Mohon tunggu...
Robert Antonius
Robert Antonius Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer dan Videografer lepas

hobinya kerja, kerjanya jalan-jalan, menikmati Indonesia bagian dari desa saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Senja Merah di Ujung Galuh_Kitab Selendang Naga Langit (7)

21 Mei 2024   00:07 Diperbarui: 21 Mei 2024   00:49 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto doc koleksi nixau

Dua ekor kuda berpacu melesat cepat ke arah Kotaraja, kedua penunggangnya berdandan biasa, menyamarkan identitas prajurit Majapahit yang biasanya dapat langsung dikenali dari wastra dan pending bercorak perak emas serta senjata yang melekat. Pelana kuda itu pun juga nampak biasa, ringkas dan bercorak warna gelap menandakan si penunggang dan kuda diperlukan untuk perjalanan jauh dan ringkas.

Sebuah pertigaan terakhir telah dilewati, kedua kuda itu terus menuju ke selatan, setelah melewati gerbang Lawang Seketeng, perlahan kedua penunggang serempak menurunkan kecepatan, gerbang luar Kotaraja sudah nampak di ujung pandangan. Beberapa puluh tombak mendekati gerbang luar, kedua penunggang itu berbelok ke arah kiri, sebuah rumah dengan pelataran yang cukup besar nampak sebagai rumah dari salah satu pejabat kerajaan tujuannya.

Seorang pekatik terburu-buru menyambut kedua penunggang itu, setelah mempersilahkan untuk langsung menuju selasar melalui samping pelataran sementara kuda-kuda itu sendiri di hela ke kandang kuda yang ada di pelataran paling depan. Dengan langkah yang cepat tapi tidak terburu, kedua penunggang tadi seperti hapal ke bilik mana mereka tuju. Sebuah pintu kayu yang besar dan nampak berat berornamen surya maja terbuka sedikit, pintu berukir lambang itu menandakan si empunya pastilah salah satu pejabat tinggi di Majapahit.

Lamat-lamat dalam bilik terdengar suara yang tidak asing oleh mereka, dua orang berbincang singkat dan menyudahi pertemuan dan berpamitan. Searah dalam pandangan mereka bertatapan, terlihat takjub bagi kedua orang melihat siapa gerangan yang keluar dari bilik diikuti oleh sosok Rakryan Mantridwipantara, sosok petinggi penting yang memerintah mereka beberapa hari lalu dengan tugas untuk menjumpai Ki Demang Ragasemangsang, yang sekarang sosok tersbut sudah ada di hadapan mereka, mendahului.

Ki Demang pun sudah menyadari kedatangan 2 orang yang dikenalinya sebagai Bhayangkara yang beberapa hari lalu singgah dan berkunjung mengantar lontar berita dari Rakryan Mahamantri lantas menganggukkan kepala, tanda ia mengenali sekaligus menyapa kepada kedua prajurit yang masih nampak takjub itu dan lantas berlalu melanjutkan perjalanan. Seiring berlalunya Ki Demang dari pandangan, suara Rakryan memecah keheranan 2 prajurit itu;

"Masuklah, Bhayangkara." Ujar Rakryan Mantridwipantara.

"Tandya, Sang Rakryan" sambil berdua masuk dan menghadap dan mengambil posisi bersila dan memberi hormat bakti Bhayangkara.

"Tugas dalam memberi kabar dan meminta Ki Demang Ragasemangsang selesai. Selanjutnya aku ingin mendengar uraianmu tentang kondisi padepokan Ragasemangsang. Aku penasaran, olah keprajuritan yang di gladikan oleh Ki Demang. Sudah sekian kali, Majapahit meminta ia untuk sudi memberi satu dua ilmu pelajaran untuk para Bhayangkara, cdan untuk kesekian kalinya, ia menolak."

"Bekal kitab Selendang Naga Langit yang ada di padepokan sejatinya tidak bisa dibaca tanpa pedang mustika. Sedangkan, pedang mustika itu sendiri sudah lama menghilang, hanya desas-desus yang mengatakan pedang Naga Langit disimpan oleh Permaisuri Dyah Wijaya, yang sepertinya akan memutuskan menjadi Biksuni dan tidak mau lagi bercampur tangan dengan urusan Wilwatikta."

"kisahkan padaku, apa saja yang sudah kalian temukan di padepokan kemaren?".

"Sendika Sang Rakryan" jawab salah seorang yang sepertinya berpangkat lebih tinggi dibanding satunya dalam satuan Bhayangkara Majapahit.

"Satu dua kali kami berkesempatan untuk gladi dengan murid-murid padepokan. Juga mengamati dan diberi waktu untuk mendedar beberapa serat dalam kitab itu. Namun, maafkan cara belajar kami yang bodoh dan pemahaman kami yang kurang dalam membaca kitab itu, Sang Rakryan. Tak ubahnya dengan gladi di bangsal keprajurtian Bhayangkara selama ini kami lakukan. Sama,.. tidak ada beda. Mungkin kami, maksud kami, mungkin para Bhayangkara muda perlu beberapa lama tinggal di padepokan, jika memang Ki Guru Demang sendiri kurang berkenan mengajar di Kotaraja."

Sambil menghela nafas dalam-dalam, Rakryan melanjutkan; "ya ya,..usul itu sudah lama ada di benakku. Ki Demang termasuk prajurit pilihan Singahsari. Jiwa dan raganya untuk Singhasari. Ia masih belum bisa beralih, bahwa pada masa ini, Majapahit, sebagai penerus dari Singhasari butuh banyak bakat prajurit seperti Ki Demang, guna menjaga wilwatikta dari setiap ancaman dari dalam maupun luar mancanagara. Karir prajuritnya surut, seiring dengan sirnanya Singhasari. Ia memilih tinggal jauh dari pusat kerajaan, hidup mandita, menjadi satu dengan rakyat jelata dan membaktikan dharmanya untuk sesama, ia memilih jalan hidup dengan amat sederhana".

"Tandya.." saut kedua prajurit itu menyimak uraian kisah dari Sang Rakryan.

"Baiklah,.. " Sang Rakryan menyambung lagi percakapan dan kali ini dengan nada lirih tapi jelas bagi kedua prajurit dihadapannya itu.

"Sekarang, sambil mengusir penat dan lelah kalian, tugas berikutnya ini lebih mudah. Antarkan lontar sandi ini kepada Rajakumara, sang putri Mahkota dari Dyah Wijaya. Dan yakinkan padanya, jika pergerakan prajurit dari kotaraja menuju Tuban bukan untuk berperang dengan sesama wangsa Wijaya. Ini perlu dilakukan untuk meredam gejolak yang jika dibiarkan akan memiliki pengaruh besar pada jalannya pemerintahan di kemudian hari. Majapahit tidak dibangun begitu saja untuk dibiarkan dibakar lumbungnya dari dalam. Lumbung itu untuk makan rakyat, untuk menjaga kehidupan lebih bermartabat. Pastikan lontar ini sampai ke tangannya langsung dan ia baca dengan seksama. Soal Rajakumara bersikap, bukan jadi perhatian kalian, mengerti?"

"Tandya! Ucap kedua prajurit itu dengan tegas, dan sambil memberi hormat, mereka berdua beringsut meninggalkan bilik menuju pintu untuk bergegas keluar. Mata mereka sejenak sempat membaca kalimat dari pintu kayu besar di bagian dalam itu, sebuah kalimat yang diukir dengan sangat indah bertulis :

 

apan ikang pura len swawisaya kadi singha lawan sahana

yan rusaka thani milwa ng akurang upajiwa tikang nagara

yan taya bhrtya katon waya nika paranusa tekangreweka

hetu nikan pada raksan apageha lakih phala ning mawuwus

 

[Negara dan desa bersambung rapat seperti singa dan hutan,

Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan,

Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita,

Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!]

(dikutip dari Negarakertagama pupuh 89:2)

Kedua prajurit itu lantas memahami tugas yang mereka emban mulai dari perjalanan ke padepokan dan menyalurkan lontar sandi yang harus usai di penghujung senja yang merona merah warna dan bergegas menderap kembali kuda-kuda tunggangan arah timur utara Kotaraja, menjumpai Sang Rajakumala yang sedang ada di Ujung Galuh.

bersambung ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun