Budaya gengsi dan gemar terhadap hal-hal instan tentu penyakit yang melanda dan mewabah pada generasi bangsa ini. Hingga hilangnya karakter-karakter petarung yang dapat membangun insiatif dan mampu bertanggung jawab terhadap idenya menjadi hal yang sulit ditemui di Republik ini.
Kegagalan bangsa dalam menentukan sikap terhadap navigasi pendidikan tentu menjadi masalah yang mendasar. Master Plan dalam membangun SDM Strategis di negeri ini tidak ter-skema dengan baik. Hal ini tampak dari tujuan lembaga pendidikan yang terus dibentuk, lulusannya terus muncul dalam setiap tahun. Namun tanpa memperhatikan infrastruktur manusia ini untuk dapat berkarya dan berkarir di mana dan bagaimana.
Jika terus dibiarkan, kegagalan ini akan tampak pada banyaknya pengangguran yang dalam waktu dekat akan menjadi bom waktu pada bangsa ini, karena hal tersebut akan berdampak pada masalah sosial yang muncul ke depan dan tentu sangat merugikan.
Orientasi Pendidikan Indonesia
Belum selesai pada operasional pelaksanaan ideologi pendidikan, kita dihadapkan pada kegamangan orientasi pendidikan. Kita meyakini bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan rakyat pada suatu negara, maka akan berdampak pada kemajuan di negara tersebut. Semakin banyak angka partisipasi pendidikan untuk lanjut pada jenjang pendidikan tinggi, harapannya akan berbanding lurus pada kualitas manusia Indonesia.
Namun, ketika melihat praktek di lapangan berdasar pada data Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia masih di bawah APK jenjang pendidikan lainnya. Pada 2015, APK perguruan tinggi masih berkisar 21%. Artinya, masih ada 79% anak usia 19—24 tahun yang belum sempat kuliah.
Sample tersebut memberikan arti bahwa terlihat betapa sulitnya untuk masuk ke Perguruan Tinggi yang menjadi dambaan setiap siswa yang menghendaki kuliah. Usia Produktif ini terus meningkat dan akan menjadi bonus demografi yang niscaya terjadi pada bangsa ini, hal tersebut akan menjadi petaka bersama ketika para generasi muda gagal menentukan arah dirinya.
Tercatat hanya 21% dari generasi muda yang ada dan dapat melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi, mereka yang memiliki tanggung jawab untuk mengangkat harkat dan masa depan 79% lainnya. Ini tentu bukanlah angka yang wajar. Semua memiliki tanggung jawab bersama yang harus dibagi perannya untuk sampai pada tujuan cita-cita kemerdekaan.
Tidak ada cara lain dalam mencapai cita-cita bangsa selain membangun pola pikir yang secara kolektif membentuk kesadaran bahwa pendidikan adalah solusi terbaik dalam memutus segala mata rantai kerusakan, kebodohan, kemiskinan dan keterpurukan. Sikap mental yang demikian tidak akan mampu lahir dengan tanpa sebab, dia harus tumbuh pada ruang dimana pendidikan menjadi sebuah kebutuhan primer melebihi sandang, pangan dan papan.
Selanjutnya infrastruktur pendidikan harus menjadi prioritas utama, bahwa Negara harus menjamin kelayakan setiap Institusi Perguruan Tinggi baik Negeri ataupun Swasta dengan tidak ada dikotomi yang memisahkan kualitas pendidikan dari statusnya.
Satu-satunya upaya untuk menaikkan angka partisipasi pendidikan adalah dengan membangun sistem dan infrastruktur yang membentuk setiap perguruan tinggi baik negeri atau swasta dengan kualitas yang sama sesuai dengan bidangnya. Sehingga tidak ada alasan calon mahasiswa tidak dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi karena tidak mendapatkan kouta kursi.