"Satu dua kali kami berkesempatan untuk gladi dengan murid-murid padepokan. Juga mengamati dan diberi waktu untuk mendedar beberapa serat dalam kitab itu. Namun, maafkan cara belajar kami yang bodoh dan pemahaman kami yang kurang dalam membaca kitab itu, Sang Rakryan. Tak ubahnya dengan gladi di bangsal keprajurtian Bhayangkara selama ini kami lakukan. Sama,.. tidak ada beda. Mungkin kami, maksud kami, mungkin para Bhayangkara muda perlu beberapa lama tinggal di padepokan, jika memang Ki Guru Demang sendiri kurang berkenan mengajar di Kotaraja."
Sambil menghela nafas dalam-dalam, Rakryan melanjutkan; "ya ya,..usul itu sudah lama ada di benakku. Ki Demang termasuk prajurit pilihan Singahsari. Jiwa dan raganya untuk Singhasari. Ia masih belum bisa beralih, bahwa pada masa ini, Majapahit, sebagai penerus dari Singhasari butuh banyak bakat prajurit seperti Ki Demang, guna menjaga wilwatikta dari setiap ancaman dari dalam maupun luar mancanagara. Karir prajuritnya surut, seiring dengan sirnanya Singhasari. Ia memilih tinggal jauh dari pusat kerajaan, hidup mandita, menjadi satu dengan rakyat jelata dan membaktikan dharmanya untuk sesama, ia memilih jalan hidup dengan amat sederhana".
"Tandya.." saut kedua prajurit itu menyimak uraian kisah dari Sang Rakryan.
"Baiklah,.. " Sang Rakryan menyambung lagi percakapan dan kali ini dengan nada lirih tapi jelas bagi kedua prajurit dihadapannya itu.
"Sekarang, sambil mengusir penat dan lelah kalian, tugas berikutnya ini lebih mudah. Antarkan lontar sandi ini kepada Rajakumara, sang putri Mahkota dari Dyah Wijaya. Dan yakinkan padanya, jika pergerakan prajurit dari kotaraja menuju Tuban bukan untuk berperang dengan sesama wangsa Wijaya. Ini perlu dilakukan untuk meredam gejolak yang jika dibiarkan akan memiliki pengaruh besar pada jalannya pemerintahan di kemudian hari. Majapahit tidak dibangun begitu saja untuk dibiarkan dibakar lumbungnya dari dalam. Lumbung itu untuk makan rakyat, untuk menjaga kehidupan lebih bermartabat. Pastikan lontar ini sampai ke tangannya langsung dan ia baca dengan seksama. Soal Rajakumara bersikap, bukan jadi perhatian kalian, mengerti?"
"Tandya! Ucap kedua prajurit itu dengan tegas, dan sambil memberi hormat, mereka berdua beringsut meninggalkan bilik menuju pintu untuk bergegas keluar. Mata mereka sejenak sempat membaca kalimat dari pintu kayu besar di bagian dalam itu, sebuah kalimat yang diukir dengan sangat indah bertulis :
Â
apan ikang pura len swawisaya kadi singha lawan sahana
yan rusaka thani milwa ng akurang upajiwa tikang nagara
yan taya bhrtya katon waya nika paranusa tekangreweka
hetu nikan pada raksan apageha lakih phala ning mawuwus