kedua ditandai oleh bel hingga tanda bel ketiga pelajaran ketiga, dan bel ke empat istirahat selama lima belas menit. Satu jam pelajaran lamanya empat puluh lima menit , sehari pada hari biasa diadakan tujuh jam pelajaran dan dua kali istirahat. Pada hari Jumat pelajaran sampai jam  sebelas dan anak-anak diperkenankan pulang supaya bisa menjalani ibadah bagi yang muslim. Hari Sabtu pelajaran sampai jam dua belas.
Dahulu pada tahun delapan puluhan, seragam adalah syarat mutlak harus dikenakan untuk mengikuti pelajaran, mungkin sampai hari ini. Yang membedakan seragam sekolah dahulu dan sekarang, jadwal memakainya seragam, karena dahulu seragam nasional yaitu merah putih untuk SD, biru putih untuk SMP dan abu-abu putih untuk SMA, dipakai dari hari Senin sampai Kamis. Pada hari Jumat tidak memakai seragam atau pakaian bebas tapi sopan, yaitu hem yang memiliki krah. Dan hari Sabtu memakai seragam Pramuka, walaupun kegiatan Pramuka biasanya dilaksanakan pada sore hari. Ciri kegiatan sekolah jaman dahulu adalah kedisiplinan membayar uang sekolah, setiap bulan wajib membayar maka harus tertib. Jika tertunda pasti dipanggil kekantor untuk menjelaskan alasan belum membayar sekolah.
Mengerjakan PR merupakan suatu kewajiban, jika tidak mengerjakan dipastikan mendapatkan hukuman, entah hukuman fisik atau nilai. Maka tidak heran kalau PR merupakan beban bagi murid, apalagi ditambah ada ulangan, waktu ini rasanya tidak cukup untuk mempersiapkan keduanya. Setiap akhir semester selalu diadakan ujian atau testing baik ditingkat sekolah maupun tingkat kota / kabupaten, pada semester genap testing ini menjadi acuan untuk menentukan kenaikan kelas. Sedangkan untuk murid kelas 6 SD, kelas 3 SMP dan kelas 3 SMA, ujian nasional dilaksanakan untuk menentukan kelulusan dan kelanjutan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Nilai yang rendah dipastikan akan kesulitan dalam mencari sekolah lanjutan, sedangkan nilai yang tinggi diharapkan bisa melanjutkan ke sekolah favorit.
***
Gambaran sistem sekolah pada tahun delapan puluhan dapat di ilustrasikan seperti diatas, apalagi sistem pendidikan dibawah naungan pemerintah orde baru. Seolah-olah bidang pendidikan pada masa itu kurang diperhatikan, karena bidang ekonomi yang dipacu secara besar besaran, dengan dalih menyukseskan pembangunan. Setelah penggantian pemimpin, pelan-pelan sistem pendidikan nasional mulai dibenahi. Dulu sering mendengar berita tentang sekolah yang roboh, maka anggaran untuk pendidikan mulai ditingkatkan, sehingga sekolah dipelosok-pelosok bisa dibangun. Kemudian pendapatan para pengajar atau guru juga diperbaiki, termasuk guru-guru honorer yang dipelosok-pelosok.
Yang tidak kalah pentingnya sistem pendidikan dirombak habis habisan, mulai dari dihapusnya sekolah unggulan. Sekolah dengan sistem ini sesungguhnya cepat atau lambat akan menciptakan diskriminasi terhadap sekolah yang lain. Sistem penerimaan murid baru, juga mengalami perubahan yang luar biasa. Penerimaan murid sekarang berdasarkan zonasi, bukan lagi mengandalkan nilai yang diutamakan. Sistem zonasi diharapkan jarak antara rumah dan sekolah tidak jauh sehingga calon murid tidak mempunyai kendala masalah transportasi. Namun sistem inipun masih banyak orang tua yang mengakali, supaya anaknya bisa sekolah yang diinginkan. Sekarang ujian nasional tidak dijadikan penentu kelulusan siswa, ini juga perubahan yang tidak mungkin diterapkan pada masa sekolah tahun delapan puluhan.
Sistem pendidikan Nasional, diharapkan oleh pakar pendidikan, adalah sistem pendidikan yang orientasinya pada peserta didik atau murid. Maka murid sebisa mungkin di jadikan subyek dalam proses pendidikan, bukan obyek. Sedangkan guru berperan sebagai pendamping, penuntun dan mengarahkan. Murid mempunyai kebebasan untuk memilih dan mendalami materi yang akan dipelajari, sehingga melalui minat dan bakat dari materi yang dipelajari, seorang murid bisa menentukan masa depannya. Jadi ditangan seorang ahli, seorang murid tidak dibentuk menjadi apa, tetapi seorang murid mampu menjadi apa sesuai keinginannya. Didalam satu kelas kelak antara murid yang satu dengan yang lainnya akan menempuh ujian dengan materi yang yang berbeda. Peran sekolah adalah tempat diskusi antara murid dengan guru yang dipilihnya, sehingga sekolah bukan tempat belajar mengajar seperti dahulu.
Pandemi covid-19, 19 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H