Pendidikan menjadi aset dan investasi masa depan yang tidak dapat dikesampingkan. Kegagalan membangun sistem pendidikan sama halnya mempersiapkan lubang kematian sebuah bangsa.
Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi piranti utama dalam mewujudkan kesejahteraan, sedangkan Sumber Daya Alam (SDA) adalah salah satu dari komponen yang diramu oleh manusia untuk mewujudkan kemakmuran. Sehingga ketika suatu negara gagal mempersiapkan generasi penerusnya untuk tumbuh dan mengisi pembangunan, maka dapat dipastikan negara tersebut akan menjelma menjadi negara gagal yang disorientasi dari tujuan kemerdekaan.
Sistem dan Produk Pendidikan
Membangun sistem pendidikan tidak dapat terlepas dari bagaimana para pelaku pendidikan memaknai filsafat pendidikan bangsanya. Tujuan pendidikan tersebut diracik dari cita-cita kemerdekaan dan kesepakatan kolektif sebuah bangsa. Sehingga pelaksanaan teknis dari capaian-capaian yang didapat, tidak bisa terpisah dari orientasi bangsa yang tergambar dalam tujuan negara bangsa tersebut lahir.
Filsafat pendidikan secara umum tidak dapat hanya menjadi sekedar konsep, hal tersebut harus dioperasionalkan menjadi kerangka ideologi yang aplikatif dan relevan untuk digunakan dalam mencapai tujuan bersama. Maka ideologi menjadi terkait dengan ruang dan waktu yang terikat pada konteks budaya dan sejarah suatu bangsa. Demikian juga ideologi hendaknya bersifat plural dan kontekstual untuk memperoleh keadaan yang diidealkan.
Selanjutnya sebaik dan seburuk apapun produk pendidikan, semua akan berkaitan dengan politik pendidikan yang menjadi pegangan kunci dalam memformat pendidikan masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh Paul Ernest (1995), yang mendeskripsikan bahwa politik pendidikan berkaitan langsung dengan Ideologi Pendidikannya.
Kita dapat melihat bangsa-bangsa yang tergolong berideologi Industrial Trainer cenderung mengimplementasikan politik pendidikan Radikal Kanan. Berbeda dengan bangsa-bangsa yang tergolong berideologi Technological Pragmaticim cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Konservatif. Selanjutnya bangsa-bangsa tergolong berideologi Old Humanismcenderung mengimplementasikan perpaduan antara  politik pendidikan Konservatif dan Liberal. Berikutnya bangsa-bangsa yang berideologi Progressive Educator cenderung mengimplementasikan politik pendidikan Liberal. Sedangkan bangsa-bangsa yang berideologiPublic Educator cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Demokrasi.
Ideologi Pendidikan Kita
Hal lain yang menjadi pemikiran bersama adalah utopia Indonesia untuk menjadi bangsa yang demokratis yaitu demokrasi Pancasila. Maka konsekuensinya Ideologi Pendidikan Indonesia adalah menganut atau mengimplementasikan Ideologi Pendidikan Public Educator.
Pada kenyataannya pelaksanaan pola pendidikan di bangsa ini masih belum menemui titik temu kebutuhan bangsa. Kejadian saat ini dalam krisis multidimensi Bangsa terjadi karena mindsetkebangsaan para pengambil kebijakan pendidikan mengalami kegamangan serta tidak mampu mendudukan Ideologi dan Politik Strategis Bangsa.
Pendidikan hanya sebatas menyemai investasi masa depan untuk dipanen di suatu hari, tanpa melihat akar permasalahan yang mendalam dan muncul dalam banyak dimensi. Pendidikan akhirnya hanya membentuk manusia-manusia robot yang gagap dalam mengambil peran-peran besar kebangsaan, hilangnya intuisi, krisis kepribadian membentuk mentalitas tempe yang memalukan.
Budaya gengsi dan gemar terhadap hal-hal instan tentu penyakit yang melanda dan mewabah pada generasi bangsa ini. Hingga hilangnya karakter-karakter petarung yang dapat membangun insiatif dan mampu bertanggung jawab terhadap idenya menjadi hal yang sulit ditemui di Republik ini.
Kegagalan bangsa dalam menentukan sikap terhadap navigasi pendidikan tentu menjadi masalah yang mendasar. Master Plan dalam membangun SDM Strategis di negeri ini tidak ter-skema dengan baik. Hal ini tampak dari tujuan lembaga pendidikan yang terus dibentuk, lulusannya terus muncul dalam setiap tahun. Namun tanpa memperhatikan infrastruktur manusia ini untuk dapat berkarya dan berkarir di mana dan bagaimana.
Jika terus dibiarkan, kegagalan ini akan tampak pada banyaknya pengangguran yang dalam waktu dekat akan menjadi bom waktu pada bangsa ini, karena hal tersebut akan berdampak pada masalah sosial yang muncul ke depan dan tentu sangat merugikan.
Orientasi Pendidikan Indonesia
Belum selesai pada operasional pelaksanaan ideologi pendidikan, kita dihadapkan pada kegamangan orientasi pendidikan. Kita meyakini bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan rakyat pada suatu negara, maka akan berdampak pada kemajuan di negara tersebut. Semakin banyak angka partisipasi pendidikan untuk lanjut pada jenjang pendidikan tinggi, harapannya akan berbanding lurus pada kualitas manusia Indonesia.
Namun, ketika melihat praktek di lapangan berdasar pada data Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia masih di bawah APK jenjang pendidikan lainnya. Pada 2015, APK perguruan tinggi masih berkisar 21%. Artinya, masih ada 79% anak usia 19—24 tahun yang belum sempat kuliah.
Sample tersebut memberikan arti bahwa terlihat betapa sulitnya untuk masuk ke Perguruan Tinggi yang menjadi dambaan setiap siswa yang menghendaki kuliah. Usia Produktif ini terus meningkat dan akan menjadi bonus demografi yang niscaya terjadi pada bangsa ini, hal tersebut akan menjadi petaka bersama ketika para generasi muda gagal menentukan arah dirinya.
Tercatat hanya 21% dari generasi muda yang ada dan dapat melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi, mereka yang memiliki tanggung jawab untuk mengangkat harkat dan masa depan 79% lainnya. Ini tentu bukanlah angka yang wajar. Semua memiliki tanggung jawab bersama yang harus dibagi perannya untuk sampai pada tujuan cita-cita kemerdekaan.
Tidak ada cara lain dalam mencapai cita-cita bangsa selain membangun pola pikir yang secara kolektif membentuk kesadaran bahwa pendidikan adalah solusi terbaik dalam memutus segala mata rantai kerusakan, kebodohan, kemiskinan dan keterpurukan. Sikap mental yang demikian tidak akan mampu lahir dengan tanpa sebab, dia harus tumbuh pada ruang dimana pendidikan menjadi sebuah kebutuhan primer melebihi sandang, pangan dan papan.
Selanjutnya infrastruktur pendidikan harus menjadi prioritas utama, bahwa Negara harus menjamin kelayakan setiap Institusi Perguruan Tinggi baik Negeri ataupun Swasta dengan tidak ada dikotomi yang memisahkan kualitas pendidikan dari statusnya.
Satu-satunya upaya untuk menaikkan angka partisipasi pendidikan adalah dengan membangun sistem dan infrastruktur yang membentuk setiap perguruan tinggi baik negeri atau swasta dengan kualitas yang sama sesuai dengan bidangnya. Sehingga tidak ada alasan calon mahasiswa tidak dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi karena tidak mendapatkan kouta kursi.
Begitu halnya dengan yang tidak memiliki biaya, hendaknya jaminan biaya pendidikan menjadi solusi untuk dialokasikan dalam menjamin setiap warga negara yang kurang mampu dan ingin maju. Hal ini akan terwujud jika pemerintah benar-benar menjadikan Nawa Cita dan Revolusi Mental tidaknya hanya sekedar jargon, tapi menjadi fokus kerja yang benar diwujudkan dalam arah pembangunan Bangsa.
sebelumnya tulisan ini telah dimuat di:
https://www.selasar.com/politik/dilema-pendidikan-tinggiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H